Cerpen

Ihwal Eksistensi Dan Akreditasi

Ilustrasi: Desty Rahmawati/Suaka

 Oleh: Nur Muhamad Iskandar*

Begitu membosankan bila hanya terpaku bisu di dalam rumah. Maka sedari jumpa rasa jengah, aku rutin pergi ke kampus, walaupun sedang libur semester, tapi tak apa. Rasanya menghabiskan waktu di kampus agak sedikit menghibur. Datang ke perpustakaan tuk baca buku, ke masjid untuk ngadem di selasar, makan cuanki di bawah pohon rindang, atau keliling-keliling kampus lihat kegiatan anak-anak pergerakan.

Waktu itu langit memberitahu padaku, bahwasanya matahari sudah naik sepenggalan. Aku pun tak ingin kalah giat dari matahari, sehingga seandainya atau seumpamanya engkau ada di sampingku, honey! Terhiruplah semerbak parfum yang wangi, dan terlihat seonggok manusia ini yang sudah rapi. Aku siap. Tinggal mangkat!

Mobil Pajero Sport yang membawaku seketika berhenti dan aku turun depan gerbang kampus. Saat-saat pertama kali melangkah ke gerbang kampus, terlihat di sebelah kanan, ada sebuah gedung, dengan terpampang huruf-huruf timbul bertuliskan “Universitas Antah-Berantah Bandung” dan di atasnya tersemat logo universitas berlambangkan bunga Rafflesia Arnoldi.

Para mahasiswa sebagian besar sudah pulkam – pulang kampung,  ke kampung halamannya masing-masing. Membuat kampus tidak seramai biasanya, tapi tetap saja ada yang berlalu-lalang pakai motor ataupun jalan kaki, didominasi oleh mahasiswa akhir. Dan hari ini mataku terpukau karena rejam pada sebuah pemandangan, yakni samping kiri-kanan jalanan kampus yang sesak dengan karangan bunga.

Ada sekitar 27 karangan bunga di hari pertama, pengirim-pengirimnya ada dari pihak internal, seperti Dekan Fakultas, Presiden Mahasiswa, satu-dua dosen, dan ada dari pihak Kemahasiswaan, Perpustakaan, DKM (Dewan Kemakmuran Masjid), dsb. Ada juga dari pihak eksternal, dari Rektor universitas ANU, Rektor universitas ANI, organisasi ke-Islaman, perusahaan, dan satu-dua bank, dll.

For your information, ada yang berbeda dari 26 karangan bunga yang lainnya, yang satu ini, yang sedang kupandangi, bisa dibilang bukan karangan bunga karena styrofoam-nya dihiasi bukan oleh bunga tapi dengan kawat-kawat dan paku. Huruf timbulnya pun terangkai dari pertambatan lengkungan-lengkungan kawat, di sana tercantum ucapan selamat yang berbumbu kata-kata muram menyayat: “Selamat atas terpilihnya… Untuk sementara waktu saya kirimkan karangan paku karena kalau karangan bunga yang dikirim, saya masih ragu, tuan bisa mengharumkan universitas ini atau tidak.” Di bawahnya ada tulisan tambahan: “Atas nama Ranum”.

Memang Ranum adalah sosok tersohor di kampus ini, tapi tak satupun mahasiswa di kampus ini pernah berjumpa dengannya karena konon katanya, nama Ranum hanyalah “Nama alias” untuk menjaga identitas Si Mahasiswi Pejuang ini. Salah satu mahasiswa di fakultas-ku bilang, “Ranum adalah Kartini-nya kampus ini, bang!”. Dan kebanyakan mahasiswa fakultas lain menisbatkan padanya nama Ratu Keadilan, agaknya terdengar mengagung-agungkan, tapi menurutku realitanya setimpal untuk dua julukan itu.

Karangan paku atas nama Ranum ini terpojok menyendiri, berbeda dengan karangan bunga yang ada, yang saling tumpang-tindih, yang satu ini terlihat horor sendiri. Berbeda dengan karangan bunga yang ada yang hanya bertuliskan kalimat-kalimat datar: “Terima kasih atas dedikasinya…”, “Selamat atas terpilihnya…”, atau ucapan “Selamat dan sukses…”, yang satu ini berkalimatkan radikal. Sebagai mahasiswa aku insyaf, hal itu bukanlah celaan tak bermoral, tetapi gertakan supaya Rektor yang baru terpilih, tidak terlena oleh puja-puji dan jilatan. Semacam oposisi penyelaras.

Hari itu aku sudahi menengok karangan bunga ini dan lanjut berjalan ke arah pohon rindang tuk beli cuanki. Di hari selanjutnya akan lebih banyak orang dan instansi-instansi yang mengirim karangan bunga. Kali ini ucapannya beragam dan satu-dua bernada jenaka, tak lain karena para mahasiswa juga ikut-ikutan mengirim karangan bunga. Sehingga karena begitu banyaknya, totalnya sekitar 55, mengubah jalanan menjelma sebuah galeri ber-aroma.

Kali kedua aku beranjak lebih dini, tak ayal karena ingin menamatkan membaca dua buku sejarah di perpustakaan universitas.

Tergopoh-gopoh aku menebas waktu dan tiba. Tiba lagi di gerbang kampus. Tiba lagi di galeri beraroma. Tak hanya ramai dengan karangan bunga, segelintir mahasiswa berkerumun juga di sana. Aku penasaran, tulisan apa yang sedang mereka baca?

“Pak jangan kerja mulu, mari badminton-an!”

“Bapak Rektor yang saya hormati, diharapkan untuk blusukan!”

“Ingat janji bapak kepada Amin!”

Nampaknya karangan bunga dari pihak mahasiswa lebih beraneka gaya bahasa. Dalam karangan bunga ini, Si Anton menyuarakan bahwa seorang Rektor jangan terlalu keras bekerja, sekali-kali interaksi dengan mahasiswa, badminton misalnya. Seorang mahasiswi bernama Megi berkelakar menyarankan Rektor yang baru terpilih ini untuk blusukan. (Dalam hati, aku bergumam, “Jangan, pak! Nanti diculik”) Kerumunan mahasiswa berada di karangan bunga, atas nama Amin, semua tertegun sambil berdiri, karena isinya menagih janji kepada Pak Rektor. Para mahasiswa pun bergunjing. Hal apa yang Amin tagih?

Belakangan aku tau yang Amin tagih adalah ihwal (Uang Kuliah Tunggal) UKT-nya yang ingin jadi UKT tingkat 1. Tapi yang mengundang tanda tanya, kenapa Si Amin ini masih saja sempat membeli karangan bunga yang elegan nan wah, padahal diketahui ia untuk membayar UKT saja tak mampu. Tak ayal mahasiswa banyak bergunjing.

Memang siapa yang tak mau UKT murah? Hehe.

Hari itu aku sudahi lagi menelisik karangan bunga ini dan lanjut berjalan ke arah perpustakaan tuk membaca buku. Di hari selanjutnya para mahasiswa akan menjadi semakin kreatif bersuara di karangan bunga-karangan bunga yang ada.

Dengan menggendong tas merah aku sampai lagi di Universitas Antah Berantah ini untuk kesekian kalinya. Kesekian kalinya melangkah. Dan kesekian kalinya menyoroti tindak-tanduk mahasiswa yang bikin geleng-geleng kepala. Adalah tiga orang mahasiswa yang menyomot huruf-huruf di karangan bunga, salah satunya adalah temanku, Ami Mia.

Karangan bunga yang dikirim si Anton, karena huruf-hurufnya banyak yang dicomot, maka bila dibaca secara beruntun menyisakan kalimat: “Pak jangan j u d i !” Kata “kerja” dibiarkan tersisa huruf j, kata “mulu” menyisakan huruf u, dan kata “badminton-an” menyisakan huruf d dan i. Milik Megi dan Amin juga bernasib sama, mahasiswa pada iseng terhadap karangan bunga milik mereka. Punyanya Megi jadi lebih terdengar keras dan tak bermoral, “Bapak Rektor yang busuk!” Sementara punyanya Amin hanya diubah nama saja, “Ingat janji bapak kepada Ami!” Huruf n-nya sepah dibuang Ami ke tanah. “Ada-ada saja,” aku geleng-geleng kepala di dalam hati.

Lagi-lagi hari itu aku sudahi menilik karangan bunga ini dan lanjut berjalan ke arah masjid tuk ngadem di selasar. Di hari selanjutnya akan kalian pastikan aku turut serta di wahana kreativitas itu, hehe.

Terhitung sudah hari keempat, pick up dan motor saling datang dan pergi, menyelesaikan tugasnya mengirim karangan bunga. Aku dari lubuk hati paling palung, juga tergerak untuk ikut bersuara dan menyalurkan kreatifitas seperti mahasiswa lainnya. Pendek kata aku juga ingin ikut-ikutan iseng.

Sepatuku berderap menghampiri karangan bunga milik Anton, Megi, dan Amin. Aku hendak memilih-milih karangan bunga yang mana yang aku hapuskan hurufnya. Dan akan jadi kalimat apa. Aku pun berpikir kuat-kuat. Tapi aku yang sedang menyusun taktik tak kunjung mendatangkan kreatifitas serupa seperti mahasiswa yang kemarin.

Walhasil, aku pun mengurungkan niat dan hendak pergi begitu saja ke arah anak-anak pergerakan yang sedang melingkar bersila. Tapi seketika satu-dua langkah terhenti, tatkala melihat Anjas tengah mengambil enam bunga warna kuning dan putih, masing-masing tiga tangkai. Dijamahnya saku belakang untuk mengambil pita dan diikat lah bunga itu sehingga pantas untuk diberikan ke seorang kekasih.

“Jas, untuk siapa bunga itu?” tanyaku.

“Untuk Ranum,” tegasnya.

Aku tercengang, “Kamu kenal Ranum?”

Ia tersenyum tipis, “Ranum itu kekasihku!”

“Orang-orang pada memujinya, Jas!”

“Dia itu wanita biasa, bahkan lugu.”

“Lugu bagaimana? Ia berani-beraninya mengirimkan karangan paku untuk Rektor!”

“Itu semua tindak-tanduk kekasihnya, aku.”

“Ouh.”

“Ranum adalah mahasiswi yang dirampas jati dirinya, mahasiswi yang dirampas kesan pertama kewanitaannya, wanita yang akan kebingungan bila kekasihnya atau suaminya kelak tau tentang apa yang terjadi padanya. Untung saja kekasihnya adalah aku yang setengah mati menerima. Kau paham kan apa yang ku maksud?”

“Paham, Jas! Lalu tindak lanjutnya bagaimana?”

“Kau tahu kan banyak pihak-pihak, baik dari mahasiswa maupun dari univ yang membuka advokasi, yang menyuruh Ranum merintih pada advokasi, tapi rintihannya dibungkam dengan tangan dingin, demi nama baik, eksistensi, dan akreditasi.”

Selepas aku bersua dengan Anjas, aku begitu saja merangsek pulang.

Di rumah, terlihat ayahku sedang rebah di atas sofa, memberikan jas dan dasinya kepada ibu, lalu membuka kopiah. Aku langsung duduk di dekatnya dan menceritakan semua tentang apa yang terjadi pada Ranum.

“Mau bagaimana lagi, nak? Ayah baru saja menjabat, meskipun itu terjadi di kepemimpinan sebelumnya, bila hal itu terbongkar sekarang, nama baik ayah akan turun deras, begitu juga sama nasibnya eksistensi, dan akreditasi universitas.”

Gumamku dalam hati, “Ingin sekali aku mencela Rektor, tapi Rektor itu ayahku sendiri, yang membiayaiku.”

*Penulis merupakan mahasiswa UIN SGD Bandung Semester lima  jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir. 

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas