Lingkungan dan Kesehatan

Tak Hanya Berdampak Krisis Iklim, PLTU Batu Bara Mengganggu Perekonomian Warga

Pemateri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Jauhar Kurniawan menyampaikan materi mengenai dampak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton bagi masyarakat melalui Zoom Meeting dan streaming Youtube, Jumat (11/11/2023). (Foto: Nia Nur Fadillah/Suaka).

SUAKAONLINE.COM – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menggelar diskusi publik mengenai “Dampak PLTU Batu Bara: Perubahan Iklim Semakin Nyata” melalui aplikasi Zoom Meeting dan streaming Youtube, Jumat (10/11/2023). Hal ini dikarenakan semakin parahnya krisis iklim yang terjadi di Indonesia dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara menjadi salah satu penyumbang krisis tersebut.

Salah satu pemateri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono menyampaikan pembatalan izin PLTU Tanjung Jati A dengan kapasitas 2 x 660 Megawatt (MW) oleh Pengadilan Tata Usaha Nagara (PTUN) Bandung. Ia menyebutkan dasar gugatan yang dilayangkan berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 pasal 2 huruf f asas kehati-hatian.

“Dalam pasal 20 F itu adalah ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha atau kegiatan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan alasan untuk menunda-nunda langkah-langkah meminimalisir atau menghindari ancaman terhadap pencemaran atau kerusakan lingkungan,” ujar Heri, Jumat (10/11/2023).

Selain itu, dasar gugatannya pada UU yang sama huruf a tentang asas tanggung jawab negara. Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta negara mencegah kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.

Namun, operasi PLTU tersebut setiap harinya akan menghasilkan lebih dari 18 juta ton Karbondioksida (CO2) yang berkontribusi bagi pemanasan global lalu perubahan iklim. Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PLTU itu tidak memuat informasi emisi karbon sehingga dampaknya terhadap perubahan iklim tidak akan dinilai dan dicegah.

Lebih lanjut, ia mengatakan putusan tersebut harus mendorong negara memperhatikan dampak perubahan lingkungan hingga menghentikan pembangunan listrik energi fosil. “Putusan ini harusnya menjadikan presiden mendorong negara berkomitmen memperhatikan dampak perubahan iklim, melindungi lingkungan hidup, mendorong pensiun dini PLTU dan menghentikan pembangunan listrik energi fosil lainnya gak cuma batu bara,” katanya.

Terkait perubahan bahan baku batu bara yang digunakan dalam PLTU, pemateri dari LBH Surabaya, Jauhar Kurniawan mengugkapkan bahwa penggunaan bahan baku sudah dirubah dengan menggunakan Co-firing (teknik substitusi pembakaran PLTU, sebagian batu bara diganti dengan biomassa atau bahan lainnya).

Tapi, menurutnya teknik ini merupakan solusi palsu karena ketersedian bahan baku seperti serbuk kayu yang didapat dari tempat yang berpotensi merampas ruang hidup masyarakat. “Komitmen negara untuk menekan krisis iklim dipertanyakan dengan mereka membuat satu kebijakan terkait transisi energi yang menggunakan mekanisme Co-Firing ini kita menganggapnya menjadi solusi palsu,” katamya.

Dampak dari pembangunan PLTU bukan hanya tentang krisis iklim saja, tapi juga berpengaruh pada perekonomian warga. Salah satunya nelayan yang dekat dengan PLTU Paiton harus mengalami kerugaian karena keramba ikannya tertabrak perahu besar pengangkut batu bara, mereka juga harus mencari ikan terpaksa harus ke tengah laut. Selain nelayan, petani pun mengalami penurun hasil panen karena daun-daun tanamannya dihinggapi debu.

Bukan hanya terjadi di Jawa Barat dan Jawa Timur. DKI Jakarta khususnya di rumah susun (rusun) Marunda juga mengalami dampak dari pembakaran batu bara. Berada diantara pabrik-pabrik yang menggunakan batu bara serta pelabuhan dengan aktivitas bongkar muat komoditas seperti batu bara dan pasir atau tempat penimbunan cadangan batu bara.

Karena hal itu, pada tahun 2019 muncul kasus pencemaran debu yang meresahkan warga yang tinggal di Rusun Marunda. Ketika angin bertiup, semua teras, dan jemuran baju warga akan dipenuhi debu batu bara. Salah satu warga Rusun Marunda, Didi Suandi mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintah, ia bersama masyarakat lain hanya ingin sebuah solusi dari pemerintah mengenai pencemaran udara dan lingkungan hidup.

“Sampai saat ini kami melihat progress langkah-langkah pemerintah untuk penanggulangan pencemaran udara, terutama yang berasal dari industri yang menggunakan batu bara. Menurut kami sampai saat ini belum transparan dan belum menemukan formulasi titik yang bener-bener adanya penurunan,” ungkapnya.

Reporter: Nia Nur Fadillah dan Elsa Adila Rahma/Suaka

Redaktur: Mohamad Akmal Albari/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas