Featured

Vonis MAA: Kebebasan yang Dibayar Enam Bulan Penjara

MMA memeluk sang ibu di halaman Rumah Tahanan (Rutan) Kelas 1 Bandung, Rabu (29/10/2025). (Foto: Zahra Zakkiyah/Suaka)

SUAKAONLINE.COM – Suasana langit masih diselimuti awan saat Suaka menapakan kaki di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas 1 Bandung, Jl. Jakarta No. 29, Kota Bandung, Rabu (29/10/2025). Namun, sejumlah orang tengah menanti pembebasan seorang tahanan yang dijadwalkan keluar pukul sembilan pagi.

Tahanan itu seorang mahasiswa yang sebelumnya dijerat  lantaran membawa senjata tajam yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951. Selain itu, Ia juga dinilai melakukan perbuatan melawan hukum yangs ecara tegas dinyatakan dalam pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Akibatnya, Ia harus mendekam selama enam bulan di penjara.

Enam bulan berlalu kini tibalah pembebasan MAA dari jeruji besi itu.   Sejak pukul delapan tiga puluh pagi, Suaka, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota  Bandung, serta keluarga dari seorang tahanan sudah berdiri di depan Rutan. Mereka menunggu dalam gelisah. Suaka bertanya pada petugas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) “Apakah masih lama Pak keluarmya” Tanya Suaka setelah satu jam menunggu.

Jarum jam terus bergerak menuju pukul sebelas, bersamaan dengan itu sorak kecil pecah ketika pintu besi perlahan tergeser. Dari pintu tersebut, keluar seorang laki-laki  berkaos hitam bertuliskan “GARIS KERAS” berlari kecil menuju sekumpulan orang yang sudah menantinya. Tahanan yang bebas dengan inisial MAA langsung memeluk dan bersalaman dengan sekumpulan orang tersebut.

Terik matahari mulai terasa panas, tetapi tidak ada yang ingin beranjak. Tawa dan tangis bercampur aduk. Seorang kawan MAA memeluknya erat, menepuk bahunya dengan mata yang berkaca-kaca. “Akhirnya bisa lihat langit tanpa jeruji,” ucapnya pelan. MAA yang menjadi terpidana karena membawa pisau lipat dan batom stick saat aksi May Day kini bisa pulang bertemu dengan keluarga dan sahabat karibnya.

Setelah euforia mereda, MAA menarik diri dari kerumunan dan berteduh di bawah rindang pohon di dekat gerbang Rutan. Ia duduk sembari menenangkan napas yang masih tersengal. Saat dirasa sudah tenang, Suaka menghampirinya untuk meminta keterangan gejolak batin yang pernah mengoyaknya saat hakim menjatuhkan vonis enam bulan penjara. “Waktu itu rasanya kacau, sedih, marah, dan putus asa juga, cuman ya udahlah diberesin aja proses hukumnya,” tuturnya saat diwawancarai Suaka, Rabu (29/10/2025).

Di balik nada tenangnya, tersimpan luka yang lebih dalam dari sekadar kehilangan waktu. Ceritanya tiba-tiba terhenti sesaat, matanya menatap kosong seolah mengingat sesuatu yang ingin dilupakan. Ia mengakui bahwa kebebasan yang ia genggam tidak datang tanpa sendirinya. Kekerasan pun ia rasakan. “Saya dipukulin habislah, karena saya kan tangkapan lokasi,” lanjutnya.

Selain luka fisik yang membekas dalam ingatan, vonis enam bulan membuat langkah akademiknya tersendat. Ia terpaksa meninggalkan bangku kuliah, menunda mimpi yang sedang ia susun di antara tumpukan buku dan jas praktik keperawatan. “Saya dan beberapa teman juga masih kuliah. Jadi disayangkan, putusannya sampai enam bulan sehingga banyak yang akhirnya terhambat kuliah,” ujarnya dengan nada pelan.

Di luar sana, suara yang menuntut keadilan terus menggema. Mereka menilai bahwa yang menimpa MAA bukan semata persoalan individu, melainkan potret buram penegakan hukum di negeri ini. Suara kritis itu rupanya datang dari perwakilan LBH Bandung, Resi, menilai sedari awal penanganan kasusnya tidak sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Proses penangkapannya sewenang-wenang, tidak ada korelasi antara barang bukti dengan tuduhan pidana yang dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU),” tegasnya.

Bagi Resi, apa yang menimpa MAA bukan sekadar persoalan hukum, melainkan cerminan dari ruang kebebasan yang kian menyempit. Negara semestinya menjadi pelindung hak berekspresi. Akan tetapi, kebebasan tersebut berubah menjadi teror bagi mereka yang terlalu keras bersuara. “Hak berekspresi  dibatasi dengan kriminalisasi itu jadi bentuk menyebarkan terrordan itu bentuk pelanggaran HAM bahwa Negara tidak memberikan ruang untuk itu,” tegasnya.

Di akhir wawancara, nada suara Resi terdengar menurun. Akan tetapi, setiap katanya menancap tegas. Ia menatap jauh ke arah gerbang rutan, seolah masih melihat bayang-bayang ketidakadilan di negeri ini “Hukum itu kan produk politik, selama ini ia selalu berpihak pada pembuatnya yaitu para penguasa,” tutupnya.

 

Reporter: Muhamad Seha/Suaka

Redaktur: Mujahidah Aqilah/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas