
Seniman pantomim, Wanggi Hoed melakukan orasi dalam aksi Bandung Protest The World Reject Zionism di Monumen Asia Afrika, Jl. Asia Afrika, Kota Bandung, Sabtu (17/5/2025). (Foto: Intan Nurfatimah/Magang)
SUAKAONLINE.COM – Memperingati 77 tahun tragedi Nakba, gerakan Bandung Spirit kembali menggema lewat aksi Bandung Protest yang digelar di depan Monumen Prasasti Dasasila Bandung, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Sabtu (17/5/2025). Aksi ini melibatkan seniman dan masyarakat dalam menolak zionisme, dengan seni sebagai medium efektif perlawanan dan pembangkit nurani kemanusiaan.
Dalam orasi yang disampaikan oleh seniman pantomim, Wanggi Hoed, aksi ini ditegaskan sebagai bentuk solidaritas global terhadap rakyat Palestina yang masih menjadi korban penjajahan dan genosida. Ia menekankan bahwa seni memiliki peran penting dalam perjuangan ini. “Kami turun ke jalan untuk membangunkan kemanusiaan kita, membangunkan nurani dan akal sehat kita yang telah mati,” tegas Wanggi, Sabtu (17/5/2025).
Lebih lanjut ia mengungkapkan, bahwa seni memiliki kekuatan besar untuk menggugah kesadaran kolektif, mengusik kenyamanan, serta menumbuhkan empati yang selama ini terkubur oleh rutinitas dan informasi yang bias. Ia menyampaikan bahwa seni memiliki sifat yang mengganggu, baik pendengaran, penglihatan, maupun ruang-ruang batin manusia. Ketika seni berhasil mengganggu, maka akan muncul reaksi, dan dari reaksi tersebut bisa muncul perubahan.
Ia juga mencontohkan bagaimana simbol-simbol budaya Palestina, seperti kain keffiyeh, bunga khas Palestina, hingga warna bendera, menjadi elemen seni yang bukan hanya memperkuat identitas, tapi juga menjadi bagian dari perlawanan. “Keffiyeh bukan sekadar kain, tapi ia dirancang dengan estetika tinggi dan makna yang dalam. Begitu pula seni rupa, musik, poster, desain, mural, bahkan stiker dan merchandise, semua menjadi alat perjuangan,” jelasnya, Sabtu (17/5/2025).
Wanggi menyoroti pentingnya peran pelaku seni dan masyarakat dalam menggunakan platform yang dimiliki untuk terus bersuara. Ia menegaskan bahwa seorang seniman harus berani menghadapi berbagai risiko. Ia juga menceritakan pengalamannya mendapat respon negatif karena dianggap terlalu vokal dalam isu kemanusiaan, khususnya isu Palestina. Namun menurutnya, itulah resiko yang harus dihadapi dalam perjuangan melalui seni, dan sampai saat ini, ia terus menggunakan seni sebagai medium bersuara.
Ia menyampaikan bahwa seiring berjalannya waktu, latar belakang peserta aksi semakin beragam. Menurutnya, hal ini mencerminkan semangat solidaritas seni untuk Palestina yang bersifat organik. “Kami tidak pernah secara khusus mengajak orang untuk datang. Mau ikut atau tidak, itu pilihan masing-masing,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa mereka justru berusaha menemukan warna-warna seni dari berbagai sisi, tanpa membatasi siapa yang bisa terlibat.
Pembacaan puisi oleh seorang peserta aksi, Ima, yang dengan suara gemetar dan mata berkaca-kaca menyuarakan kisah para pecinta dari Palestina, menjadi bagian dari aksi ini. Kemudian ditutup dengan penampilan pantomim oleh Wanggi, yang melalui gerakan-gerakan penuh makna menggambarkan penderitaan warga Palestina hingga membuat penonton turut merasakan emosinya.
Reporter: Zahra Zakkiyah/Magang
Redaktur: Guntur Saputra/Suaka