Opini

Menakar Sakralitas Gerakan Mahasiswa UIN SGD Bandung

Ilustrasi: Ninda Nuraidah & Yazid Rizki Agung/Suaka

Oleh: Rifki Rahayu Al-Fahrezi*

Hari ini kita melihat perdebatan klasik soal posisi mahasiswa sudah waktunya dibuka kembali, bukan untuk mengeja lagi pada persoalan tugas dan tanggung jawab melainkan menegaskan posisi keberpihakan. Mahasiswa bukan sosok yang berumah di atas awan tapi bukan juga by order bagi kepentingan rezim. Design propaganda yang dialamatkan pada mahasiswa selalu tunggal; gerombolan tukang onar, aksi yang ditunggangi, merasa paling benar, dan tidak peduli pada persoalan aturan. Pada akhirnya posisi dan kedudukan mahasiswa jadi tercemar. Ironis memang.

Presiden Mahasiswa memiliki kedudukan paling tertinggi dalam berbagai urusan eksekutif. Bukan hanya sekedar menjalankan program kerja, namun secara filosofis sebagai penentu arah dari gerakan dan menjadi citra bagi mahasiswa yang dipimpinnya. Saking sakralnya jabatan strategis Presma, maka hanya orang-orang yang memiliki kapasitas dan kualitas tertentu yang berhak menduduki jabatan tersebut. Bukan tanpa sebab, ia akan mewakili ribuan mahasiswa dalam menyelesaikan masalahnya, bahkan reputasi kampus, beban moral serta gerakan kerakyatan ia harus mampu mengakomodir hal-hal demikian. Memang tidak mudah, tapi jika berhasil semua itu dilalui, niscaya berakhir indah.

Dalam buku Manajemen Sumber Daya Manusia oleh Dr. Tellma M. Tiwa, ia menjelaskan tentang Human Resource Development memiliki peranan penting dalam mengembangkan sumber daya manusia. Sosok Presiden Mahasiswa (Presma) harus jeli pada persoalan potensi sumber daya manusia karena selain mengembangkan ia pun harus melakukan pemberdayaan SDM agar sesuai dengan potensi yang dimiliki mahasiswa, sehingga hal ini sebagai upaya kebijaksanaan Presma dalam mengambil sebuah keputusan.

Selain daripada pemberdayaan potensi, Presma pun pada akhirnya yang akan menuntun semua kekhawatiran dan kesaksian atas gerakan mahasiswa. Sosok yang mewakili semua derita jalanan. Ibarat lentera malam, ia hadir sebagai penerang di dalam ketidakadilan, atau ia lenyap dalam kegelapan itu. Sayangnya, hari ini banyak yang menjual integritas demi mempertahankan status quo. Mungkin lebih tepatnya ini bukan soal sikap dan perasaan. Ini soal tentang gagasan. Mereka itu kaum reformis birokrat yang melihat status quo sebagai kenyamanan. Tidak mau dan tidak ingin pusat studi bergerak dalam garis konsolidasi dan perlawanan. Mereka ingin perutnya kembung oleh rasa kenyang dengan kepala padat teori-teori yang membual.

Satu hal yang memang dikhawatirkan sampai saat ini, di mana sosok Presma yang menahkodai arah dan gerakan mahasiswa? Seolah-olah ketidakmampuan Presma dalam mengelola masyarakat kampus ibaratkan seperti anak ayam kehilangan induknya. Presma yang merupakan sosok representatif mahasiswa pada umumnya kini hanya sebatas pamflet dan ucapan selamat saja yang terpampang di halaman beranda Instagram. Tidak ada bedanya seperti wajah para caleg yang terpasang di baliho, lebih besar wajahnya ketimbang gagasan konkret yang dimilikinya. Penulis merindukan Presma yang benar-benar dekat, mendekat, dan melekat dengan mahasiswa dan masyarakat Indonesia.

Dekat sebagai kawan

Mendekat menyelesaikan masalah

Melekat di dalam jiwa dan sanubari mahasiswa dan masyarakat Indonesia!

Pagelaran Sakral yang Melahirkan Arah dan Gerakan Mahasiswa

Pagelaran Musma-U merupakan agenda sakral yang melahirkan kiblat kepemimpinan, arah, dan gerakan mahasiswa khususnya di kampus Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Calon presiden mahasiswa yang terpilih tidak hanya sekedar mengisi jabatan strategis, melainkan sosok yang diharapkan mampu mengawal isu kampus, sosial, dan politik nasional.

Selain itu juga, Presma pun harus mampu menyelami persoalan akar rumput dalam menyelesaikan setiap problematika yang rumit. Minimal menjadi pendengar yang baik, tetapi terlalu elitis seperti birokrat yang kadang-kadang mengamini sebagian aspirasi. Bahkan lebih dari itu, sosok Presma harus mampu menggerakan dan meyakinkan mahasiswa tentang sakralitas gerakan mahasiswa yang mampu menumbangkan kekuasaan tirani. Maka, tidak heran kekuatan mahasiswa sangat efektif dalam mempengaruhi kebijakan publik yang mencederai kehidupan masyarakat. Penulis rindu, gerilyawan kota hidup kembali!

Dalam pemilihan Presma, diatur lebih lanjut mekanismenya melalui kepanitiaan yang dibentuk oleh SEMA-U. KPUM-U dan Bawaslu-U merupakan sarana kedaulatan mahasiswa sebagai produk konstitusi yang dibentuk SEMA-U dalam rangka menyelenggarakan pemilihan ketua dan wakil ketua dewan eksekutif mahasiswa UIN SGD Bandung yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 1 (satu) tahun sekali. Tentunya, KPUM-U tidak boleh menjadi cawe-cawe calon tertentu dalam meloloskan pasangan yang justru melanggar secara konstitusional. Sebab, penulis khawatir istilah Tempo “Anak Haram Konstitusi” kembali disematkan pada salah satu pasangan calon presiden mahasiswa. Oleh karenanya, pemilihan Presma ditunda, hanya demi meloloskan pasangan yang cacat secara administrasi dan melanggar secara etik. Jikalau penulis boleh menambahkan istilah Tempo menjadi “Anak Haram Konstitusi Mahasiswa”.

Menarik memang, perebutan kekuasaan ormawa intra di UIN SGD Bandung merupakan replika kecil politik nasional. Masa yang tegang bagi para pengusung: menempuh jalan pragmatis berkompromi dengan kelompok kepentingan (group of interest) dan relasi kekuasaan (relation power). Bahkan, kita mengenal kelompok netralis acap diasosiasikan dengan kesengsaraan akibat tidak kebagian kue proyek kampus. Kritik ini bukan tanpa sebab, membangun kekuatan yang seimbang merupakan jawaban atas kebuntuan politik. Di mana organisasi eksternal kampus terkenal seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sudah sejak awal melakukan kerja-kerja kaderisasi, pendidikan yang bermutu tentang kepemimpinan serta tidak lupa pula mengajarkan bagaimana merawat basis yang baik dan benar, bahkan bukan menjadi rahasia umum lagi beberapa organ ekstra terlibat dalam pemenangan salah satu pasangan calon presiden mahasiswa.

Maka deklarasi gerakan politik non-blok oleh seorang mahasiswa jurusan Manajemen bernama Rifki R. Al-Fahrezi atau biasa dipanggil Qital, menurutnya cara ini merupakan langkah yang bijak dalam menyembuhkan luka demokrasi yang kadung menganga, bukan justru mengedepankan sentimen negatif terhadap kelompok tertentu. Bahkan kita bisa melihat dalam negara demokrasi tercermin nilai-nilai kebebasan dan keterlibatan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Lantas, apakah harus disamakan kondisi politik di kampus dan yang terjadi di negara? Menurut penulis, tidak harus begitu, namun secara kenyataan politis, kita harus menerima kenyataan tersebut sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Maka, jika kaum netralis melakukan rekonsiliasi, dalam hal ini akan terjadi pertarungan politik secara fair.

Penulis jadi teringat dalam ruang diskusi terlontar sebuah pernyataan “Jika kalian ingin belajar strategi politik kampus, maka UIN SGD Bandung tempatnya”. Pernyataan tersebut kita amini sebagai kondisi objektif di kampus UIN SGD Bandung, terutama dalam persaingan kekuasaan ormawa intra kampus. Sebab, dinamika yang terjadi tidak bisa dinafikan sebagai pembenaran bahwa kaum netralis atau politik non-blok tidak bisa membangun kekuatan politik secara masif, terstruktur, dan sistematis. Artinya, gerakan politik non-blok merupakan agenda besar yang perlu dibangun oleh kaum netralis sebagai antitesa gerakan untuk membangun basis dalam pertarungan konstelasi politik kampus. Baik itu sebagai oposisi atau berkompromi dengan kekuasaan.

Beragam iming-iming telah ditawarkan dalam penggalangan massa, termasuk dengan cara-cara menghalalkan segala cara. Bukankah atmosfer politik di Indonesia tidak pernah lepas dengan hal-hal yang busuk? Begitu pula dengan suasana politik kampus, yang notabene adalah agent of change, seseorang yang dianggap menjadi juru bicara masyarakat, kelompok intelektual yang menjadi kontrol sosial, dan memberikan dampak yang baik di masa mendatang. Bahkan, teriak-teriak soal demokrasi yang dikebiri oleh pemerintah, tapi nyatanya terlibat pula dalam praktik-praktik tersebut di ranah kampus yang justru tidak seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang memprotes keras hal-hal demikian.

Menurut penulis, ajang pemilihan Presma bukan hanya sekedar peralihan dan perebutan kekuasaan saja, melainkan legitimasi demokratis yang dipikul hendak dipertanggungjawabkan dengan penuh khidmat. Ada ribuan mahasiswa di belakang itu untuk dimediasi segala keresahan dan keluhan yang tidak kunjung selesai. Ini artinya, calon yang terpilih mesti mengambil sikap dan siap menanggung segala resiko yang akan terjadi kedepan. Kalau kata H. Agus Salim leiden is lijden (memimpin itu menderita). Sebab, berbicara tentang kampus, bukan berbicara lagi tentang persoalan yang klasik. Melainkan berbicara tentang gagasan, ide, dan inovasi sebagai upaya dalam menjaga kehormatan almamater. Lebih baik simpan saja jas almamater yang kalian gunakan, jika hanya menjadi sekat dengan masyarakat.

Adapun poin penting dalam tulisan ini bukan terletak pada perebutan kekuasaan ormawa intra kampus saja, ataupun sentimen-sentimen negatif terhadap kelompok tertentu. bahkan lebih dari itu. Pandangan kita harus berpusat pada satu pertanyaan yang mendasar. Apakah Presiden Mahasiswa (Presma) yang terpilih berikutnya mampu mengembalikan marwah gerakan mahasiswa UIN SGD Bandung?

Penulis berharap penuh, siapapun calon yang terpilih menjadi Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas dapat mengawal isu-isu sosial, politik, lingkungan, dan kampus serta membela kepentingan rakyat. Presma yang terpilih harus mengutamakan kepentingan mahasiswa dan masyarakat. Ia harus lebih dekat dengan berbagai elemen mahasiswa yang ada. Penyematan mahasiswa sebagai social control, bukan hanya sebatas teori pada saat ospek jurusan. Melainkan satu paradigma yang mesti dipahami secara leksikal, bahwa upaya-upaya demikian adalah jalan untuk meraih kehormatan bagi mahasiswa. Maka, kita dapat menakar sakralitas gerakan mahasiswa UIN SGD Bandung dalam perspektif seberapa besar keberpihakan kita terhadap masyarakat Indonesia.

Pada beberapa penjelasan di atas, kiranya penulis berusaha memberikan sudut pandang lain yang lahir daripada kebijaksanaan seorang intelektual. Adapun oleh penulis merangkum beberapa hal yang menjadi point of views dalam menakar sakralitas gerakan mahasiswa UIN SGD Bandung tersebut:

  1. Kelompok netralis hendaknya melihat secara komprehensif kondisi objektif kampus. Perebutan kekuasaan ditingkat kosma, jurusan, fakultas, dan bahkan universitas, ini merupakan kondisi yang tidak bisa kita bantah. Artinya, situasi yang menantang untuk melakukan proses kristalisasi mental dan pikiran, selain dari perebutan kekuasaan saja. Maka, sebaiknya kelompok netralis membangun basis kekuatan politik dari hulu sampai ke hilir, sebagai langkah konkret dalam mengimbangi demokrasi di kampus. Menurut penulis, jika masih ada yang mengedepankan sentimen negatif terhadap kelompok tertentu, artinya dia mahasiswa amatiran yang tidak mampu menjawab tantangan. Bukan saatnya lagi bermain pada persoalan otot, coba kaum netralis sedikit beranjak untuk membangun kekuatan politik yang serupa.
  2. Organisasi eksternal kampus merupakan beberapa diantara ruang aktualisasi selain dari ormawa intra kampus. Menurut penulis tidak ada soal untuk masuk organ ekstra, itu hak prerogatif semua orang, namun mahasiswa yang terlibat di dalam organisasi tersebut tetap merdeka, bebas, dan berdaulat sebagai seorang mahasiswa. Karena penulis sempat membaca sejarah organisasi eksternal kampus tersebut, sedikit banyaknya telah berkontribusi terhadap Indonesia pasca kemerdekaan. Kita sebut saja oknum yang bermain di atas kepentingan mahasiswa.
  3. Penulis mengajak kepada semua kalangan mahasiswa, sudah saatnya hari ini kita bersama membangun gerakan mahasiswa UIN SGD Bandung menjadi kiblat perjuangan dalam menegakkan kepentingan mahasiswa dan rakyat Indonesia. Kembali menjadi bagian terpenting dalam bangsa ini. Rekonstruksi peran sebagai pusat riset kajian isu strategis. Seandainya semua bersatu dalam kepentingan yang sama yakni menjaga amanat reformasi, mengawal kebijakan yang berpotensi mencederai masyarakat dan menjadi pelaku sejarah yang berdiri kokoh, tegak dan tangguh pada persoalan prinsip, maka apabila gerakan ini berhasil kita lakukan secara bersama maka penulis sebut “UIN adalah Koentji” dan gerakan persatuan ini kiranya kita sebutlah sebagai “National Congress Gunung Djati”.
  4. Presma yang terpilih hari ini diharapkan bertanggung jawab atas amanah yang dipikulnya. Bukan lagi berbicara jabatan strategis, tetapi sejauh mana ia memberikan kecintaan dan perjuangannya demi membela kepentingan mahasiswa dan masyarakat Indonesia. Sebab, variabel tersebut menuntut hal yang sama yaitu pengorbanan. Penulis berharap kepada para pembaca, selain memberikan dukungan moral kepada calon yang terpilih, maka diwajibkan atasnya untuk menuntut dua hal: mari rebut kedaulatan rakyat Indonesia dari kekuasaan yang mengabaikan keadilan dan mari hidupkan kembali gerakan mahasiswa sesuai dengan fitrahnya.

Katanya momentum pemilihan presiden mahasiswa akan segera dimulai? Kita saksikan siapa yang akan menjadi wajah dari kepeloporan gerakan mahasiswa UIN SGD Bandung!

Hidup Mahasiswa!

Hidup Rakyat Indonesia!

Hidup Perempuan yang melawan!

*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Manajemen semester delapan UIN SGD Bandung

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas