Aspirasi

Jam Malam Bukan Aturan Bijak

UIN Bandung

Dok. Suaka

Oleh Dede Lukman Hakim*

SUAKAONLINE.COM, — Seluruh Organisasi Mahasiswa (Ormawa) jarang-jarang berunjuk rasa, waktu itu pada Senin 9 Juni 2014 mereka sama-sama menolak peraturan jam malam. Peraturan yang mengharuskan mahasiswa berhenti beraktivitas dan berkreativitas di “kampus Kuning Gading” tepat pada pukul 21.00 WIB. Walaupun sempat ditambah satu jam menjadi pukul 22.00 WIB mahasiswa tetap kehilangan haknya.

Bukan hanya itu, bukti keberadaan jam malam di kampus ini adalah dengan dimatikannya listrik gedung Student Center (SC), pula tempat mahasiswa “nokturnal” berkreativitas. SC satu-satunya tempat mahasiswa menciptakan karya, gagasan, dan ide, biasanya pada malam hari. Di sini telah terjadi sebuah kausalitas yang tidak masuk akal, yakni hanya karena listrik padam, akibatnya mereka tidak bisa melakukan itu semua.

Sudah terpapar jelas dari keterangan di atas bahwa masalah ini menyangkut ruang dan waktu kreativitas mahasiswa UIN SGD Bandung. Adanya pembatasan waktu (jam malam) secara tidak langsung dibatasi pula penggunaan SC, karena tidak mungkin juga mahasiswa beraktivitas sambil gelap-gelapan.

Kemudian timbul pertanyaan mengapa UIN Bandung memberlakukan aturan jam malam? Bermula dari masyarakat yang merasa terganggu dengan suara gaduh yang dibuat oleh mahasiswa di malam hari.

Perlu digaris bawahi bahwa yang gaduh dibuat oleh segelintir mahasiswa, kemudian timbul aturan jam malam yang berlaku untuk semua mahasiswa. Artinya, banyak mahasiswa yang sebenarnya menjadi korban. Dalam hal ini birokrat kampus membuat kebijakan tidak dengan bijaksana, yang membuat gaduh jelas hanya segelintir orang dari ribuan mahasiswa, mengapa tidak aturan jam malam diberlakukan hanya untuk segelintir orang tersebut.

Aturan-aturan di perguruan tinggi dibuat dengan dua acuan. Aturan yang dibuat berdasarkan konstitusi, yakni UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan aturan yang dibuat secara kondisional, atau aturan yang sah ketika ada SK dari Rektor. Walaupun demikian, Undang-undang tetap menjadi acuan induk dalam membuat aturan yang kondisional.

Lantas apakah aturan jam malam dibuat dengan mengacu pada Undang-undang Pendidikan Tinggi (UUPT) No 12 Tahun 2012. Sebagai contoh pada pasal 4 UU No 12 Tahun 2012 bahwa perguruan tinggi berfungsi mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma.

Sekarang kondisinya mahasiswa UIN terbagi menjadi dua golongan, golongan pertama yakni mahasiswa yang mengembangkan kreativitas dan intelektualnya melalui pelajaran di perkuliahan. Sementara golongan kedua di luar perkuliahan (seperti komunitas dan organisasi).

Bagi golongan pertama tentu tidak berpengaruh adanya jam malam karena menggunakan waktu perkuliahan. Selebihnya dilakukan di rumah atau kosan dan pasal 4 pun masih sejalan.

Tapi bagaimana dengan mahasiswa golongan kedua, mereka yang memanfaatkan organisasi sebagai wadah pengembangan kreativitas dan intelektual harus dibatasi dengan jam malam dan SC yang tidak secara maksimal bisa digunakan. Maka aturan tersebut sudah tidak sejalan dengan Undang-undang perguruan tinggi, terutama pasal 4.

Itu hanya satu diantara banyak poin Undang-undang Pendidikan Tinggi yang tidak sejalan dengan aturan jam malam. Silakan para pembaca menilai sendiri kebijaksanaan aturan jam malam tersebut.

Namun di sisi lain, penulis tetap berprasanka baik bahwa birokrat kampus membuat aturan itu demi kemaslahatan bersama, hanya saja perlu pertimbangan yang melibatkan semua pihak agar tidak ada yang merasa dirugikan.

*Penulis merupakan Kepala Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka UIN SGD Bandung

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas