Oleh Dedi Sulaeman*
Words are the daugters of earth and
that things are the sons of heaven.
Samuel Johnson
Pendahuluan
Di akhir abad 19an berbagai ahli, balk filosof, linguls, antropolog, psikolog maupun para ahli yang lainnya telah meneliti masalah mengenai asal-usul bahasa atau kaitan antara kata dengan maknanya. Berbagai spekulasipun bermunculan, wal hasil, tidak ada satu kesepakatan bulat mengenai hat tersebut. Padahal, asal-usul kata serta persoalan mengenai ada tidak-nya hubungan antara kata dan maknanya telah jauh dibahas oleh Plato dalam tulisannya (dialog) yang berjudul Cratylus yang ditulis jauh sebelum Masehi. Adapun materi yang dibahas oleh Plato terbagi menjadi dua, yaitu antara bahasa yang alami (fisei) dan bahasa yang konvensional (nomos).
Sebagian orang yang berkeyakinan bahwa bahasa itu bersifat alami, bertolak dari pemikiran bahwa (sebagian) kosakata suatu bahasa itu memiliki kaitan dengan maknanya. Hal itu dikarenakan kosakata tersebut dihasilkan dari tiruan bunyi yang dihasilkan oleh hewan, benda serta gejala alam lainnya—yang juga dikenal dengan istilah onomatopoeia. Kata-kata seperti: kresek, meong, gong, cecak, tokek, dor dan geluduk, merupakan contoh-contoh onomatopoeia dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian kata-kata tersebut memiliki hubungan langsung dengan makna yang diacunya (alami).
Adapun orang yang berpendapat bahwa bahasa itu bersifat konvensional, bertolak dari pemikiran bahwa (sebagian) kosakata suatu bahasa itu dihasilkan secara sewenang-wenang. Kata-kata seperti gigi, pipi, mata, telinga, kaki, merupakan contoh kecil kata-kata bahasa Indonesia yang tidak memiliki hubungan dengan maknanya. Kata-kata tersebut terbentuk secara manasuka yang disepakati oleh sekelompok orang tertentu dan jadilah kosakata suatu bahasa. Dengan demikian kata-kata tersebut tidak memiliki hubungan langsung dengan makna yang diacunya (konvensional).
Ihwal Arbitrer Suatu Bahasa
Kata-kata yang bersifat konvensional di atas dikenal juga dengan istilah arbitrer, yaitu tidak adanya hubungan dari setiap fonemnya dengan makna yang diacunya. Orang yang belajar bahasa akan memahami konsep arbitrer ini seperti demikian. Maksudnya adalah seolah kata tersebut ada hadir sekaligus dengan maknanya secara begitu saja.
Setiap “makna” suatu bahasa akan diwakili dengan kata yang berbeda oleh setiap bahasa. Begitu pula dengan kebanyakan konsep dan contoh arbitrer yang diungkap di beberapa buku seperti dikutip oleh Chaer, Alwasilah, dan Pateda bahwasannya arbitrer itu adalah urutan fonem-fonem suatu kata itu tidak memiliki kaitan antara kata tertentu dengan maknanya. Selanjutnya, mereka memberi contoh: makna yang sama seperti “kuda,” dalam bahasa Indonesia kuda, dalam bahasa Jawa jaran, bahasa Inggris horse, bahasa Belanda paard. Atau contoh lain seperti makna “anjing” dalam bahasa Indonesia disebut anjing, dalam bahasa Inggris dog, dalam bahasa Arab kalbun dan bahasa Spanyol perro. Kita bisa tahu bahwa kata-kata di atas itu bersifat arbitrer karena masing-masing bahasa itu mengacu pada “hal” yang sama dengan perwakilan kata yang berbeda-beda.
Jikalah ada kaitan antara kata dan makna, tentu saja ada beberapa fonem yang sama atau setiap katanya sama, atau setidaknya ada kemiripan dari bentukan katanya itu. Karena bedanya setiap kata suatu bahasa itu, maka dengan demikian bahasa itu memang benar-benar arbitrer.
Namun bagaimana halnya dengan hal seperti berikut: jika makna “besar” dalam bahasa Inggris great, bahasa Prancis grand, bahasa Spanyol grande bahasa Italia grande? bahasa Jerman gross, bahasa Belanda grout. Atau makna “agama” dalam bahasa Inggris religion, bahasa perancis religion, bahasa Spanyol religion, bahasa Italia religions, bahasa Jerman Religion bahasa Belanda religie. Apakah kedua contoh di atas sama kategorinya dengan istilah arbitrer seperti contoh sebelumnya?
Dari paparan sebelumnya, dapat kita peroleh bahwa istilah arbitrer merupakan bentukan kata yang berbeda untuk makna yang sama dalam bahasa yang berbeda. Sehingga bahasa yang bersangkutan menjudge bahwa kata itu arbitrer dengan alasan “makna” tersebut dalam bahasa lain diwakili oleh kata yang berbeda. Jikalah “makna” yang sama diwakili oleh kata yang (hampir) sama juga, maka untuk bahasa tertentu kata itu tidak bisa dikatakan arbitrer dengan alasan, kata itu meniru atau menyerap dari bahasa lain, sehingga salah satu atau beberapa bahasa tidak bersusah-payah untuk menciptakan kata tersebut. Satu atau beberapa bahasa tersebut tinggal dengan gampang meyerapnya. Dengan kata lain, ada salah satu dari bahasa itu yang pertama kali menggunakan kata tersebut secara arbitrer kemudian bahasa lain menyerapnya, dan bahasa tersebut dalam memaknal “makna” nya tidak secara arbitrer melainkan dengan cara menyerap atau meminjamnya.
Dari gambaran di atas, kita bisa mengatakan bahwa kata kursi dalam bahasa Indonesia tidak hadir secara arbitrer, karena kata kursi diserap dari bahasa Arab. Begitupun dengan kata-kata seperti komputer, telepon, kelas, adil, musyawarah, mobil, motor, buku, pena, kampus, dan universitas dalam bahasa Indonesia tidak tercipta secara arbitrer karena kata-kata tersebut didapatkan dengan cara menyerapnya dari bahasa asing.
Sebagian besar kosakata suatu bahasa pasti terdiri dari serapan berbagai bahasa. Bahasa Sunda misalnya terdiri dari bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Portugis bahasa Jawa bahasa Jepang dan lain-lain. Begitupun dengan Bahasa Indonesia yang kosakatanya terdini dari bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Portugis bahasa Inggris, bahasa Jawa bahasa Jepang dan lain-lain. Bahkan bahasa Inggris pun—yang notabenenya sebagai bahasa Internasional—sebagian besar kosakatanya banyak diambil dari bahasa Latin, bahasa Yunani, bahasa Prancis, dan bahasa-bahasa Scandinavia (Encarta, 2005). Lantas bagaimana dengan penciptaan kosakata baru-yang benar-benar baru, bukan serapan dari bahasa lain?
Kata: Antara Bentuk dan Makna
Setiap kata secara dikotomi terdiri dari bentuk dan makna (form and meaning). Bentuk berarti susunan fonem yang menjadi morfem, baik itu morfem bebas maupun morfem terikat. Sedangkan maknanya berarti arti dibalik susunan fonem itu atau acuannya. Fonem-fonem /a/, /a/, /l/, /m/, misalnya, bisa dibentuk menjadi katakata: alam, lama, mala, amal. Empat bentuk kata ini memiliki masing-masing makna (acuan) yang berbeda-beda. Antara bentuk dan makna ini adalah satu hal hal yang tidak bisa dipisahkan, tersisipi atau salah penempatan satu fonem saja, bisa mengakibatkan makna yang benar-benar beda.
Seperti diungkap di atas, bahwasannya setiap urutan fonem yang membentuk sebuah morfem au tersusun menjadi sebuah bentuk dan makna. Karena melekatnya antara bentuk dan makna ini, maka penggunaan serta perkembangan bentuk dan makna bahasa ini bersifat stabil dan cenderung mapan, khususnya dalam penggunaan sebagai native. Dengan demikian penambahan kosakata bahasa native itu akan bertambah—selain mengambil dari bahasa asing—dengan cara: 1. Modifikasi bentuk, baik yang bersifat internal maupun eksternal, dan 2. Modifikasi (pergeseran) makna, baik pergeseran makna pada bahasa sendiri maupun pergeseran makna setelah diserap oleh bahasa lain.
Begitu pula halnya apabila kata itu diserap oleh bahasa asing, maka perubahannya pun akan
terdiri dari dua: bentuk dan maknanya. Penyerapan bentuknya berarti: apakah kata itu akan dipertahankan seperti itu, atau mengalami perubahanpenyesuaian sesuai dengan kaidah bahasa yang menyerapnya itu. Sedangkan pcnyerapan maknanya berarti: apakah makna untuk kata itu akan sama dengan “makna” bahasa sumber itu, atau akan mengalami pergeseran makna.
Ihwal Penciptaan Kata Baru
Dengan demikian, berdasarkan gambaran di atas, benar apa yang dikatakan oleh Marchand (1969:239) bahwasannya suatu kata baru itu akan muncul dengan tiga kemungkinan: 1. Bentuk baru dengan makna yang lama, 2. Makna baru dengan bentuk lama dan 3. Adanya makna baru dengan bentuk baru. Ketiga konsep ini sangatlah mendasar bagi terciptanya kata baru. Adapun perkembangan kosakata suatu bahasa baik bentuk maupun maknanya banyak didasari oleh dua konsep pertama. Sedangkan konsep yang ketiga merupakan hal yang sulit. Hal ini didasarkan pada sulitnya memencari (menciptakan) kata yang baru sekaligus dengan makna yang baru pula.
Kita tidak bisa menentukan apakah kita mau mencari makna terlebih dahulu baru menentukan katanya. Atau kita menciptakan kata terlebih dahulu terus mencari maknanya. Kedua-duanya juga sulit, dan akan berputar menjadi lingkaran setan yang tidak ada ujungnya. Dengan demikian untuk menciptakan kata baru dengan makna yang baru kemungkinanannya sangatlah kecil.
Jangankan menciptakan kata baru dengan makna yang baru, ada maknanya pun kita akan Terasa kesulitan untuk menciptakan katanya. Contoh sederhana misalnya untuk menciptakan kata dalam bahasa Indonesia dengan acuan dalam bahasa Inggrisnya, pink bahasa Sundanya kayas-tetapi bukan merah muda, karena merah muda merupakan turunan dari merah. Atau kata untuk makna kosong, berikut: lapar-makan-kenyang: haus-minum-?. Atau kata untuk makna kosong berikut: naik ke atas, turun ke bawah, masuk ke dalam ke luar?. Begitu pula dengan Bahasa Inggris untuk menciptakan kata dengan acuan padi, beras, dan nasi.
Dalam dunia bahasa kekosongan ini disebut (menggunakan istilah Lyons) dengan lexical gap-tidak adanya padanan dalam bahasa sasarannya. Namun itu bukanlah poin utamanya. Poin utamanya adalah bagaimana kalau kita membutuhkan untuk menciptakan kata yang baru secara arbiter ____________________________________________________ untuk makna, yang sudah ada tersebut. Padahal, antara bentuk dan makna tidak bisa dipisahkan tetapi untuk menciptakan kata yang sudah ada maknanya pun tidaklah mudah. Ternyata, untuk menciptakan satu kata itu sangatlah sulit.
Bahasa: Suatu Konvensi atau Sebuah Mikjizat?
Kebanyakan orang yakin bahwa bahasa itu adalah konvensi (hasil kesepakatan bersama) sehingga orang lain tidak bisa berbuat apa-apa, karena “ini” adalah hasil kesepakatan. Namun, ada yang harus diperhatikan mengenai istilah konvensi ini. Kebanyakan orang mempersepsi kata tersebut ada demikian dengan makna demikian. Padahal, hal penting yang harus diingat bahwasannya jika konvensi adalah kesepakatan, dan yang namanya kesepakatan itu akan ada jika ada seseorang atau suatu kelompok yang mengusulkan, yang kalau disetujui maka disepakati bersama kemudian dipakai secara bersama pula.
Begitu pula halnya dengan kata. Kata itu ada dan dikonvensi karena (pasti:seharusnya) ada seseorang, atau suatu kelompok yang pertama kali memakainya yang kemudian seseorang yang (minimal) lawan bicaranya setuju, menyepakati kemudian kata itu tersebar dan orang-orang yang mendengarpun akan menyepakati satu kata baru dengan iringan maknanya tersebut. Seperti diungkap Potter (1964:78) bahwasannya suatu kata baru itu ada karena diciptakan (dikeluarkan pertama kali) secara, spontan oleh seseorang yang mengatakan dunianya itu dari apa yang sedangia lakukannya secara spontan (a new word may 6e deliberately created by one man who tells the world exactly what he is doing). Jadi, tidak mungkin satu kata itu hadir (ada) secara langsung dengan maknanya untuk dikonvensi—karena kata (dan maknanya) bukanlah suatu mukjizat.
Untuk menciptakan satu kata baru itu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Jangankan orang awam, untuk kalangan dosenpun akan merasa kesulitan untuk bisa menciptakan kata baru untuk istilah-istilah yang mereka pahami dalan bahasa Inggrisnya yang (hampir) tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesianya. Sebutlah misalnya kata-kata atau istilah-istilah berikut ini: paradigm, emit, implicature, triangulation, grounded theory, maxim, dan kata lainnya‑
Hal ini terjadi karena kita tidak memiliki makna untuk konsep-konsep di atas. maka dengan “terpaksa” kita pun menyerap kata-kata tersebut. Kalaupun ada padanannya, terkadang orang yang memahami arti dalam bahasa aslinya tidak puas dengan padanan kata yang ada itu. Sehingga yang ada, kita hanya meminjam kata-kata itu kemudian lama kelamaan kata-kata tersebut akan menjadi kata baru bahasa sasaran.
Jikalah dosen adalah salah satu yang memiliki “power” terhadap mahasiswanya—khususnya dalam ranah keilmuannya—sebetulnya bisa saja dosen tersebut menciptakan kata baru dari istilah-istilah “berbahasa asing” tersebut untuk disepakati oleh minimal mahasiswanya yang kemudian jika kata itu sering dipakai,
maka kata itu akan disepakati di lingkungan sendiri dan (mungkin) akan tersebar, menyebar dan mengakar, sehingga ada-lah padanan kata tersebut dengan urutan fonem yang diciptakan oleh dosen yang bersangkutan. Memang seorang dosen atau liguis sekalipun tidak memiliki tugas untuk menciptakan kata baru untuk padanan istilah tertentu, namun ya begitulah sulitnya untuk menciptakan kata baru.
Sepintas memang terlihat aneh, masalahnya setiap manusia telah dianugrahi untuk bisa mengeluarkan (potensi) suara-suara bahasa yang terakumulasi dari vokal, semivokal hingga konsonan. Selain itu, kita juga tabu bahwa salah satu sifat bahasa itu adalah arbitrer (manasuka), namun untuk menciptakan kata baru itu tidaklah semudah menyusun fonem-fonem yang telah “disediakan” itu.
Jikalah untuk menciptakan kata atau istilah baru itu sesulit seperti di atas, lantas bagaimana dengan munculnya kata-kata atau istilah-istilah baru yang marak digunakan oleh sebagaian besar kawula muda khususnya mereka yang tinggal di pelbagai kota besar. Sepintas, mereka terlihat dengan mudah, baik menciptakan ataupun mengaunakannya. Benarkah kata-kata atau istilahnya itu tercipta secara arbitrer—benar-benar baru?
Pada dasarnya sebagai seorang manusia yang berpikir, ia akan mengeluarkan sesuai dengan apa yang ia terima sebelumnya. Begitupula dengan kata, suatu kata akan keluar atas dasar apa yang ia dapatkan, atau setidaknya atas dasar apa yang telah ia ketahui sebelumnya. Mungkin sedikit sekali ada kata yang keluar begitu saja tanpa sebab yang jelas atau tanpa makna yang jelas. Jadi, se-asal apapun kata itu ada, pasti ada sejarahnya atau setidaknya mungkin kata itu adalah tiruan dari alam atau onomatopuitik. Dengan kata lain adanya penciptaan kata baru itu tidaklah bebas nilai.
Demikian pula halnya dengan bahasa gaul yang marak dipakai orang,
setiap kata atau istilah-istilah yang dipakai dalam bahasa gaul itu pasti mengacu kepada kata atau istilah sebelumnya, yang kemudian dimodifikasi baik itu bentuknya ataupun maknanya. Kalaupun kata atau istilah tersebut tidak mengacu kepada kata atau istilah sebelumnya secara langsung, pastilah ada seseorang atau sekelompok orang yang pertama kali memakainya atau terdapat sejarah singkat berdirinva kata atau istilah tersebut ketika pertama kalinya dipakai. Toponomi—cabang ilmu Onomastika—adalah ilmu khusus yang menelusuri asal-usul serta latarbelakang historis
penamaannya (Iskar, 2003).
Namun, kajian morfologi tidak jauh sampai kesana, karena kebanyakan materi morfologi hanya mengkaji data bahasa yang sudah mapan. Bahkan, studistudi morfologi jarang ada yang membahas kepada dunia rekayasa bahasa (kata), yang di dalamnya membahas modifikasi-modifikasi kata menjadi kata yang baru, yang membahas mengenai protesis, epentesis, paragog, afesis, sinkop, apokop, metatesis, dan blending, pormanteau ataupun unsur lain yang mungkin kata atau istilahnya sudah marak digunakan oleh kaum tertentu.
Memang dunia rekayasa ini dibahas juga dalam linguistik, namun istilah-istilah tersebut banyak dibahas dalam linguistik historis (Historical Linguistics) atau linguistik bandingan (Comparative Linguistics). Padahal, istilah-istilah itu banyak mengacu pada bentuk/struktur kata, yang hal itu banyak dikaji dalam morfologi. Mungkin saja para linguis menekategorikan atau memasukan kajian itu ke dalam linguistik historis atau linguistik bandingan dengan alasan bahwa kajian itu terkait dengan metode serta implikasi rekonstruksi dengan subkajian tipe-tipe perubahan bunyi berdasarkan tempatnya.
Dengan alasan di atas, alangkah lebih baiknya apabila istilah-istilah tersebut-selain dibahas dalam linguistik historis/bandingan, juga dibahas atau dimasukkan kedalam kajian morfologi. Selain alasan di atas, morfologi juga merupakan cabang linguistik (murni) yang lazim lebih banyak dikenal oleh orang yang belajar bahasa, ketimbang linguistik bandingan atau historis. Selain itu juga, istilah-istilah tersebut akan lebih membuat kita aware terhadap “produk-produk kata, baru” yang muncul di masyarakat. Sehingga kita pun akan lebih cepat dalam memahaminya.
Dengan demikian, apabila kita mendengar atau mengalami bahasa-bahasa gaul yang marak digunakan oleh para remaja sekarang ini, kita akan setidaknya mengetahui kategorisasi pembentukan kata-kata atau istilah-istilah yang dipakainya itu. Apabila kita mencermati bahasa seperti itu dengan meneliti pembentukan atau proses morfologisnya, maka kita tidak akan banyak menemukan teori-teorinya dalam buku morfologi, kita akan harus banyak membaca buku-buku linguistik historis, linguistik bandingan atau sejarah bahasa pada umumnya.
Padahal pembentukan istilah tersebut memang sejalan jalan dengan teori-teori morfologi. Namun, dalam hal ini kita seyogianya tidak perlu mempertentangkan istilah-istilah itu masuk ke dalam subdisiplin yang mana. Hal terbaik adalah apabila istilah-istilah tersebut di atas dibahas juga dalam kajian morfologi: toh walaupun kedua disiplin ini membahas hal yang berbeda, kedua-duanya sama-sama berada dalam kajian linguistik. Walaupun keduanya membahas hal yang sama, tetapi pembahasannya akan beda, pengembangan, kajian ataupun analisisnya atau penekanannya akan tergantung pada subdisiplin ilmu tersebut.
Jika istilah-istilah rekayasa bahasa tadi ada dalam kajian morfologi, maka apabila kita menemukan bahasa-bahasa yang “aneh” yang ada dan dipakai oleh sebagian orang, maka kita, bisa menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan (proses) morfologis. Seperti dikatakan dimuka, bahwasannya bentuk dan makna ini merupakan satu-kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sehingga dalam penganalisisan bahasa yang marak dipakai (bahasa gaul) itu, kita bisa mencermati baik dari bentuk maupun maknanya.
Dalam contoh kata-kata berikut ini data yang, diambil dari Kamus Bahasa
Gaul Debby Sahertain—: akika (aku), ambarawa (ambil), bajay (baju), bodrex (bodoh), cakra (cakep), capung (capek), cintrong (cinta), ember (emang), merupakan contoh bahasa (kata) gaul yang berasal dari kata yang sudah diketahui sebelumnya.
Kata-kata yang tidak memakai tanda kurung merupakan bahasa gaulnya sedangkan kata-kata dalam kurung adalah makna atau acauannya. Saya sengaja memberikan marka tebal pada gugusan fonem depannya dengan tujuan bahwa: kata-kata bahasa gaul itu tidak bebas nilai (tidaklah arbitrer), buktinya setiap pembentukan katanya diambil dari gugusan fonem dari bahasa sebelumnya dengan membuang sisa fonem akhirnya (apokop) dan sekaligus disubstitusi dengan gugusan fonem yang lain. Begitupun dengan maknanya. Karena katanya diambil dari kata yang sudah ada, maka secara otomatis maknanya adalah kata itu juga.
Secara singkat, muculnya kata-kata dalam bahasa gaul hanya pada tataran bentuknya saja. Adapun maknanya tidaklah baru—masih makna yang lama. Adapun prosesnya adalah: kata bahasa gaul itu tercipta dari kata sebelumnya yang mengalami penghliangan gugusan fonem akhir (apokop) kemudian gugusan fonem akhir itu dibuang sekaligus diganti dengan gugusan fonem yang baru.
Adapun gugusan fonem yang baru ini tidak sama, ada yang berakhiran dengan –ika, -ra. – ung, -ber. -dur, -se dan lain-lain. Dan, karena tidak samanya gugusan fonem penggantinya ini, maka ada beberapa kata bahasa gaul yang “bertabrakan” dengan kata bahasa asalnva yang memiliki makna yang lain, sebutlah misalnya kata-kata seperti: ember, capung, bodrex. Namun karena konteks serta penggunaannya berbeda, lantas kata yang “bertabrakan” itu secara otomatis tidak dimaknai dengan arti yang “sesungguhnya” itu.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kata-kata bahasa gaul itu tercipta dengan tidak bebas nilai-ada kata (bahasa) acuan yang menjadi inspirasi terciptanya kata baru itu. Sehingga pembentukan kata-kata bahasa gaull itu tergolong pada kategori penciptaan bentuk baru dengan makna yang lama-tidak benar-benar baru (arbitrer).
Ihwal penciptaan kata baru seperti di atas dalam kajian linguistik disebut dengan artificial language (bahasa, buatan). Kata-kata baru yang terdapat dalam bahasa gaul di atas telah dterbitkan untuk yang pertama kalinya pada tahun 1999 dan telah mengalami cetak ulang sebanyak dua bebas kali sampai dengan tahun 2002. Padahal, sekira seratus tahun lebih telah pula beredar artificial language yang bertaraf international yang disebut dengan Bahasa Esperanto. Pertama kali bahasa Esperanto sebagai bahasa buatan (artificial language) dirintis oleh Dr. L. L. Zamenhof (1859-1917), pakar bahasa/filolog, berlebangsaan Rusia, di kota Warsawa, Polandia (Iskar, 2004). Begitu pulalah dengan bahasa Esperanto ini. Bahasa buatan ini mengacu kepada kosakata suatu bahasa tertentu yang memiliki kaidah-kaidah tertentu. Begitulah fenomena-fenomena bahasa baru, akan tercipta dengan tidak bebas nilai.
Penutup
Dari deskripsi di atas, terdapat beberapa hal yang bisa disimpulkan, yang pertama, bahwa konsep bahasa yang arbitrer (sesuka hati) tidaklah sesuka hati untuk menciptakan kata yang baru. Sebab, walaupun bahasa itu arbitrer, ternyata untuk menciptakan kata yang baru itu sangatlah sulit. Kedua, bahwa konsep konvensi adalah hasil kesepakatan, dan yang namanya kesepakatan itu pasti ada apabila ada seseorang atau sekelompok orang yang mengusulkan untuk kemudian disepakati (tersepakati), baik secara dibuat-buat maupun secara alami. Ketiga, bahwa fenomena kata-kata bahasa gaul itu timbul hanyalah memodifikasi kata (bahasa sebelumnya) yang kebanyakan modifikasinya itu modifikasi dari legi bentuknya. Dengan kata lain kata-kata itu muncul tidak bebas nilai (tidak arbitrer).
*Penulis adalah Pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung