Infografik

Terapi Konversi: Psikoterapi untuk Mengubah Orientasi Seksual

SUAKAONLINE.COM, Infografis – Konsepsi homoseksualitas sebagai masalah moral atau penyakit telah ada di banyak masyarakat sepanjang sejarah. Hal ini memunculkan asumsi untuk menormalkan perilaku yang dianggap cacat moral melalui terapi. Terapi konversi diyakini dapat membantu orang-orang gay, lesbian dan biseksual untuk mengubah orientasi seksual mereka dari homoseksual (penyuka sejenis) menjadi heteroseksual (penyuka lawan jenis). 

Pada tahun 1900-an Endokrinolog Wina Eugen Steinach mengawali Metode terapi ini. Mentransplantasi testis dari lelaki “normal” ke buah zakar pria gay sebagai upaya untuk membebaskan mereka dari hasrat ketertarikan seksual sesama jenis dan upaya ini gagal total. Sepanjang tahun 1960 hingga 70-an, terapi konversi menggunakan kejut listrik hingga kejang dengan efek samping hilang ingatan. Memberi pasien obat perangsang mual sambil menunjukkan mereka gambar porno sesama jenis serta membakar jari-jari pasien.

Tujuan terapi seperti itu agar mereka bisa mengaitkan homoseksualitas dengan trauma pengalaman yang tidak menyenangkan (siksaan). Nihil, bukannya menghilangkan homoseksualitas, malah memperparah kondisi mental pasien karena trauma. Terapi Psikoanalisis dan bedah otak juga tetap dilakukan walaupun tetap gagal. Di beberapa negara, praktik konversi masih terus dilakukan walau tidak ada bukti ilmiah dan keberhasilan.

Menurut direktur American Psychiatric Association (APA), Saul M Levin menyebutkan bahwa lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) merupakan pengaruh komponen biologis antara interaksi genetik (DNA dll), hormon, dan lingkungan . Singkatnya, tidak ada bukti ilmiah bahwa orientasi seksual entah itu gay atau heteroseksual adalah suatu kehendak bebas.  Hal ini di sepakati pula oleh Pakar Neurologi Indonesia, dr. Ryu Hasan yang mengatakan bahwa LGBT bukanlah sebuah gangguan atau penyakit. Jadi, tidak ada langkah untuk terapinya.

Dalam studi “Changing Sexual Orientation: A Consumers Report” (2002) yang mewawancarai dan mengevaluasi 202 partisipan dalam terapi konversi, ditemukan 176 partisipan maraca terapi ini gagal dan memiliki efek samping jangka panjang. Seperti depresi, bunuh diri pikiran, hubungan yang rusak dengan keluarga dan teman, kehilangan kepercayaan pada agama dan perasaan dikhianati oleh pemimpin agama. Sedangkan 8 orang merasa “berhasil berubah”. Hanya saja, 7 di antaranya merupakan konselor terapi konversi itu sendiri.

San Francisco State University pada 2010 menemukan bahwa remaja LGBT yang identitasnya ditolak atau melalui terapi konversi 8,4 kali lebih mungkin untuk mencoba bunuh diri, dengan tingkat depresi 5,9 kali lebih tinggi, dan berisiko tertular HIV. Penyakit menular seksual lainnya 3,4 kali lebih tinggi dibandingkan remaja LGBT yang diterima oleh lingkungannya. Oleh karena itu, praktik terapi konversi telah ditolak oleh berbagai asosiasi psikologi dan psikiatri.

Efek negatifnya mencakup hilangnya hasrat dan kecenderungan seksual, depresi, gangguan kecemasan, dan bunuh diri. Hinga kini, Committee Against Torture PBB belum mengategorikan terapi konversi sebagai salah satu jenis bentuk penyiksaan yang kejam dan tidak manusiawi. Namun, National Center for Lesbian Rights (NCLR) telah mengajukan proposal untuk PBB mempercepat keputusan mereka.

Sumber           : Tirto.id, Hellosehat.com, dan Kompas.com

Peneliti            : Chamid Nur Muhajir/Suaka

Desain             : Siti Hannah Alaydrus/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Ke Atas