Cerpen

Nestapa Mahasiswi Tuna Susila

Ilustrasi: Ninda Nur Aidah/Suaka

Oleh: Sir Malibari Java*

Dalam hening malam mengakhiri hari Sabtu, 20 April, sebuah notifikasi muncul di Telegram. Pemberitahuan itu ternyata hanya bertuliskan ’P’ –Ping– cara memulai chat yang sering digunakan anak muda sekarang untuk mengabari teman-temannya. Kamar tidur sudah gelap. Selimut telah menutupi badan. Kertas-kertas ujian terhamparkan. Perempuan dengan piyama hitam itu membatalkan untuk istirahat. Pesan orang asing itu membuat dirinya sadar tidak ada waktu bermalas-malasan walaupun seharian kelas kuliah menguras otaknya.

“Iya, mau order?” jawab perempuan itu.

“Mau, kalau masih open,” kata orang asing di Telegram.

“Masih kok, sesuai yang ada di pamflet bio ya,” ujar perempuan yang baru selesai mengerjakan ujian mata kuliah Pemasaran.

Orang asing itu kemudian mencoba harga termurah untuk menguji keaslian perempuan itu. Tarif harga terendah yang ditawarkan adalah Rp 25.000 per tujuh menit. Ia menyepakati dan mengirim sejumlah uang tersebut via platform pembayaran digital. Tidak berlangsung lama, perempuan itu menelponnya melalui WhatsApp karena klien meminta untuk dihubungi di sana. Setelah itu, pesan dari orang-orang asing lainnya mulai mengabari dia untuk order serupa.

Dalam sehari, sekurang-kurangnya ada tiga klien yang ia layani sebagai talent Call Sex (CS). Hal ini tidak berlaku setiap hari bagi Prisilia, terkadang seharian tidak ada pesan yang masuk. Sudah satu tahun ia menjalani kehidupan yang tidak diinginkan, walau sesekali kenikmatan itu muncul menjebaknya. Perempuan muda yang duduk di Perguruan Tinggi itu penuh semangat, membuktikan bahwa seorang anak pedagang layak untuk mengenyam pendidikan.

Dua hari setelahnya, Prisilia yang dikenal ’Lia’ mendapat pesan masuk dari tiga orang, sedang Lia sibuk mengerjakan ujian tertulis mata kuliah yang lain. Mau tak mau, ia menaruh pulpen dan menjawab masing-masing pesan. Orang pertama memintanya untuk jasa CS selama 5 menit. Orang kedua masih bertanya-tanya. Yang ketiga menginginkan pelayanan yang berbeda, tawaran konten-konten foto dan video dirinya dengan tarif yang cukup mahal.

Sejenak Lia menghela nafas, kebingungan membagi waktu untuk melayani semuanya dalam satu waktu. Sontak, orang kedua mengirim uang ke Lia sebesar 50 ribu rupiah untuk 15 menit. Lia mulai melayani orang kedua itu dan mengabari dua orang lainnya kalau dia sedang ada pelangggan.

”Aku call ya,” jawab Lia sambil berpindah dari meja belajar ke kasur.

Sekitar pukul 11.30, telepon dengan orang kedua selesai. Selama dalam panggilan, Lia terus berkomunikasi dengan dua orang itu. Orang pertama tadi memesan serupa orang kedua, tetapi dengan permintaan alur adik-kakak. Sesekali, Lia menelpon para pelanggannya melebihi batas waktu yang dipesan, ia berusaha agar para pelanggan ini bisa memesannya di lain waktu. Walau dalam beberapa menit dengan pelanggan, Lia berusaha ramah dan menampilkan penuh kasih seperti pacar.

”Makasih ya sayang, semoga rezekinya dilancarkan dan dimudahkan. Aamiin,” tulisnya usai melayani pelanggan.

Jam dinding sudah menunjukkan angka 12, hari berganti, Lia masih menunggu respons orang ketiga dengan harap bayaran yang mahal. Dari posisi berbaring di atas kasur, Lia mencoba duduk akibat lelahnya menelpon pelanggan dengan bantal yang ia simpan mengapit handphone ke telinganya. Di rumah, ia bersama orangtua, sebagai anak tunggal yang penuh kehati-hatian agar orang tuanya tidak curiga.

Orang ketiga muncul kembali setelah 18 menit Lia duduk, orang itu menawarkan harga 500 ribu dengan sarat konten video lima menit terbaru. Lia bernafas memikirkan kesanggupannya, alhasil ia terima. Lia mulai mengecek situasi rumah, orang tua sudah terlelap di kamar depan, baju tidurnya dilepas.

Video itu terkirim. Ia juga mengirim wajahnya melalui fitur sekali lihat. Beberapa menit kemudian, orang ketiga merespons dengan emoji-emoji senyum dan bahagia. Dimabuk beruk berayun, kepuasan lima menit pelanggan adalah berkah bagi Lia. Video dengan wajah tertutup merupakan ciri Lia agar tidak diketahui identitasnya jika itu tersebar. Baju yang tergeletak kembali dipakai, pulpen mulai bekerja semestinya.

Terik mentari menyorot ke atap kamar Lia, pertanda waktu pagi sudah beranjak siang. Lia membereskan kertas-kertas ujian dan di masukkan ke dalam tas. Kicauan burung terdengar jelas melalui lubang ventilasi. Ibu Lia telah memasak nasi goreng sosis yang disimpan di meja makan. Orangtuanya sejak matahari terbit sudah bergegas menyiapkan dagangan pempek Palembang. Lia biasa ditinggal sendirian untuk mengurusi urusan pribadinya. Setelah makan, mandi dan bersiap-siap untuk kuliah nanti pukul 14.00, dirinya membiasakan membaca beberapa literatur sesuai jadwal mata kuliah setiap hari.

Pukul 14.20, Lia sampai di kampus dengan ojek online, hari-harinya sama seperti mahasiswi pada umumnya. Selama waktu pembelajaran, Lia mencatat apa yang dipelajari walaupun terdengar bosan ketika materi itu sudah diketahui. Jam di telepon pintarnya menunjukkan pukul 4 sore, Lia pergi ke kantin untuk makan siang dan membayar hutang. Beruntung! 500 ribu yang didapatkan semalam bisa membayar utang bibi kantin selama satu bulan.

Dia dan bibi kantin cukup dekat, pedagang kantin langganan Lia itu tahu kondisi keuangannya, asalkan mau membayar dan bisa dipercayai, bibi kantin tidak pernah menolak untuk dibayar secara berangsur-angsur. Walau demikian, Lia sangat sungkan mengutang, ia tidak pernah memberi tahun bibi kantin apa pekerjaannya. Jika dikatakan uang haram, menjadi sebuah pukulan untuk dirinya. Tidak ada keberkahan dalam hidup, sehari-hari memikirkan cara agar bisa makan dan menghidupi dunia kuliahnya.

Seusai dari kantin, teman-teman Lia seketika menghampiri di pintu keluar.

”Lia, anak-anak katanya mau main ke tempat co-working teranyar daerah Seberang Ulu, kamu ikut ya,” ajak salah satu teman kelas, Nina.

”Wah, tempat baru ya, padahal biasanya kita mampir ke ’My office’ buat kerjain tugas dan ujian, gak di tempat lama aja?” jawabnya.

”Enggak li, tempat lama udah ngebosenin, kita mau coba suasana baru aja,” jawab teman sejawat sejak bangku SMA-nya, Dewi.

Lia berpikir apa lebih baik pulang untuk cari orderan atau ikut teman-temannya. Lia sendiri memiliki grup Telegram bagi pelanggan setianya, sekitar 800 orang terus memantau apa-apa yang Lia posting. Tiba-tiba nofikasi muncul dari kolom pesan Telegram, Lia merasa aneh, sebab jarang ada yang order waktu sore, kebanyakan ramai malam hari. Kemudian, ia menolak ajak temannya dan pulang ke rumah.

Rumah adalah tempat ternyaman bagi siapapun, hal ini berlaku bagi Lia sebagai tempat penghidupan. Pekerjaanya tidak pernah dilakukan selain di rumah. Kehidupan kuliah di semester empat adalah hal terberat bagi Lia. Di awal semester tiga, ia menanggung biaya kuliahnya sendiri, orangtua hanya tahu kalau Lia kerja membantu temannya dan upah itu sepadan uang kuliah satu semester.

Tiga juta rupiah adalah biaya yang ditanggung Lia satu semester, belum lagi uang transportasi, uang makan dan uang keperluan kuliah yang lain. Pernah terpikir untuk kerja paruh waktu tetapi di rumah tidak ada yang membantu orangtuanya. Pemikiran itu ia kubur dalam-dalam, jalan keluar yang terpikir adalah melakukan pekerjaan ini.

”Lia, kamu udah open kan?” tanya pelanggan yang dua hari silam memesan 15 menit.

”Udah sayang, mau yang mana?” jawab ramah Lia.

”Aku mau yang waktunya satu jam bisa gak kira-kira, soalnya lagi gabut aja nih,” tawar dia.

”Bisa kok, sesuai daftar harga yang biasa ya,” jawabnya dengan kesanggupan.

Kesepakatan keduanya berjalan lancar, dalam satu jam itu, si pelanggan tidak meminta untuk CS, sekadar butuh teman ngobrol kala kesepian melanda. Lia paham hal itu, ia bersikap profesional dan kadang terbantu oleh orang-orang yang hanya butuh seseorang untuk berkomunikasi. Masa kini, masa kegilaan manusia yang terguncang mental penuh kesedihan akibat pesatnya teknologi. Semua serba cepat, mudah ditangkap dan tidak lama bertahan. Seperti ilusi dalam dunia nyata yang mereka buat, hal-hal fana berfantasi dalam imajinasi manusia.

Manusia modern bagi Lia adalah manusia yang takut, mereka hanya menikmati seksualitas lewat transmisi suara. Saking takutnya, Lia juga berhati-hati kepada mereka yang secara tiba-tiba menjadi hewan buas yang memangsa, padahal perutnya kenyang, mereka menimbun mangsa-mangsa itu dalam gua imajiner. Di sisi lain, manusia itu memberikan kecukupan bagi Lia, mereka tidak bodoh, mereka hanya tahu cara aman melepas nafsu yang tak tertahan tanpa harus merugi.

”Lia, aku mau tanya deh, nama asli kamu itu Prisilia ya?” tanya pelanggan itu. Lia menjawab tanpa takut kehilangan pelanggan, bahwa nama ”Prisilia” adalah kepalsuan. Lia menjelaskan dan baru jujur kali ini kepada pelanggannya.

”Lia itu bukan nama asli aku, tapi nama itu hanya mirip dengan aslinya. Untuk masalah lainnya, aku terus terang ada saatnya aku harus jujur dan berbohong, lihat dari kepribadian pelanggan sih,” jawabnya.

”Hah, aku masih bingung. Itu gimana cari tahu kepribadian pelanggan kamu?” tanya pelanggan terheran-heran.

”Sebenarnya, gampang aja, mulai dari cara dia merespons, kata-kata yang dia gunakan, itu aja sih. Oh iya, sama dari cara berbicaranya waktu di telepon,” jelas Lia.

”Kalau aku gimana orangnya?” tanyanya kembali. ”Iya kamu masih aman, ada gak yang aku omongin itu bohong, gak ada!” sontak jawab Lia.

Obrolan di telepon itu berjalan seperti telepon biasa, sampai si pelanggan mulai bertanya tentang pekerjaannya. Lia bisa dikatakan orang yang jujur, ia memang terpuruk oleh ekonomi, tapi mentalnya stabil. Jika ditanya apakah ia sudah tidak gadis lagi? jawabnya pasti ”Iya” dan cukup membanggakan hal itu. Nyatanya, ia memang sudah terlanjur masuk dunia gelap ini, sudah dua kali dia berhubungan badan dengan mantan pacar sewaktu SMA. Video amatir yang direkam pacarnya masih disimpan dalam memori HP, sesekali ia menawarkan videonya ke pelanggan.

”Pekerjaan aku ini ya cuma sebatas ini, enggak ada Video CS atau menyerahkan ke mucikari gitu, sebenarnya hanya CS aja yang aku bisa, untuk tawaran berhubungan dibayar sekalipun aku enggak mau, aku masih tahu diri,” Lia memberikan jawaban dari pertanyaan pelanggan tadi. Waktu isya pun sudah tiba, telepon selama satu jam dengan pelanggan itu berakhir. Lia keluar kamar, mengambil air wudhu dan salat Isya.

Malam ini berlangsung seperti biasanya, hujan deras terdengar kencang dari atap rumah, Lia mengambil semangkuk nasi dan telor dadar di meja makan. Ia makan di depan layar laptop sambil menonton video YouTube di kamar. Tidak ada yang membuat hidupnya penuh semangat, suasana pagi dan malam terasa hambar. Ia hanya memiliki cukup energi setelah mandi.

Selama pekerjaannya menjadi talent CS, tidak pernah mengenal dengan pekerja sesamanya, hanya dirinya seorang yang ia tahu bekerja di dunia CS. Sarjana adalah tujuan utama, tidak tahu pekerjaan ini akan dilakoni sampai kapan. Walaupun bukan pemudi yang taat agama, ia selalu menggunakan hijab ketika keluar rumah. Jika dibilang itu topeng yang hina, tidak salah lagi, itu faktanya. Aib adalah sesuatu yang telah dirahasiakan yang Maha Kuasa. Lia pun tahu, tapi tidak salah juga jika mencoba memperbaiki dirinya, berharap sang pengatur alam semesta memberikan hidayah.

”Udah jam 12 lagi, kok belum ada orderan ya,” gumam Lia sambil melihat jam di laptopnya. Dua film Korea sudah ia tamatkan, tak ada satupun pesan yang datang. 150 ribu yang dia dapatkan waktu Magrib seharusnya cukup untuk kebutuhan kuliah esok. Kenapa tiba-tiba Lia masih berpikir kurang uang, sialnya ia bagian dari manusia modern.

Jarang-jarang ia berfikir untuk mendapatkan beasiswa atau memperjuangkannya, bagi dirinya lebih baik bekerja seperti ini daripada harus mendapat beasiswa lalu berfoya-foya. Belenggu atas kerja dalam bidang seks sulit untuk dilepaskan, ia mendapat ide baru, membuka jasa sleep call.

*Penulis merupakan mahasiswa yang berdomisili di Bandung menggunakan nama pena

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas