Kolom

Terseretnya Laki-laki dalam Pusaran Patriarki

Ilustrasi: Selinda Jauza/Suaka

Oleh: Robhi Jauhar*

Patriarki merupakan budaya yang memosisikan laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan. Di dalam budaya patriarki, peran laki-laki menjadi superior dalam hampir segala aspek kehidupan. Sedangkan umumnya, perempuan menjadi pelengkap saja. Misalnya, anggapan bahwa perempuan idealnya hanya menjadi ibu rumah tangga. Hal itu menjadi hambatan bagi para perempuan yang ingin mengaktualisasikan dirinya lewat berkarir.

Tidak heran para perempuan yang berkesadaran feminis ingin membebaskan kaumnya dari budaya yang diskriminatif gender ini. Sebab posisi perempuan di masyarakat menjadi termarjinalisasi, atau menjadi ‘tokoh kedua’, dengan tokoh utamanya kaum laki-laki. Akan tetapi, laki-laki sebagai ‘tokoh utama’ pun sebenarnya ikut terseret dari dampak budaya patriarki ini.

Laki-laki yang selalu diharapkan menjadi seorang pemimpin, independen, dan maskulin membuat mereka mempunyai banyak tuntutan sosial. Ekspektasi masyarakat terhadap laki-laki menjadi begitu tinggi. Dan para laki-laki itu diharuskan bisa menanggung semuanya, walaupun jiwa mereka sudah bubuk sekalipun, laki-laki harus tetap menegakkan bahunya dan terus maju berjalan, seakan tidak terjadi apa-apa.

Tercurahkan Lewat Budaya Populer

Rapuhnya laki-laki maskulin itu bisa kita jumpai lewat produk-produk budaya populer. Budaya populer sendiri merupakan budaya yang digemari oleh arus utama masyarakat. Dengan kata lain budaya populer mempunyai corak sebagai preferensi khalayak umum. Meme dan musik pop adalah contohnya. Lewat meme, kita bisa menemui berbagai ide atau ekspresi yang diungkapkannya. Seperti curahan ekspresi tentang masalah laki-laki dengan maskulinitasnya.

Sigma male, sebutannya, sebuah meme yang menggambarkan pria maskulin dan mandiri, atau sebuah bentuk idealisasi konsep laki-laki dengan maskulinitasnya. Yang secara tersirat, meme ini membawa keresahan tekanan para pria dalam statusnya di masyarakat. Hal itu bisa kita lihat dari karakter film yang selalu dipakai sebagai acuan meme ini.

Setiap karakter itu dalam filmnya mempunyai sebuah kesamaan, seorang pria maskulin dan independen yang mempunyai semacam persoalan batin dalam dirinya. Seperti karakter Patrick Bateman dalam film American Psycho, karakter Homelander dari serial The Boys, serta Ryan Gosling yang ikonik karena sering memerankan sebagai seorang pria yang mempunyai tekanan batin dalam dirinya, seperti perannya dalam film Drive.

Dalam meme sigma male ini, terdapat dua narasi yang berbeda: yang menganggungkan nilai maskulinitas, dan yang menyuarakan keresahan para laki-laki dalam tuntutannya di masyarakat. Narasi yang mencanangkan keresahan laki-laki, meramu memenya dengan gaya satir dan bernada tragis. Meme ini menunjukkan, laki-laki maskulin yang dari luar terlihat santai dan gagah, mempunyai kemuraman dalam dirinya yang tidak mereka perlihatkan.

Tidak hanya meme saja yang mendengungkan suara kerapuhan maskulinitas pada diri laki-laki, lewat musik pun para musisi pria mulai menyuarakannya. Seperti lagu hip-hop, yang dari dulu sangat kental dengan budaya maskulinitasnya, sekarang, rapper dalam lagunya tidak hanya berbicara tentang seks, narkoba, uang, ataupun tentang memaki-maki polisi, hari ini rapper makin banyak yang menceritakan kelemahan dirinya lewat lagu.

Seperti dalam album teranyar Kendrick Lamar yang berjudul Mr. Morale & the Big Steppers. Di dalamnya, Kendrick Lamar membuka segala permasalahan tentang dirinya. Salah satunya pada lagu yang berjudul Father Time, di mana ia menceritakan tentang hubungan dengan ayahnya. Ayahnya yang selalu bersikap dan menuntut dirinya agar tidak bersikap cengeng, membuat Kendrick Lamar pada akhirnya terjebak dalam toksik maskulinitas.

Di mana itu memengaruhi Kendrick dalam mengekspresikan emosinya. Karena hasil dari sikap ayahnya itu, laki-laki yang perasa digambarkan sebagai bentuk kelemahan dari seorang laki-laki. Seperti yang ia ungkapkan lewat lagunya itu, “Cause if I cried about it, he’d surely tell me not to be weak. Daddy issues, hide my emotions, never expressed myself”.

Lagu father time Kendrick Lamar menjadi gambaran beratnya tuntutan sosial yang dialami oleh laki-laki, di mana laki-laki selalu dituntut untuk harus dan selalu menjadi kuat. Tuntutan itu tersalurkan lewat keluarganya yang masih mengamini apa kata masyarakat. Sehingga, budaya patriarkis ini mengakar kemana-mana. akhirnya, laki-laki terus ditindih oleh tuntutan sosial itu.

Dampak Psikisnya pada Laki-laki

Seorang laki-laki yang terus terkurung dalam ide bahwa mereka harus terus kuat, jika sekalinya ia mengekspresikan emosi dan perasaannya, predikat ‘lemah’ akan disematkan pada dirinya. Itu yang membuat laki-laki dalam menghadapi sebuah keterpurukan dalam hidupnya selalu mengandalkan dirinya sendiri, atau mencoba mendistraksi rasa keterpurukannya itu. Yang akan menghasilkan dampak buruk pada psikisnya.

Hal itu kita bisa validasi lewat beberapa temuan empiris. Seperti yang dilansir hellosehat.com, dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC), dikatakan rata-rata angka bunuh diri pada laki-laki 3,5 kali lipat lebih besar daripada perempuan. Diduga, faktor tuntutan menjadi seorang yang maskulin adalah penyebabnya.

Dampak tuntutan untuk menjadi maskulin, membuat laki-laki jarang membuka permasalahan mentalnya pada orang lain. Seperti mengutip bbc.com, Sebuah studi British Medical Journal Inggris menemukan tingkat konsultasi perawatan primer umum 32% lebih rendah pada laki-laki daripada perempuan.

Kemudian, menukil theconversation.com, menyebutkan bahwa dalam penelitian yang dilakukan oleh Am J Psychiatry, risiko laki-laki mengalami depresi dipengaruhi oleh kegagalannya dalam mendapatkan prestasi kerja yang baik dan gagalnya dalam memenuhi kebutuhan keluarga yang memadai. Ketiga penemuan ini mendukung bahwa terkurungnya laki-laki dalam ekspektasi masyarakat, mempengaruhi kesehatan psikisnya.

Patriarki Buruk Untuk Semua, Baik Laki-laki maupun Perempuan

Dari uraian di atas, dapat dikatakan, patriarki tidak melulu menguntungkan laki-laki. Karena kenyataannya, Laki-laki yang perannya lebih besar daripada perempuan, menciptakan beban yang besar pula. Malah, itulah kontradiksi dari budaya patriarki: laki-laki yang diuntungkan, tapi nantinya dirugikan juga. Maka dengan itu, budaya patriarki yang serba mendikotomikan antara peran laki-laki dan perempuan baiknya ditinggalkan.

Mimpi utopisnya mungkin adalah suatu saat antara laki-laki dan perempuan bisa saling berbagi peran dengan adil dan bebas. Tidak ada pihak yang diminimkan perannya, tidak ada pula yang dibesar-besarkan. Perempuan menjadi bisa lebih bebas mengekspresikan dirinya, begitu pun dengan laki-laki. Laki-laki menjadi tidak usah menanggung beban yang besar, karena perannya terdistribusikan dengan perempuan.

Itulah budaya masyarakat yang ideal, di mana kita saling memberi hak peluang yang sama antar sesama. Bukan tentang siapa yang harus lebih unggul, akan tetapi, siapa pun boleh menjadi unggul. Setiap perempuan atau laki-laki bebas menentukan ingin sebesar atau seminimal apa perannya tanpa adanya dikte dari masyarakat.

Kabar baiknya sekarang para laki-laki di masyarakat sudah mulai sadar bahwa mereka tidak harus selalu menuruti apa kata masyarakat. Laki-laki sudah banyak yang berani mengekspresikan dirinya secara bebas. Laki-laki bisa menjadi maskulin dan feminis secara bersamaan. Seorang laki-laki bisa berhobi muay thai atau bermain basket, dan malamnya bermain skincare.

*Penulis merupakan mahasiswa UIN SGD Bandung Semester enam jurusan jurusan Sosiologi, serta anggota Magang LPM Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas