Cerpen

Merayakan Agustusan

Oleh: Risman Ginarwan*

Pagi itu matahari masih belum terlihat dengan jelas bundarnya, tapi cahayanya yang menguning sudah mulai masuk melalui jendela depan rumah milik Ki Karman. Tanpa harus membukakan jendela itu, cucu Ki Karman, Rudi sudah membukakannya lebih dahulu.


“Bagus lah, Rud. Kamu sudah mengerti apa yang sering Aki lakukan di pagi hari” ujar Ki Karman, “dimana kopi Aki, Rud?” tanyanya lanjut.


“Oh, Rudi belum sempat membuatkannya, Ki. Tunggu sebentar Rudi tinggal nyapu teras depan, setelah itu Rudi buatkan kopi panas.”


Cahaya mataharinya terus menyinari tubuh Ki Karman yang sudah kriput dan layu. Ki Karman mulai tua sekarang. Tidak seperti sepuluh tahun yang dulu. Ki Karman masih mampu untuk melaksanakan olah raga kecil di halaman depan rumahnya. Namun terlepas dari semua itu, matahari masih setia memberikan kenikmatan bagi kehidupannya hingga sekarang. Maka kebiasaan yang sering dilakukan Ki Karman sekarang hanya mampu untuk duduk di atas kursi goyangnya. Di balik jendela yang berukuran cukup lebar dan mampu ditembus cahaya matahari.


Rudi salah satu cucunya yang masih setia untuk membantu kakeknya di rumah itu selalu membantu Ki Karman. Menyapu debu-debu di dalam rumah ataupun hanya sekadar membersihkan dedaunan yang jatuh dari pohon mangga di halaman depan rumah saja. Rudi lakukan sebelum ia berangkat ke sekolah setiap harinya. Namun berbeda jika di hari-hari libur. Seringkali jadwal untuk membantu kakeknya lebih lama dibandingkan hari-hari biasa.


“Rud, jaga kakekmu jika nenek sudah tidak ada di rumah ini lagi, ya. Tidak ada cucu yang lainnya lagi yang mau membantu kami berdua di rumah ini” seperti sebuah wasiat dari Emak Keta tatkala dia belum dipanggil oleh Tuhan karena penyakit tetanus nya dua tahun lalu.


Ki Karman masih saja menatap ke luar jendela, di halaman rumah. Menatap bendera merah putih yang hanya bisa berkibar-kibar di tiang bambu yang berukuran 4 meter. Berdiri tegak diikatkan dengan pagar depan oleh Rudi kemarin sore. Karena hari ini bertepatan dengan tanggal 17 Agustus. Tepat semua orang merayakan hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke -68. Sudah cukup tua. Merayakannya dengan berbagai macam perlombaan ataupun hanya sekadar mengikuti konvoi ke alun-alun saja. Atau mungkin seperti Ki Karman sekarang, yang hanya duduk saja rumahnya.


“Ini Ki, kopinya. Awas masih panas, Ki” Rudi datang dari dapur dengan membawakan secangkir kopi panas kesukaan Ki Karman. Diletakannya di atas meja sebelah kanan tempat duduk. Dan asapnya yang tipis mengepul ke atas dan sedikit tersibak angin tipis di pagi itu.


***


Bendera yang ditatap Ki Karman masih saja berkibar-kibar di atas tiang. Matahari sudah mulai meninggi, dan cahayanya sudah mulai membuat bayang pepohonan dan juga bayang Ki Karman yang masih duduk di kursi goyangnya. Itu artinya, Indonesia juga sekarang sudah mulai meninggi dan semua masyarakatnya sudah mempunyai cahaya untuk membuat sebuah sejarah baru yang akan mengikutinya nanti ke depan. Ataupun mundur ke belakang. Seperti bayangan. Ujar Ki Karman lirih dalam hatinya sembari melirik di sekelilingnya. Dan kembali melihat bendera merah putih itu lagi.


Jika saja Ki Karman masih mampu untuk berjala. Dia akan pergi untuk berziarah ke makam teman seperjuangannya ketika perang dahulu, Sapto. Perawakannya yang tinggi dan mempunyai semangat juang yang tidak pernah rapuh sedikitpun oleh rasa apapun yang menghalangnya.


Ki Karman menemukannya tergeletak tak bernyawa di pinggir sungai desa dengan berselimutkan daun pisang dan bendera merah putih yang sudah berlumuran darah. Sebagian tubuhnya gosong dan berceceran darah. Mungkin disebabkan dari ledakan bom sekutu yang mengenainya ataupun dari peluru-peluru yang menembus tubuhnya. Sehingga menjadi seperti itu.


Ki Karman dengan beberapa teman seperjuangannya yang lain memakamkan mayat Sapto di tanah wakaf masyarakat yang dijadikan tempat kuburan semua pejuang yang ada di desa itu. Ki Karman sendiri yang membuat batu nisan dan menamainya untuk kuburan milik Sapto.


Namun sudah dua masa agustus ini Ki Karman sudah tidak berziarah langsung ke makam Sapto. Bukan Ki Karman tidak mau pergi ke makamnya itu dengan alasan sudah tua ataupun malas untuk berziarah. Namun karena keterbatasan yang dimiliki Ki Karman, sekarang dia tidak bisa pergi ke sana. Karena berziarah ke makam temannya itu sering dilakukan Ki Karman pada agustusan ataupun ketika lebaran saja.


Pada agustusan sekarang pun Ki Karman ingin berziarah ke sana. Namun tidak ada yang bisa untuk dilakukan selain dia hanya bisa mendo’akannya dari kejauhan saja untuk teman seperjuangannya itu.


Ki Karman menyeruput kopi yang sekarang tidak terlalu panas sebelumnya. Dan cahaya matahari sudah tidak lagi menembus melalui jendela yang di baliknya ada Ki Karman yang sedang duduk santai melihat bendera merah putih terus berkibar-kibar diterpa angin pagi yang meninggi. Lalu beberapa anak kecil berlari-lari melewati rumah Ki Karman. Mungkin mereka menuju lapangan tempat perayaan agustusan di desa.

 

“Kamu tidak pergi ke lapangan, Rud?”


“Belum, Ki. Cucian baju di jamban belum beres sedikit lagi” Kebetulan hari Senin ini sekolah Rudi diliburkan, karena seperti tahun-tahun sebelumnya setiap 17 agustus sekolah pasti diliburkan. Maka Rudi memanfaatkan hari agustus yang spesial ini dengan banyak membantu kakeknya di rumah dan setelah semuanya beres Rudi akan pergi ke lapangan untuk ikut merayakan pesta agustusan bersama masyarakat lainnya.


Rudi memaknai hari agustus ini bukan hanya dengan pesta-pesta perlombaan di lapangan saja. Dia memaknainya dengan berfikir “Bagaimana menjadi manusia yang bisa bermanfaat dalam kehidupannya juga dalam kehidupan keluarganya?” Salah satunya dengan membantu kakeknya di rumah dan lebih meringankan beban kakeknya untuk membereskan pekerjaan di rumah. Itulah kemerdekaan menurutnya.


“Rud, sebelum kamu pergi ke lapang. Boleh Aki menyuruhmu untuk pergi ke makam teman Aki dulu untuk berziarah?”

“Bagaimana kalau Rudi antar Aki ke sana pake motor saja?”

“Aki tidak mampu berjalan, Rud. Jangankan untuk berziarah ke sana, menyeduh kopi saja Aki hanya bisa menyuruhm. Jadi bisa ‘kan kamu pergi ke makamnya?”

“Ya, baiklah Rudi berangkat ke sana”

***


Kali ini Ki Karman tidak hanya duduk dan menikmati kopi yang dibuatkan oleh cucunya. Namun beberapa lembar koran baru menemani pagi Ki Karman di hari agustus kali ini. Didapatkannya di berbagai halaman koran itu memuat banyak berita, opini, cerita, ataupun hanya sebatas iklan ataupun acara yang berbau kemerdekaan. Berbau pesta agustusan.

“Ki, di tanah wakaf itu sekarang sudah tidak ada makam siapapun” Kata Rudi ketika sesaat setelah datang dari luar.

“Yang benar kamu?” Ki Karman sontak kaget ketika mendengar ucapan Rudi.


“Di sana hanya ada beberapa villa dan di bawahnya ada danau kecil saja, Ki.” Jelas Rudi, “kata penjaga villa di sana, dua tahun yang lalu di sana memang ada beberapa makam saja. Tapi katanya itu mungkin hanya makam buatan saja, bukan makam asli. Jadi pemilik villa itu menjadikan tanah makam itu menjadi villa.” Jelas Rudi kepada kakeknya.


Raut muka Ki Karman menandakan ketidakpercayaan tentang semua cerita itu dan rasanya dia ingin pergi untuk melihat langsung ke tempat villa itu berdiri. Tapi tetap saja dia tidak mampu untuk melakukan semua hal itu. Ki Karman hanya mampu untuk berdo’a dan terus berdo’a saja. Semoga pada agustus sekarang ini do’anya masih bisa diterima oleh Tuhan untuk Sapto yang sudah menjadi teman seperjuangannya dahulu.


Ki Karman pun hanya bisa menatap bendera merah putih yang berkibar di tiang bambu yang diikatkan dengan tali oleh Rudi kemarin sore. Dia masih ingat, bendera yang berkibar itu sempat menjadi saksi gugurnya Sapto ketika berperang melawan sekutu. Dia juga masih ingat, bendera itu sempat menjadi saksi ketika Ki Karman muda belajar memegang senapan yang diajarkan oleh Sapto. Sebelulm dia gugur.

*Penulis adalah mah
asiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Adab dan Humaniora.

 

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas