Cerpen

Dunia Tanpa Suara, Nada dan Musik

Ilustrasi: Ninda Nur Aidah/Suaka

Oleh: Nur Iskandar* 

“Keren juga, sedari tersandung kasus, Ariel —dan Peterpan— tak butuh waktu lama untuk membangun kembali nama atau citra baik mereka. Branding mereka sangat cepat dan mulus sekali, Fal. Nama ‘Noah’ menjadi kata yang segar. Baik para penggemar ataupun non penggemar dibuatnya lupa dengan sisi gelap yang terjadi beberapa waktu silam. Mereka juga bikin buku, Fal, judul bukunya Kisah Lainnya,” sederet omongan saya pada Naufal, hari itu hening dini hari.

“Wahh, baru tau saya!” basa-basi Naufal untuk menunjukkan omongan saya ia dengarkan baik-baik.

Saat itu kaki kami sampai di sebuah gang. Derap dari langkah kami kini terdengar begitu jelas karena tidak ada suara bising di sekitar gang ini. Hanya ada mahasiswa pecinta filsafat dan tasawuf saja, nongkrong ngopi.

“Sudah siap untuk tampil konser besok?” tanya Naufal.

Semakin lama kami berjalan, semakin terlihat bulan di atas sana sedang purnama. Sepanjang gang, obrolan kami dicerna bulan, sayang bulan tak kuasa untuk mengikuti kami sampai ke kosan. Saya kira kami lelah. Kami tidur di kosan. Lelap!

Pagi harinya, saya ucap pamit kepada Naufal, dan tak lupa ucap terima kasih juga karena malam tadi sudah mau menemani saya nonton konser band Noah.

“Aaa …” riuh suara penonton.

Balai Asih ini terdiri dari dua lantai dan jika engkau lihat sekarang, kawan, gedung ini dipenuhi penonton. Penuh oleh mahasiswa dan mahasiswi. Penuh oleh orang-orang yang saya kenal dan tidak saya kenal. Penuh oleh orang-orang yang masuk ke gedung ini mengucap bismillah dan juga yang hanya mengucap “Anjir si eta!” dengan pelafalan asli lidah orang Bandung. Yang terakhir itu, jenis mahasiswa yang sering kagum dan mengeluarkan bahasa indahnya itu, pasti kawan saya. Sebagai kawan dekat, saya balas bahasa kesopansantunan itu, “Anjir si eta datang oge!”

Lagu pertama yang kita mainkan berjudul “Tak Bisakah” dari band Noah. Tentu saja, lagu ini lagu yang saya sarankan kepada Hendi dan kawan-kawan. Saat sesi latihan, band kami cukup ciamik membawakan lagu ini dan sekarang pun kelihatannya begitu. Suara Hendi tak hanya menghibur penonton yang datang, tapi (secara jujur) kami akui kami pun personil terhibur pula.

Mengertilah ku ingin engkau begitu

Mengerti kau di dalam hatiku

Selama saya jadi gitaris, saya merasa ada keajaiban di balik nada-nada yang kami mainkan, lirik-lirik yang kami nyanyikan menjelma mantra. Suara Hendi yang khas memang selalu berhasil menyihir kami semua. Dulu, kami pernah ngopi bersama dan Hendi hadir juga. Pada saat itu, Hendi membuat kami tercengang dengan statement-nya:

“Tolong bedakan apa yang ana lakukan dan orang lain lakukan! Sebut saja ana ‘Pembawa Lagu’ yang tak terpaku pada teknik bernyanyi saja. Tapi lebih dari itu, bagaimana caranya di setiap penampilan si lagu itu dapat merasuk ke hati penonton. Itulah bedanya penyanyi dan pembawa lagu.”

Dara kau menjadi hidupku

Ke mana kau tahu isi hatiku

Tunggu sejenak aku di situ

Jalanku jalan menemukanmu

 Di bagian lirik tadi saya jadi backing vokal. Bukan tanpa sebab, Hendi tahu saya punya suara yang lumayan. Meski bukan suara emas, tapi suara perunggu ini masih nyaman buat jadi iringan vokal Hendi. Memang lirik part itu sedap juga untuk dinyanyikan, “Dara kau menjadi hidupku …” Sedari sesi latihan sampe sekarang, otak saya mumet mikir: Kira-kira akan jadi siapa Si Dara dalam lirik lagu tersebut di pikiran Hendi?

Tak bisakah kau menungguku

Hingga nanti tetap menunggu

Tak bisakah kau menuntunku

Menemani dalam hidupku oh

Menurut kalian Dara di pikiran Hendi siapa kira-kira? Ah, memang tidak penting juga memikirkan hal itu. Tapi kalau hal-hal yang penting sudah semua kita pikirkan, tidak ada salahnya juga sejenak memikirkan hal yang tidak penting. Bagaimana kalau semua penonton (baik perempuan maupun laki-laki) ia bayangkan sebagai Si Dara di dalam lirik itu? Lagi-lagi bukan tanpa sebab, Dara di dalam lirik lagu itu tentu berarti seorang kekasih tercinta, dan sekarang lihat saja setiap Hendi memandang satu-persatu paras penonton, matanya menunjukkan ia cinta kepada mereka semua. Yah, penonton adalah kekasih-kekasihnya. Banyak sekali, yah!

“Saya satupun belum punya,” eh tanpa sadar, secara refleks saya mengucapkan apa yang ada di pikiran saya.

“Awan menawan, ngomong naon maneh teh (Awan menawan, apa yang kamu bicarakan)?”

“Wan, fokus!” kawan-kawan band nampaknya sedikit menunjukkan muka kesal karena saya meleng tadi dan chord-nya mental dikit.

Ini semua karena kalian ngajak saya mikir mulu! Mending perhatiin penonton sana! Kalau saya terus yang dibahas, kalau saya terus yang diperhatiin, nanti lama-lama baper loh! Lihat, di bangku penonton ada kawan-kawan sekelas saya! Hadir juga Sang Perempuan Tercinta, adalah adik saya, Ranum.

Ranum duduk di depan. Sebagai kakak, saya merasa —sedari kecil hingga dewasa— tidak ada perubahan signifikan di wajahnya. Tetap lucu dan cantik. Adik saya ini istimewa, ia seorang tunarungu yang Allah anugerahkan ke keluarga kami. Yah, sapa juga kawan-kawan saya yang duduk bersebelahan dengan Ranum. Dari kiri ke kanan secara berurutan, ada Ari, Opick, dan Iwan.

Iwan geleng-geleng kepala, “Tak habis pikir, lohh kok adiknya Awan nonton konser? Dia kan tuna …”

Ranum menatap panggung dan para penonton yang ada di sekitar dengan antusias. Geraknya menengok ke setiap tempat lebih cepat ketimbang orang normal lainnya. Bagi tunarungu, mata sudah seperti indera utama. Momen-momen hidup yang ia lalui dirabanya dengan mata. Visual adalah teman baiknya. Oleh karena itu, anak-anak tunarungu juga dikenal sebagai anak visual sehingga cara melihatnya selalu menunjukkan keingintahuan yang besar.

Di lagu kedua ini, sayatan-sayatan suara gitar yang saya mainkan terdengar melengking dan makin melengking. Di bangku penonton Iwan berujar, “Mungkin Ranum selalu membayangkan bagaimana suara yang dihasilkan dari permainan gitar kakaknya.”

“Atau cuma bisa menangkap samar-samar suara Hendi.”

“Ah, itu terlalu sulit. Mungkin ia cuma bisa tau suara-suara yang sederhana, seperti suara loncatan kaki,” celetuk Opick.

Suara loncatan kaki memang terdengar sederhana, tapi setiap kuping akan beda menangkapnya dan akan berbeda bila menerjemahkannya ke bentuk tulisan. Sebut saja ada tiga orang di Balai Asih ini yang pendengarannya sangat peka, yakni Si X, Y, dan Z. Mereka bertiga memperhatikan betul suara kaki dari personil band yang tengah meloncat-loncat. X menuliskan suara lompatan itu ke dalam bentuk tulisan seperti ini: “Dug dug dug”. Sementara Y menuliskannya seperti ini: “Bug bug bug”. Berbeda sekali dengan X dan Y, Si Z menuliskannya begini: “Deb deb deb”. Pertanyaannya, telinga siapa gerangan yang salah dengar? Memang, terkadang apa yang dianggap orang sederhana adalah hal rumit yang dimaklumi.

Lagu “Kenangan Manis” dari Pamungkas menjadi lagu terakhir yang kami bawakan di penampilan hari ini. Saya dan Hendi tersenyum, begitu pun personil lainnya. Rupanya penonton semua merasa puas. Hendi yang bercucuran keringat di keningnya mencoba menenangkan diri sejenak dan mengucapkan terima kasih kepada para penonton yang sudah menyempatkan hadir. Satu hal yang membuat kami kaget adalah kehadiran rektor dari universitas kami. Tadi sempat canggung juga dengan kedatangan beliau, tapi hati kami tiada ingin mengecewakan beliau. Jadi, berusaha main selepas mungkin.

Syahdan, kami menghabiskan waktu-waktu setelahnya dengan meracik dan menikmati secawan kopi. Musik adalah bahasan yang kami bahas tiada henti dari hari ke hari. Bila membahas musik, di ujung pembahasan pasti Hendi mengajak kami semua bersyukur dan mengucap alhamdulillah. Katanya, “Betapa beruntungnya kita dapat menikmati anugerah Allah yang begitu besar ini, berupa suara, nada, dan musik. Terbayang, pasti akan begitu kesepian orang yang tak pernah merasakan hal tersebut?” Lalu, sepanjang jalan pulang, ketika saya dibonceng Hendi dengan menggunakan motor vario, saya pikirkan ulang omongan Hendi tadi ketika di cafe. Emang ada manusia yang tak merasakan nikmatnya musik? Siapa manusia yang tak pernah terbersit di telinganya alunan musik?

Saya menggusur diri ke meja makan, ketahuilah sebenarnya perut ini sedang tidak ingin menyambut makanan dan minuman. Sebenarnya perut dan mulut kondisinya baik-baik saja. Hanya saja ada gumpalan-gumpalan resah yang sedang asyik dikunyah. “Tuhan, untuk beberapa saat ke depan izinkan saya merasakan apa yang sedang dirasakannya!” doa saya di dalam hati, pagi ini.

Empat anggota keluarga berkumpul dalam satu meja. Maaf hari ini tanpa basa-basi. Sesi makan di meja ini rasanya ingin cepat selesai saja! Tapi lihat baru saja beberapa puluh detik, ayah menggerakkan bibirnya dan menatap anak laki-lakinya. Mungkin ayah menunggu saya mengucapkan sesuatu. Ibu pun menatapku. Ranum pun. “Kuliah …,” hanya itu samar-samar suara yang bisa diterka dari omongan ayah.

Ibu yang menunjukkan ekspresi heran, juga ikut menggerakkan bibirnya, tapi rasanya terlalu cepat. Jadi tak ada yang bisa didengarkan. Lebih tepatnya, apa yang diomongkan tidak jelas. Melihat anaknya berdiam diri, mulut Ayah malah tak bisa diam. “Ada apa yang …,” lagi-lagi tak jelas apa yang diucapkannya.

Dan sesi makan di meja makan pun berakhir dengan muka ayah memerah dan ayah berteriak geram. Ranum pun memperagakan bahasa isyaratnya kepada ayah-ibu dan seakan sedang mati-matian membela kakaknya ini. Adik yang baik. “Sampai …,” ini yang terdengar dari ucapan Ranum ketika saya hendak berangkat kuliah. Pasti ucapan sebenarnya seperti ini, “Sampai kapan kakak akan melakukan ini?”

Ari menuruni tangga lantai empat ke tiga dengan begitu cepat. Pasti ada yang begitu penting sampai-sampai langkahnya menyusul langkah saya, tak lain lagi ada yang ingin ia sampaikan, “Ada apa yang terjadi … Tadi di kelas … beranjak ke …, tapi kau malah …, seperti orang bisu,” ujar Ari.

Diam menjadi aktivis harianku mulai hari ini. Mau bagaimana lagi, tak ada yang bisa dijawab, jika yang dikatakan orang-orang terputus-putus seperti ini.

“Ngomong Wan ngomong!” Ari menghadang langkah saya dari arah depan.

Biarlah dia ingin berbuat apapun.

“Hey, terakhir kau … kenapa sekarang jadi … Kau sudah sinting …!

Tak tahan menatap mata Ari yang memerah, saya ambil langkah ke sisi kanan dan menuruni tangga lebih cepat. Pasti Ari tak tahan dengan sikap dingin yang saya tunjukan.

Namun Ari kali ini benar-benar marah. Ketika kami sampai di lantai satu, Ari menarik kerah belakang kemeja saya. Lalu, hantaman tangannya seketika mengenai pipiku. Untung saja hari sudah sore, dan tak ada siapa-siapa di lantai dasar gedung fakultas ini, kalau tidak pasti jadi tontonan para mahasiswa. Ada yang terasa sakit di pipi, ternyata lebam. Tak ada rasa penyesalan sedikit pun di diri Ari, mungkin ini karena menyangkut banyak orang, teman-temannya, dan para dosen. Begitu pun, saya tak masalah ia buat bonyok. Memang aneh, tapi sedari awal saya ingin merasakan keanehan ini. Kau tau bukankah di meja makan tadi pagi saya berdoa, “Tuhan, untuk beberapa saat ke depan izinkan saya merasakan apa yang sedang dirasakannya!”

“Semenjak kapan kau memakai sumbatan kayu ini di telingamu?” tanya Ari, kini dengan nada lembut.

Nampaknya pukulan Ari tadi begitu kuat, untuk berbicara pun pipi terasa sakit. “Itu tak begitu penting, Ri. Coba kau bayangkan Ranum adikku itu sudah melakukannya semenjak kecil. Setersiksa apa dia kira-kira?

Bahkan luar biasanya anak itu, ia selalu datang setiap kali kakaknya tampil konser, seolah-olah ia bisa menikmati lagu seperti orang normal di sekitarnya. Wajahnya selalu menunjukkan senyum ke arah panggung. Kira-kira apa yang dicari oleh seorang tunarungu dari acara konser coba? Tidak ada! Selain, kelembutan hatinya saja yang ingin ia persembahkan pada kakaknya.”

Ari membenamkan pandangannya ke lantai.

*penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, menggunakan nama pena.

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas