Aspirasi

Sastra, Perguruan Tinggi dan Rambut Gondrong

Galah Denawa

Oleh: Galah Denawa*

WAKTU ITU, gerimis. Saya duduk santai di mulut jendela yang berada di depan toilet wanita lantai 4 Student Centre (SC), pada sisi jendela bagian atas saya ganjal dengan kayu yang lumayan panjang sehingga saya dapat melihat hamparan Soekarno Hatta dan A.H. Nasution. Sebelah kanan, gunung-gunung seperti kue putu dengan warna hijau gelapnya yang besar dan rumah-rumah tampak kecil-kecil, menempel seperti wafer keju berwarna oranye menghiasi bagian bawah gunung tersebut.

Seluruhnya basah dengan awan tipis melingkar di leher gunung itu, benar-benar seperti kue putu sedap yang baru diangkat dari tempat pengukusan. Jauh di sana, ada samar-samar yang berdiri. Saat diperhatikan lebih seksama, ternyata ada banyak yang berdiri tertutup kabut tipis, kabut yang mirip bentangan stocking warna kelabu. Meski berkali-kali saya menyaksikan pemandangan ini, khusus untuk bagian yang berdirinya, saya tak pernah berhenti kagum; itu adalah gedung-gedung, entah di bagian daerah mana.

Gedung-gedung itu berkumpul dengan jarak tidak jauh dari gedung lainnya, seperti raksasa yang sedang berkumpul yang sedang membicarakan sesuatu. Saya selalu berharap mereka bergerak dan menghampiri saya, terbayang betapa besar jari-jarinya saat mengulurkan tangannya untuk mengajak saya.

Waktu itu, gerimis. Saya baru bangun sekitar setengah 4 sore. Karena tidak pulang ke kosan, saya ikut tidur di LPIK sekitar jam 10 pagi, kemudian bangun dan cuci muka lalu duduk-duduk di jendela itu. Hari itu hari minggu, SC sedang sepi-sepinya. Seusai mengagumi pemandangan tadi, saya berjalan bolak-balik di setiap lantai sambil membayangkan banyak hal, mengingat-ingat kembali kejadian penting dalam hidup saya.

Di lantai 2, saya melewati sekretariat HMJ Sosiologi, saya suka menghadiri diskusi mereka setiap rabu siang. Saya putuskan untuk duduk di meja panjang di depan beranda sekretariat itu. Sebelah sekretariat HMJ Sosiologi ada sekretariat HMJ Manajemen, sebelahnya lagi sekretariat SEMA FISIP. Ingatan saya kembali pada saat-saat perjumpaan pertama saya dengan SEMA FISIP yang sedang membuka stand untuk menerima keanggotaan baru bagi mahasiswa FISIP, untuk pertama kalinya saya mengisi formulir yang pada waktu itu ditongkrongi langsung ketuanya.

Sebelumnya saya tak pernah mengikuti “organisasi” apapun selama saya menjadi mahasiswa di UIN. Mungkin, berkat dosen mata kuliah Metode Kualitatif yang mengusir saya karena tidak masuk selama tiga pertemuan saya bertemu dengan ketua senat dan sekarang telah resmi menjadi seorang senator.

***

Fakultas FISIP telah memasuki kepengurusan senat periode 2014-2015. Bisa dibilang kepengurusan senat kedua bagi fakultas baru, yang katanya baru memiliki tiga infokus dan perpustakaan baru dengan aquarium baru yang terpajang di sebelah kiri pintu masuk. Meski pintu itu kini hanya sebatas kaca besar yang terkunci rapat.

Divisi ORASI (Olah Raga dan Seni) yang saya pilih. Setelah rapat penentuan senator, saya bertanya kepada ketua senat bahwa saya tidak mengerti mengapa olah raga dan seni harus disatukan dalam satu divisi, lalu saya mendapat jawaban, memang sudah dari kepengurusan sebelumnya seperti itu, jika harus diubah, ada di pleno tengah paparnya. Mau bagaimana lagi, masyarakat UIN agaknya kurang memahami kesenian sebagai bagian penting dalam peradaban manusia. Entah kurang membaca dan diskusi, entah kesenian memang tidak membikin keringat bercucuran layaknya bermain futsal atau menyoraki para pemain PERSIB.

Saya, sebagai mahasiswa Sosiologi yang telah menghabiskan “liburan panjang” kini ikut ke kelas bawah kelas Sosiologi D semester 4; sebuah liburan yang masih kurang cukup bagi seorang laki-laki yang tak pernah puas dengan kebebasan. Sebelum masuk kelas, saya selalu berhenti sejenak di depan pintu kaca besar itu untuk menggulung rambut yang hampir empat tahun saya biarkan jatuh ke pinggang.

Di FISIP, mahasiswa dilarang berambut gondrong, memakai sendal jepit dan memakai kaos oblong, (mungkin) agar terlihat sopan. Setiap kali melewati tangga-tangga menuju lantai tiga (kelas yang saya ikuti di lantai itu), saya selalu mengerutkan dahi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam banner yang dipajang di setiap lantai tangga-tangga, bahwa, akhlak atau sopan dan santunnya seseorang tercermin dari pakaiannya. Yang saya tahu, sudah menjadi sinisme masyarakat berpakaian rapih, berambut rapih, berdasi dan mengenakan sepatu resmi, itu dalemannya pencuri juga gemar korupsi.

Kerutan dahi saya kemudian jadi senyuman geli saat sudah duduk di kelas, saya membayangkan jika saya lulus, apakah kelak saya akan mirip seperti buku berjudul TIPS-TIPS MENGELAK DARI SIKSA KUBUR yang berjejer dengan buku-buku lain dan disimpan di bagian rak Agama yang nantinya didiskon untuk mengurangi kerugian penerbit; seorang sarjana lulusan Universitas Islam Negeri pandai ceramah dan mengaji, jika sound mic kurang enak didengar maka tukang sound yang ditampar; sebuah tragedi jenaka tentang alumni UIN yang berprofesi sebagai kiyai.

Barangkali, masyarakat UIN sebagai masyarakat akademis tidak melakukan tugasnya sebagai akademisi, yaitu menulis, maka di kemudian hari membentuk pribadi oral yang pintar berbicara lalu “nyaring bunyinya”. Sebuah keniscayaan dunia akademisi itu dunia tulisan, dunia teks. Teks menjadi pondasi utama dalam dunia pendidikan, teks menjadi aba-aba sebelum “menetapkan” kebenaran dan profesionalisme manusia terpelajar, memberi kita jeda untuk merenung, untuk memperbaiki, teks tidak kabur seperti lisan dan teks menjadi catatan sejarah bagi generasi selanjutnya.

Tradisi lisan yang sangat kuat di tanah sunda saya duga cukup mempengaruhi mengapa banyak mahasiswa yang lebih senang berbicara ketimbang menulis. Maka yang lahir, ya itu tadi, kiyai jadi-jadian. Merusak citra kampus, terlebih merusak citra yang berambut gondrong.

Saya pikir, kampus punya cara sendiri dan telah mengupayakan sedemikian rupa agar melahirkan generasi yang bermutu, namun kenyataannya ruang-ruang diskusi yang justru penyangga keilmuan, tidak muncul ke permukaan. Sedangkan tugas perkuliahan bukan memacu mahasiswa gemar membaca buku dan fokus melahap ilmu, malah, mahasiswa lebih senang menghabiskan akhir pekan di rumah atau jalan-jalan, bermain bersama teman. Ini adalah persoalan serius.

Saya kira ada hal penting yang sering terlupakan, bahwa yang sedang digodok di dalam kampus adalah kumpulan anak-anak muda, masa-masa yang sangat rentan jatuh sebelum matang, busuk jika dibiarkan begitu saja. Seperti buah limus yang satu jenis dengan buah mangga berbentuk bulat yang jika tak pandai memetik atau menyimpannya akan membusuk dan dipenuhi belatung.

Bila harapan suatu bangsa bersandar di punggung mahasiswa, mengapa enggan memeluk mereka dan membisikinya bahwa rintangan-rintangan di depan hanya dinding yang tak lebih besar ketimbang punggung mereka, mengapa enggan mencintai mereka dan fokus menyemangatinya. Menurut saya, itu lebih baik untuk membangun generasi yang bermutu dan dapat diandalkan daripada riweuh nyirian mahasiswa yang gondrong dan memakai kaos oblong.

***

Di divisi ORASI, ada empat senator, salah satunya saya tentunya. Ketika salah satu senator dari divisi ORASI bertanya soal program kerja dalam bentuk (saya menyebutnya) serius, bahwa program kerja senator harus mengacu pada pokok-pokok kebijakan ketua, indikator pencapaian ketua, perencanaan program, target, penentuan waktu; priode dan bulan, saya agak gugup juga karena saya tidak memiliki pengalaman berorganisasi.

Saat wawancara, saya menawarkan kelas sastra sebagai program yang akan saya seriusi di senat. Kepada ketua, saya sedikit bercerita bagaimana kesenian di UIN, sastra khususnya, kini hampir melebur dan kebaradaannya jadi kabur seiring pergantian mahasiswa lama dan mahasiswa baru tanpa adanya sebuah wadah serius dan perhatian serius. Kebetulan, sastra tidak ada UKM-nya di kampus ini.

Mungkin, sastra kurang diapresiasi di UIN karena belum dibentuknya UKM, tapi di sisi lain, kesenian yang sudah ada UKM-nya juga masih sangat minim apresiasi. Seni lukis misalnya, begitu terasing karena minimnya perhatian dari masyarakat UIN dan (mungkin kurang “perhatian” juga) dari lembaga seni lukis itu sendiri. Teater, yang saya tahu, jika pentas hampir itu lagi-itu lagi yang nontonnya. Begitu pun dengan musik, manggung sebatas pemanggil sireum ateul yang hanya menyuguhkan kebisingan dan memperketat penjagaan satpam. Maksud saya, UIN sebagai dunia akademis, semestinya ada sebuah perhatian atau apresiasi lebih jauh terhadap seni; seni sebagai cara alternatif dalam pengungkapan teori dan gagasan. Juga bagi mereka yang berkesenian alangkah bijaksana dan terhormatnya bila seni yang sedang digeluti tidak hanya seni itu ditekuni sebatas untuk berteater latihan akting dan menghafal naskah; tak hanya seni rupa itu ditekuni sebatas menggambar tubuh seorang wanita, manusia berkepala babi atau persoalan menggambar kubisme dangan perpaduan warna yang ceria; tak hanya seni musik itu ditekuni sebatas meng-cover lagu-lagu yang sedang hits, menyihir penonton dengan permainan gitar yang lihai bagaikan suara gajah yang menjerit-jerit atau beramai-ramai menyanyikan lagu yang membikin bulu kuduk kita merinding, namun ada upaya penafsiran terhadap kesenian itu sendiri, dengan menulis, sesuai dengan fungsi seorang akademisi.

Kiranya, kekurangan apresiasi dari masyarakat UIN mungkin karena kurang pembacaan estetis dalam perkuliahan atau kurang perenungan terhadap persoalan-persoalan kehidupan kemudian menjadi berkurang pula selera-selera estetis yang notabene selera-selera estetis itu penting untuk mengendurkan ketegangan bagi kesehatan mental seseorang.

Bila perkuliahan beserta tugas-tugasnya begitu membeban untuk mahasiswa lalu mahasiswa jadi “beban akademis” bagi dosen karena terbatasnya metode-metode pengajaran (dan persoalan-persoalan sejenisnya dalam sistem belajar-mengajar) yang pada akhirnya menuntun mahasiswa menghabiskan masa-masa kuliahnya untuk sekedar ritual meraih ijazah, yang pada akhirnya keberadaan perguruan tinggi tidak mencetak manusia-manusia unggul; mengapa sastra tidak menjadi alternatif untuk persoalan itu? Barangkali sastra bisa menjadi tombol start sebelum meng-klik Microsoft Word, sastra menjadi pengantar menuju budaya yang cinta terhadap menulis, menghidupkan fungsi-fungsi (dari dibangunnya) dunia pendidikan, sebab sastra, mempersilahkan siapa saja untuk menulis “seenaknya”.

Saya pernah ngobrol dengan teman, telah ada undang-undang yang mengharuskan setiap jurusan memiliki jurnal ilmiah. Seperti yang telah kita ketahui, jangankan menulis jurnal ilmiah, menulis tugas mata kuliah pun hampir seluruh redaksinya meminjam porsi internet. Mungkin jika terbiasa “menulis seenaknya”, kesadaran untuk menulis serius lambat laun akan terbangun. Ke sananya, kesenian itu sendiri bisa jadi kajian menarik di samping persoalan-persoalan lainnya yang bertebaran di sekitar kita: menjadi sebuah jurnal ilmiah yang segar musik dikaji dalam wilayah matematika misalnya, atau seni lukis dikejar dengan teori-teori ekonomi di mana harga saham ditentukan dengan karya-karya lukisan sebagai gengsi perusahaan, mungkin teater bisa dibahas secara terperinci memakai pandangan psikologi. Wah, sumpah, kalau atmosfer perkuliahan kita seperti itu, jadi semangat kuliah ogé. Membaca dan menulis semakin seru.

***

Saya pernah mencoba membuat selembaran-selembaran untuk mengabarkan kepada mahasiswa bahwa saya akan membuka kelas sastra. Saya akan mengantar siapa saja untuk mengenal sastra lebih dekat. Namun, yang datang pada waktu yang telah saya cantumkan dalam selembaran-selembaran itu cuma teman-teman semeja kopi saja, teman-teman yang tiap hari bertemu di Suaka dan di LPIK, teman-teman yang tak akan nyaman lama-lama jika saya berbicara sastra ke sana-ke mari, tipe teman yang datang dan pergi. Maka selembaran itu menjadi pengumuman kesepian karena tak seorang pun datang menghampiri saya. Padahal selembaran itu sudah ditempel di setiap fakultas, di tempat-tempat mahasiswa lalulalang.

 Pernah ada masa-masa keemasan sastra di kampus ini, sekitar pertengahan tahun 2011 sampai pertengahan tahun 2012. Waktu itu ada dua komunitas yang menjadi tonggak kesusastraan di UIN: Komunitas Kabel Data dan Forum Alternatif Sastra (FAS). Meski orang-orang di kedua komunitas itu adalah orang-orang yang sama, perbedaannya terletak pada ke-khas-an masing-masing komunitas. Komunitas Kabel Data (yang sebelumnya nama komunitas itu Komunitas Kita Adalah) mengusung humor sebagai spirit berkarya. Rutinitasnya santai dan loba heureuy yang tidak pernah ada habisnya soal apa saja, terlebih soal abege. Namun, diam-diam kami bersaing dalam berkarya, khususnya puisi. Sampai sekarang, saya menjabat sebagai pimpinan, dan hampir seluruh anggotanya kini telah lulus. Tersisa tiga orang lagi yang masih ngampus, yang satu fokus memperbaiki nilai (sama seperti saya), yang satu lagi fokus pada bisnis sepatu. Sedangkan FAS lebih kearah yang serius, seperti bedah buku, bedah puisi, bedah cerpen, bedah film dan diskusi-diskusi yang rutin diadakan setiap seusai jum’atan. Kedua komunitas itu kini tinggal sejarah.

***

Sastra menjadi asing, tidak banyak yang tahu sastra bagian dari kesenian. Persoalan itu yang saya jumpai di kampus ini. Mungkin di masyarakat luas juga. Mungkin seni pun hanya dipahami sebagai “rutinitas aneh” orang-orang di dalamnya yang kita sebut seniman dan mungkin seni dipandang sebatas keindahan dan hiburan saja. Bagi saya, seni menawarkan cara lain dalam hidup. Seni tak hanya memiliki alternatif dalam bersikap, dalam mengungkapkan ide atau gagsan melalui sebuah karya, namun cara penyampaian dan karyanya pun dibarengi keindahan (meski pada era kontemporer keindahan tidak begitu diprioritaskan dalam berkesenian). Kita ambil contoh di tataran kenegaraan.FPI berduyun-duyun ke jalan dan membikin macet untuk demo soal para pejabat yang korupsi misalnya, maka seorang seniman akan berdemo dengan cara kesenian. Perupa, akan berdemo dengan membuat sebuah lukisan tikus, kaleng kerupuk dan kursi mengenai hal itu, sebagai contoh.

Lalu seorang musisi akan berdemo dengan membuat lagu-lagu soal pengkhianatan dan ketidakadilan yang marak pada musik-musik cadas saat ini. Sastra, tentunya akan menulis persoalan itu lewat karya puisi, cerpen atau novel. Saat ada persoalan yang terlihat, terdengar atau terasa oleh seorang seniman, maka dia akan melakukan sesuatu dengan melahirkan sebuah karya, tergantung senimannya juga tentunya.

Sederhananya, lahirnya sebuah karya adalah sikap dari seorang seniman yang tidak setuju dengan korupsi sebagai manusia karena itu merugikan manusia lain. Seorang koruptor tidak akan membaca puisi, melihat lukisan, mendengarkan lagu atau melihat pertunjukan teater lalu insyaf; berhenti atau tidaknya melakukan korupsi, itu persoalan lain, bukan persoalan seniman, mungkin lebih tepat itu persoalan KPK dan pihak keamanan negara untuk membuatnya insyaf. Lalu bagaimana dengan karyanya itu?

Karya itu, berubah menjadi Yang Lain. Ini yang nanti akan dibahas di kelas saya.
Sebuah karya lahir menandakan manusia sebagai mahluk kreatif yang fungsi dari karya tersebut menjadi abadi selama karya itu dijaga dan dipelihara. Maka mesti ada semacam apresiasi dari pihak pemerintah untuk menopang persoalan penjagaan dan pemeliharaan tersebut, menteri kebudayaan membangun atau menyediakan Gudang Sejarah di setiap kota misalnya. Sebab, seniman serius (uhuk, uhuk, seperti saya misalnya) adalah hewan berpikir yang langka dan keberadaanya hampir punah.

Sangat disayangkan jika tidak dilestarikan dan diakui pihak lain keberadaannya.
Kesenian sebenarnya sederhana, bahkan lebih sederhana dari teori-teorinya Jacques Derrida. Visi saya pribadi menjadi senator di divisi ORASI SEMA FISIP adalah membangun atmosfer kreatif di kampus dengan menulis dan membaca untuk membuka dan memahami rahasia-rahasia kehidupan manusia (khususnya) lewat sastra.

Lalu yang saya tawarkan kepada seluruh masyarakat FISIP khususnya, masyarakat UIN dan sekitar umumnya untuk mencapai visi tersebut adalah dengan mengadakan kelas sastra, setiap seminggu sekali atau mungkin dua minggu sekali agar tidak cepat bosan. Saya tidak membatasi kelas saya hanya untuk mahasiswa FISIP saja, tapi untuk seluruh masyarakat UIN maupun maupun masyarakat sekitar.

Tentu informasi ini mesti disebarluaskan tak hanya lewat media fesbuk dan sms, tapi dari mulut ke mulut. Saya mengharap kepada siapa saja yang telah membaca tulisan ini agar bersedia menceritakan kembali kepada saudara, teman atau kenalannya. Harapan saya dan sekaligus visi dari ketua senat sekarang bahwa oraganisasi tingkat fakultas kali ini bisa menjadi wadah untuk mengembangkan potensi mahasiswa atau (saya tambahkan) membangun masyarakat yang berpengetahuan ilmiah (apabila ada dari masyarakat yang mengikuti kelas saya nanti).

Jika harapan ini terlaksana, maka ini juga akan menjadi pengabdian kami sebagai mahasiswa sesuai visi dan keberadaan senat itu sendiri, seperti yang pernah dipaparkan ketua senat pada rapat penentuan senator lalu.

***

Waktu itu, lampu-lampu di setiap lantai telah dihidupkan. Saya berdiri, melewati sekretariat HUMAS, sekretariat Aqidah Filsafat, sekretariat Administrasi Negara sampai ruang latihan Teater Awal dan menuruni tangga, meninggalkan meja cokelat itu, sendirian. Saya berjalan keluar dari gedung SC melewati gedung-gedung perkuliahan yang dingin dan bisu.

Mungkin gerimis tinggal butiran-butiran kecil yang terlambat jatuh dari setiap genting-genting rumah para penduduk. Pelan-pelan langit menghilang, digantikan dengan warna hitam, seperti ada yang bersusah-payah menggelar tirai besar untuk menutupi dunia ini, entah untuk menutupinya dari apa.

Tak lama, adzan maghrib mengalun, seperti sebuah lagu penutup cerita tentang penduduk bumi yang telah memainkan perannya sebagai pekerja sewaktu langit itu masih terbuka. Lampu-lampu trotoar telah menyala, warna kuning samarnya tumpah di sekelilingnya, tiangnya yang melengkung mirip alien-alien yang sedang tertunduk mengheningkan kegelapan dunia dengan matanya yang bersinar. Saya mampir ke warung yang di sebrang kampus, memesan kopi, rokok, duduk menghadap jalanan yang ramai dengan kendaraan. Seluruhnya saya nikmati dengan takzim dan pelan dalam hisapan-hisapan rokok.

Untuk sesaat, tiba-tiba saya merasa dan melihat ada kesamaan antara keberadaan sastra dan api: sama-sama menjadi sebuah alat untuk membantu manusia mencapai keinginan dan kebutuhannya. Maka saya ingin menyampaikan kepada semuanya, dengan segala kerendahan saya sebagai seorang penyair yang “kesepian” karena minim apresiasi dari seluruh masyarakat UIN, saya mengharap semua orang dapat mengenali sastra dengan lahirnya catatan ini: sastra sebagai api untuk merasakan sebatang rokok, sastra sebagai api untuk mempermudah mengolah bahan makanan manusia, sastra sebagai api untuk menghangatkan kehidupan manusia yang terlampau dingin.

Kita tidak akan pernah rela jika kita hidup hanya sebatas lahir, sekolah, bekerja, menikah, punya anak lalu mati. Mesti ada sesuatu yang kita lakukan, mesti ada sesuatu yang kita naiki dalam tangga kehidupan kemanusiaan kita. Sastra menawarkan hampir segalanya, segala yang pernah anda pikirkan.

Rasa sayang saya untuk semua orang jahat dan orang baik, rasa sayang saya untuk semua pembangkang dan yang saleh, rasa sayang saya untuk semua laki-laki dan perempuan. Barokallahulii walakum. Sampai bertemu di kelas saya.

*Penulis adalah mahasiwa jurusan Sosiologi FISIP UIN SGD Bandung.

6 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas