Opini

Catatan Penting Demokrasi Kampus Gunung Djati: Romantis dalam Kemirisan

Ilustrasi: Triska Yulianti/Suaka

Oleh : Sekar Sastrareinansansce*

Pelaksanaan Musyawarah Tinggi (Musti) dan Musyawarah Mahasiswa (Musma) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati telah selesai terlaksana. Dengan segala hormat dan penuh respek, dihaturkan terima kasih kepada segenap panitia (KPUM-U dan Bawaslum-U), peserta serta seluruh stakeholder lainnya, meski begitu ada beberapa catatan penting, yang wajib tak boleh luput kita perhatikan.

Di awal berhembusnya isu akan diadakannya Musti dan Musma-U, sedikit muncul secercah harapan dalam lorong gelap pelaksanaan demokrasi kampus kita, yang secara subjektif saya nilai masih berada dalam titik nadirnya; harapan itu terutama muncul pada anggapan bahwa mereka yang akan  maju dan tampil sebagai student government ini akan memberikan wajah baru pada pelaksanaan demokrasi kampus kita yang banyak dinilai pihak terlalu tererosi dengan perilaku-perilaku hipokrit pendukung-pendukungnya.

Dan sesungguhnya, pelaksanaan demokrasi kampus adalah wajah demokrasi bangsa kita secara keseluruhan. Perilaku munafik, akomodasionis dan culas merupakan gejala awal pelaksanaan demokrasi bangsa yang buruk dan memilukan. Kehancuran demokrasi kampus merupakan hal yang perlu dimitigasi oleh segala stakeholder yang terlibat.

Ada beberapa gejala yang membuat demokrasi bisa mati di tingkat kampus; pertama, demokrasi tidak terbuka bagi semua kalangan, hanya elite atau golongan tertentu saja yang mempunyai privilege untuk duduk di kursi-kursi pemerintahan mahasiswa, gejala ini biasanya dilakukan sebagai rangka upaya distribusi kader. Tak jarang, distribusi yang dilakukan bukanlah orang-orang yang telah selesai dan memenuhi syarat kaderisasi tertentu, banyaknya hanyalah orang-orang yang dekat dengan sang Ketum.

Gejala kedua adalah tidak dilibatkan partisipasi publik atau mahasiswa umum dalam pembentukan penyelenggara acara atau pun pelibatan secara langsung dalam memilih calon-calon nya, partisipasi publik merupakan indikator paling penting untuk menjaga demokrasi, karena dasar primer pelaksanaan demokrasi adalah warga negara, dalam konteks kampus ialah mahasiswa. Kematian demokrasi ditandai dengan bagaimana dimatikan nya partisipasi publik pada momen elektoral kita.

Jika ditemukan penyelenggara acara pemilihan tertentu di mana orang-orang yang dipilih nya ialah mereka-mereka hasil rekomendasi kalangan tertentu, maka amat sulit untuk menemukan akuntabilitas, profesionalitas dan integritas dari segenap penyelenggara. Bukan bentuk syak-wasangka, kita mesti berhati-hati bahwa orang-orang itu tidak akan bekerja secara profesional sebagai bentuk akibat dari terpilihnya mereka yang adalah hasil rekomendasi semata.

Meski pada dasar nya demokrasi menghendaki siapapun untuk terlibat, tetapi ada seperangkat nilai-karena seyogyanya demokrasi bukan hanya perihal perebutan, pelebaran dan mempertahankan kekuasaan semata, ia mencakup tentang tata nilai, sistem, perilaku, dan seperangkat etika orang-orang di dalamnya. Dan ada imperative ethics yang menyuruh orang untuk dapat berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.

Rekomendasi-rekomendasi yang kerap ditemukan dalam jenjang pemilihan panitia penyelenggara baik ditingkat kampus bahkan tingkat negara ialah gejala kehancuran demokrasi kita. Bahwa di sini letak dihancurkannya persamaan dan kesetaraan, orang-orang kompeten dan mempunyai kapabilitas dinistakan untuk memilih orang-orang yang memiliki kedekatan. Fenomena orang dalam, ialah bentuk lain feodalisme sebagai wajah buruk manusia Indonesia.

Gejala ketiga kehancuran demokrasi ialah tampilnya pemimpin-pemimpin demagog dalam kancah kontestasi elektoral. Mereka-mereka ini menggunakan dalil demokrasi untuk menghancurkan demokrasi, jika meminjam bahasa Soe Hok Gie mereka-mereka adalah yang paling lantang meneriakan demokrasi tetapi senyatanya memotong lidah orang-orang yang berani menentang pendapatnya.

Tentunya, hal tersebut menggugurkan tesis demokrasi di mana kebebasan merupakan dasar diadakannya demokrasi, ia adalah seruntutan tuntutan manusia sepanjang sejarah kehidupannya bahwa pada prinsipnya: kau boleh berbeda pendapat denganku, tetapi aku akan memperjuangkan hakmu untuk berbicara.

Namun sayangnya, agak-agaknya semangat itu digugurkan karena perlu adanya persamaan dan keseragaman. Konsensus hadir, dalam upaya mematikan politik. Konsensus ini tidak didasarkan pada upaya penyejahteraan mahasiswa, melainkan lebih diutamakan untuk “bagi-bagi kue kekuasaan”, mereka-mereka yang tampil bukanlah pedagog melainkan demagog.

Bagaimana Fenomena Ini Lahir?

Kita kemudian bertanya, kenapa hal itu bisa terjadi? bahkan mengulang dan membudaya? Apakah karena kurang nya pengetahuan terhadap demokrasi atau tidak optimal nya demokratisasi di kampus? Atau memang politik harus dijalankan dengan seperti itu? dengan jalan-jalan yang majal dan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang madat, dan masturbasi kuasa?.

Mereka-mereka yang menghancurkan demokrasi di alam semesta kampus misalnya bukanlah orang-orang yang tak belajar teori-teori politik, demokrasi dan seperangkat pengetahuan lainnya. Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang begitu paham, mengerti dan banyak membaca literatur demokrasi, bahkan lebih jauh, lebih mendalam ketimbang penulis.

Tetapi, orang-orang ini pada akhirnya merasa sok berkuasa, merintih saat ditekan oleh perilaku pemerintah; abang-abangnya sendiri, kakanda sahabat nya sendiri, tetapi kemudian menindas saat mereka berkuasa. Yang dirugikan, ialah masyarakat umum, ialah mahasiswa itu sendiri. Ruang demokrasi yang menghendaki persamaan dan kesetaraan digugurkan dengan dalil penyelematan demos (rakyat) kampus yakni mahasiswa dari kekosongan kekuasaan elite mahasiswa.

Sudah sering kita mendengar, jika Bung Karno dulu melahirkan konsepsi demokrasi terpimpin adalah sebagai upaya menyelamatkan demos dari segala bentuk agitasi politik dan pemberontakan yang hampir merata di seluruh tanah air, atau Pak Harto yang melahirkan konsepsi bersih lingkungan yang merupakan bentuk antagonis politik terhadap kalangan-kalangan yang dituduh sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalil-dalil itu kemudian disadur dan dimodif sedemikian rupa pada pelaksanaan demokrasi kampus, mahasiswa-mahasiswa yang pongah dan gugup ini melahirkan konsepsi “demi menyelamatkan mahasiswa” sehingga segala bentuk penyimpangan yang merupakan bahasa lain dari partisipasi publik, akuntabilitas, profesionalitas dan integritas harus digugurkan demi mahasiswa itu sendiri. Cara yang usang, dengan wajah-wajah yang kusam.

Maka, kemudian mereka ini sebenarnya adalah yang paling paham dan mengerti demokrasi tetapi tak mau untuk melaksanakan secara konsekuen pelaksanaan demokrasi yang sehat dengan jalan-jalan etis di dalamnya. Mereka ialah yang digolongkan-barangkali, sebagai kalangan Maghdub yang sudah paham, sudah mengerti tetapi tak mau melaksanakan.

Kemunafikan ini menggejala karena pelaksanaan demokrasi kita selalu berparadigma kalah-menang. Tidak berorientasi pada bagaimana seharusnya demokrasi dijalankan. Memang dalam demokrasi the winner takes all, yang menang mengambil semua nya, tetapi ada nilai etis yang perlu diperhatikan di dalam pelaksanaan itu, yakni dari, oleh dan untuk masyarakat umum (rakyat).

Semoga, Ya!

Tetapi, kita mesti tetap berharap, di persimpangan jalan depan ada dua pilihan; demokrasi kampus hanya disandarkan pada pelaksanaan yang transaksional-akomodasionis semata atau jalan kebebasan dan pelaksanaan demokrasi secara penuh konsekuen. Jika jalan pertama yang dipilih, maka kita tak mesti kaget jika beberapa tahun dan puluh tahun ke depan, politik demokrasi Indonesia semakin merosot hancur lebur.

Kita perlu mengatakan jika pelaksanaan demokrasi yang hanya dilandaskan pada persoalan bagi-bagi kuasa saja, kerap dilatarbelakangi dengan sesuatu yang jahat. Dasar filosofis yang melatarbelakangi hal ini, keburukan tidak pernah lahir dari cahaya-cahaya yang terang. Maa’yutawashilu ilal harom, fahuwa harom.

Namun kita tidak boleh menyalahkan kawan-kawan yang hari ini mengisi perpolitikan kampus atau sahabat-sahabat kita yang mengatur penyelenggaraan, mereka ini bukan orang-orang yang akomodasionis dan mengkhianati demokrasi tadi, mereka paham dan tentu nya bakal mengatur secara baik apa yang menjadi tugas, pokok dan fungsi nya. Mereka tak akan mengkhianati demokrasi kita, sekali lagi, tak mungkin demokrasi hidup, eh mati, ditangan mereka.

Semoga, ya! mereka mempunyai hati yang luas, pikiran yang cemerlang dan kelapangan dada dalam menerima segala kritikan, masukan dan bekerja semata-mata untuk Tuhan yang maha esa, dan perbaikan politik-demokrasi kampus yang lebih baik, lebih sehat dan berorientasi pada pemberdayaan manusia-manusia di dalamnya.

Dan terakhir, demokrasi ialah bangunan-bangunan atau ruang-ruang yang kosong, menjadi tugas para pendukungnya mengisi ruang dan bangunan kosong itu dalam rangka komitmen merealisasikan cita-cita kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk pengabdian sebagai kader umat dan bangsa. Yakin Usaha Sahabat!

*Penulis merupakan mahasiswa semester enam di UIN SGD Bandung, seorang penggiat di Aliansi Penyelamat Demokrasi Kampus.

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas