Fokus

Menimang-nimang Regulasi Non-Muslim di Kampus Moderat

Ilustrasi Foto oleh Mohamad Akmal Albari/Suaka.

Oleh: Mohamad Akmal Albari

SUAKAONLINE.COM – Awal Desember silam, Suaka mendatangi salah seorang mahasiswa non-muslim (nonmus). Jelang memasuki mata kuliah kedua di hari Rabu pagi (6/12/2023), Herdin ditemui Suaka usai kelas Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) Ilmu Tauhid. Beralih ke kelas kosong, mahasiswa jurusan Teknik Informatika itu bercerita mengenai pembelajaran di kelas.

“Kuliah (seperti) biasanya aja sih, nggak ada yang membedakan. Tetap bisa mengikuti paling yang harus lebih menyesuaikan kalau ada pembelajaran perkuliahan yang ke arah Islami gitu, itu kan perlu ada penyesuaian karena background dari keyakinan. Memang bukan (dari) Islam,” ucap Herdin.

Meskipun beragama kristen protestan, Herdin Kristiani Zebua menjalani kuliah seperti mahasiswa lainnya. Tidak ada perbedaan yang ia rasakan dari lingkungan akademiknya. Dua tahun  kuliah di UIN Bandung, lima mata kuliah (matkul) keislaman dilalui. Satu matkul di semester awal dan dua matkul di semester dua dan tiga.

Sebelumnya, alasan Herdin masuk UIN adalah tertarik salah satu jurusan setelah konsultasi dengan guru Bimbingan dan Konseling (BK), dalam buletin Suaka Vol.2 Edisi April tahun 2023, bertajuk “Antara Toleransi dan Kekosongan Regulasi”. Pilihan Herdin bukan tanpa pertimbangan, konsekuensi minoritas tak jadi halangan. Ia malah terinspirasi oleh mahasiswi nonmus UIN Jakarta yang berprestasi.

Herdin mengakui bahwa lingkungan di kampus cukup toleran, sesekali ada teman yang bercanda, tak dianggap serius. Sempat di kelas, beberapa dosen kaget mengetahui kehadiran Herdin di kampus. “Gak banyak sih, kebanyakan dari mereka ya biasa aja gitu nggak ada sesuatu yang kayak kaget atau gimana,” lanjutnya.

Perasaan itu juga dialami teman satu kelas Herdin, Imany Fauzy, ketika pertama kali mengetahui identitas Herdin. Namun, ia turut kagum melihat Herdin berkuliah di UIN yang notabene beragama Islam. “Ini kan UIN, lingkungannya Islami gitu kan. Tiba-tiba ada teman saya salah satunya itu yang non-muslim begitu, sebenarnya kaget awalnya,” ungkapnya, Senin (27/11).

Langit jingga kampus menemani obrolan bersama Imany di Tugu Kujang, dengan sedikit iba, Imany menyingkapkan Herdin sering berpendapat di kelas sewaktu matkul keislaman. Menurutnya, toleransi seperti ini perlu untuk hidup berdampingan. Sikap yang ditonjolkan adalah ikut serta belajar kebudayaaan, tidak mempercayai keyakinannya. “Contohnya Herdin, beliau juga sering ngasih pengalaman gitu, kita yang sekelas jadi tahu,” ujar Imany.

Tuntutan MKDU Keislaman

Mahasiswa nonmus kampus Islami sudah eksis di beberapa daerah, salah satunya kota Keraton. Suaka menghubungi mahasiswa jurusan Pendidikan Fisika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Mikelis Ovani Salus. Satu angkatan dengan Herdin, Mikelis yang sering dipanggil “Vani” menceritakan pengalaman belajar di kampus. Matkul keislaman, semisal ulumul quran dan ulumul hadist sama-sama dipelajari.

“Nggak terlalu mendalami banget ya, yang pelajaran baca Quran sama itu hadisnya, tapi kayak banyak istilah-istilah baru yang belum pernah dengarkan sebelumnya,” tutur Vani lewat Google Meet, Rabu (19/12).

Vani mengeluhkan kalau dosen menyamaratakan nilai sedang dia tidak memiliki pengetahuan dasar agama Islam. “Kalau kita udah berusaha lebih keras, apalagi kan belum tahu dasar-dasarnya tapi nilainya ada yang agak turun gitu. Padahal makalah udah dikerjain itu. Kayak di sapu rata nilainya,” lanjutnya.

Selain Vani, ada empat mahasiswa nonmus di kampus UIN Yogya. Lingkungan toleran dirasakan mahasiswi Katolik itu, kala mendapat tugas matkul keislaman, teman-teman kelas membantu Vani. Di sana, tidak ada kewajiban memakai kerudung asalkan sopan. Kesulitan kuliah tidak luput dari matkul keislaman. Ia menyuarakan agar peraturan mahasiswa nonmus perlu disegerakan, terkhusus mata kuliah.

Herdin pun demikian, “Saranku mungkin karena memang UIN berani menerima mahasiswa yang non-muslim. Harusnya ada regulasi yang mengatur untuk mata kuliah. Mata kuliah agama untuk mahasiswa non-muslim dengan cara ada mata kuliah pengganti kah, atau dengan regulasi yang lain ya. Semoga aja ada gitu,” jelas Herdin.

Sementara terik mentari menyongsong siang, azan Zuhur terdengar di ruang dosen Fakultas Psikologi UIN Bandung, memakai kaos merah sambil menikmati istirahat, Yonathan Natanael memberikan tanggapan berbeda. Dosen Psikometri itu menyebut aspirasi peraturan nonmus akan sulit karena mengubah kurikulum. Konsekuensi memilih kampus UIN bagi nonmus mengharuskan belajar matkul tentang Islam.

“Kayak saya waktu kuliah di UIN Jakarta, saya pun belajar pelajaran tentang Islam misalnya Studi Islam Komprehensif. Karena saya dari kristen mau enggak mau saya harus belajar gitu. Itu kan pilihan pribadi kita kalau untuk bikin aturan yang baru, mengubah kurikulum, tidak mungkin bisa. Tapi mungkin yang bisanya itu adalah kebijakan masing-masing dosen yang mengampu mata kuliah Islami itu,” ungkapnya, Rabu (6/12).

Selama 4 tahun dosen asal Karawang itu mengajar, lingkungan UIN Bandung dan UIN Jakarta memiliki inklusivitas yang berbeda. Dari pengalamannya, UIN Jakarta mempunyai kelas khusus yang berisi 16 – 20 orang non-muslim. “Ya ada kelasnya di satu fakultas gitu. Kalau bisa dibilang ya nggak tahu nanti, apakah UIN Bandung bisa seperti itu juga. Kalau dibilang toleran dan inklusif, dua-duanya toleransi dan inklusif buktinya nerima saya saja,” lanjutnya.

Memafhumi Moderasi Beragama

Tengah hari dimana langit mulai meredup, hujan mengguyur kampus, Suaka menunggu salah satu dosen Studi Agama-Agama yang mengajar di lantai 3 Gedung T Ushuluddin, Kampus I UIN Bandung. Selesai mengajar, Roro Sri Rejeki beralih ke ruang dosen. Suaka mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengenai mahasiswa nonmus terkait moderasi beragama. Roro menganggap kehadiran nonmus di tingkat sarjana dan pascasarjana memiliki perbedaan level tentang makna moderat dan inklusif.

Roro mengatakan dengan gamblang bahwa pola pikir inklusif menyadari keberagaman sebagai kenyataan hidup di masyarakat, mereka menerima, menjaga perdamaian dan toleran. Sedangkan moderasi beragama pada dasarnya serupa inklusif, tetapi memandang keberagaman adalah suatu keharusan dan terlibat aktif di setiap komunitas masyarakat.

“Jadi ibarat logikanya gini, kalau sikap inklusif yang masih dimiliki oleh anak-anak S1 itu adalah stay away. ‘saya Islam, kamu Kristen ya udah kita sama-sama masing-masing di jalan yang berbeda’. Tidak keep and touch pada hubungan, tidak ada komunikasi. Kalau pascasarjana konteksnya berbeda begitu,” jelas Roro, Senin (6/11).

Berdasarkan data yang didapatkan dari Wakil Rektor 1, Dadan Rusmana, terdapat tiga mahasiswa nonmus program pascasarjana dan dua mahasiswa program sarjana. Lebih lanjut, Roro menyampaikan adanya mahasiswa nonmus di strata dua untuk menaikkan akreditasi yang mengharuskan keberadaan mahasiswa multireligius dan multikultural.

“Untuk tingkat Pascasarjana itu memang diharuskan ya, untuk menaikkan akreditasi dari program pascasarjana tersebut. Apalagi untuk jurusan Studi Agama-Agama gitu atau religius studi, kebetulan saya juga mengajar di Pascasarjana,” katanya.

Konsep moderasi beragama mulai dipromosikan tahun 2019, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutnya “The Internasional Year of Moderation”. Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2023 Tentang Penguatan Moderasi Beragama, meneguhkan konsep tersebut. Sebelumnya, penguatan itu sudah dilakukan UIN Bandung bersama Kemenag RI dengan rumah moderasi beragama di kampus III pertama kali pada 26 November 2019.

Moderasi beragama masuk dalam salah satu agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024, yakni bidang revolusi mental dan pembangunan kebudayaan. Proyek Prioritas Nasional (ProPN) ini direncanakan sebagai sikap menengah beragama memberantas intoleransi, radikalisme dan eklusifisme.

Menurut Roro, menyikapi urgensi aturan mahasiswa nonmus di kampus belum tepat diberlakukan. “Untuk anak S1 (Strata satu -red) mungkin belum cocok ya, karena masih banyak perjuangan yang harus dilakukan untuk menyadarkan konsep apa moderasi itu sendiri di kalangan anak-anak S1. Berarti banyak yang (harus) diperbaiki dulu,” pungkasnya.

Aturan Tidak Jadi Diskriminasi

Senin (6/11), jauh hari sebelum mewawancarai Herdin, Suaka menemui Warek 1, Dadan Rusmana di ruang kerjanya. Perkara regulasi nonmus sudah lama disinggung ketika Rosihon Anwar masih menjabat Warek 1. Dadan kembali menjelaskan kampus tidak ada peraturan yang mengharuskan beragama Islam. Peraturan yang bersifat umum harus diikuti, tak terkecuali nonmus.

Menghadapi realitas nonmus, Dadan mengatakan aturan tersebut akan digarap. “Aturannya sedang kita godok ya, karena menghadapi realitas. Saya juga menjadi Warek baru beberapa bulan ya, masa transisi sedang kita godok,” ujarnya.

Mengenai mata kuliah keislaman, kampus menyediakan jalur alternatif, seperti dikonversikan dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) atau penelitian. Namun, menurut Dadan, ini hanya opsi lain daripada mengikuti matkul yang disediakan oleh setiap Program Studi (Prodi). “Ya tidak mesti, ‘kan masuk ke sini jadi ikut’ tidak ada ketentuan yang memaksa. Apalagi konteks MBKM itu semester tiga ke atas, itu udah bisa memilih mata kuliah apapun kan ya,” lanjutnya.

Dadan juga menyebut tidak ada larangan ketika mahasiswa nonmus masuk ke jurusan berbasis Islam, itu pun jika mahasiswa tersebut memiliki kemauan dan kemampuan dasar. Dia menyadari kampus tidak memiliki sistem akselerasi, sehingga berjalan layaknya mahasiswa umum. Selanjutnya, aturan turunan akan dimatangkan dalam hal matkul Keislaman dan berpakaian.

“Sebenarnya gini, yang non-muslim boleh ga masuk ke IAT (Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir -red) ? Secara prinsip boleh kalau dia punya tekad, kemauan, dan kemampuan dasar. Kalau dia bisa Bahasa Arab, ya kan memungkinkan. Kalau dari nol? Nah, itu dia yang menjadi permasalahan,” ujar Warek 1.

Tak lepas dari itu, kampus mengupayakan lingkungan akademik yang toleran. Sosialisasi, edukasi dan literasi hubungan antar agama diproyeksikan bisa terbangun sejak dini. Dadan memperingatkan agar tidak ada diskriminasi dari mahasiswa atau dosen. “Jangan sampai ada misalnya ada non-muslim perempuan, tidak berkerudung kuliah di kelas, di-bully baik verbal maupun tindakan non-verbal,” tegasnya.

Terlebih kepada dosen, sanksi kode etik berlaku di wilayah akademik dan administrasi. Sanksinya meliputi teguran ringan sampai skorsing. Apabila terjadi pelanggaran sosial atau pidana, dampaknya adalah pemecatan. Di sisi lain, nantinya, hadirnya aturan antara mahasiswa nonmus dan Islam dimaksudkan agar menyesuaikan tingkat kemampuan.

“Ya aturan itu kan dibuat sebenarnya bukan untuk membeda-bedakan, tetapi untuk melihat pada proporsi mana dia harus berjalan. Kan kanan kiri juga dibuat di tol bukan berarti untuk membedakan yang kanan dan yang kiri. Tetapi untuk membedakan supaya kanan dan kiri punya aturan tersendiri, terjadi harmoni, damai,” ucapnya.

Menghidupkan Kampus Moderat

Meskipun moderasi beragama hadir menjadi sikap yang harus dimiliki civitas akademika, menurut Roro belum mencapai pada praktiknya. Pasalnya, teori-teori semata tidak cukup, implikasi mahasiswa dengan kegiatan-kegiatan moderasi perlu digalakkan. Roro menyebut dialog moderasi tidak hanya antar umat beragama, tetapi internal agama, seperti membahas teologi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).

“Kayaknya kita itu banyaknya ke wilayah teori. Mungkin harus diperbanyak gitu ya dan dibuka kerjasama dengan organisasi-organisasi atau NGO (Non Governmental Organization -red) yang lebih apa yang lebih fokus pada kajian-kajian sosial keagamaan di masyarakat,” tuturnya.

Edukasi dalam kelas memerlukan matkul Moderasi Beragama 3 Satuan Kredit Semester (SKS), 2 SKS yang berkecimpung perihal teori dan 1 SKS berisi praktiknya. Dosen Studi Agama-Agama itu menerangkan praktik-praktik itu sebenarnya ada di rumah Moderasi Beragama. Namun, hanya beberapa mahasiswa yang tahu dan perlu diaktifkan lagi.

Sementara itu, Dadan mengutarakan pembelajaran moderasi beragama dilakukan secara insersi, yakni memasukkan topik moderasi dalam beberapa mata kuliah tertentu. Hal demikian merupakan cara kedua yang diambil masing-masing prodi selain menyediakan matkul Moderasi Beragama.

Lebih lanjut, Rumah moderasi beragama dipandang perlu membuat sosialisasi sebagai program kerja yang terukur dan berkala oleh setiap fakultas. Hal ini melihat rumah tersebut umumnya digunakan tempat mengaji santri kampus III.

Adanya program moderasi beragama di rumah moderasi, menurut salah satu santri kampus III, Alif Ma’luf menyebut tidak jelas ada atau tidaknya program itu di sana. “Kurang tahu, kalau pernah atau nggak mah, cuma itu gedung bahkan sekarang jadi tempat anak bahasa (sebagai kelas),” ujar Alif yang telah menetap sejak 2022, Minggu (17/3/2024). [Kru Liput: Ighna Karimah Nurnajah, Akhmad Ridlo Rifa’i, Faiz Al Haq]

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas