
Salah satu peserta Aksi Kamisan Bandung menyampaikan orasi di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (22/5/2025). (Foto: Farhah Sonia Qudsi/Magang).
SUAKAONLINE.COM – Aksi Kamisan Bandung kembali menggelar aksi ke-424 bertajuk “Dari Hutan hingga Perkotaan: Lawan Perampasan Ruang Hidup dan Penghidupan,” di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (22/5/2025). Aksi ini menjadi bentuk solidaritas terhadap masyarakat adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara yang dikriminalisasi karena mempertahankan hutan adat dan menolak tambang nikel milik PT. Position.
Pegiat Aksi Kamisan Bandung, Fay menyampaikan bahwa solidaritas perlu disuarakan ketika warga yang memperjuangkan tanah adat justru ditetapkan sebagai tersangka. “Hari ini Aksi Kamisan Bandung menjadi momentum untuk bersolidaritas terhadap kawan-kawan di Halmahera Timur yang ditetapkan sebagai tersangka padahal mereka mempertahankan ruang hidup dan penghidupannya,” ujar Fay, Kamis (22/5/2025).
Konflik ini bermula saat masyarakat adat Maba Sangaji melakukan prosesi adat memasang patok kayu sebagai tanda reclaiming atas hutan adat mereka yang telah dirampas oleh aktivitas tambang nikel PT Position. Prosesi ini ditanggapi represif oleh aparat. Sebanyak 28 warga ditangkap pada Sabtu (17/5/2025), dan 11 orang di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka serta dipindahkan ke Rumah Tahanan Ternate pada (20/5/2025).
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan oleh massa Solidaritas Bandung, terdapat empat tuntutan, yaitu:
- Bebaskan seluruh masyarakat adat Maba Sangaji yang ditahan secara sewenang-wenang oleh Polda Maluku Utara di Rutan Ternate.
- Mengecam tindakan represifitas & kriminalisasi oleh aparat gabungan TNI-Polri Halmahera Timur, Maluku Utara terhadap masyarakat adat Maba Sangaji.
- Usir PT Position, perusak ekologi Halmahera.
- Mendukung penuh perjuangan masyarakat adat Maba Sangaji dan seluruh warga yang mempertahankan ruang hidup dan penghidupannya.
Peserta Aksi Kamisan dari LBH Bandung, Dan menilai bahwa fenomena kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan seperti yang terjadi di Halmahera bukan hal baru. “Fenomena kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan itu sering terjadi dan bukan yang pertama, karena di beberapa daerah di Indonesia pun masih masif,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa negara selalu mem-framing pejuang lingkungan dengan memberi label-label baru dan mendemonisasi mereka. “Pola tersebut dilakukan supaya gerakan masyarakat bisa direduksi.” Tambahnya.
Fay juga menilai bagaimana negara sejak lama tidak pernah benar-benar mengakui keberadaan masyarakat, baik secara kultural maupun sosiologis yang telah tinggal dan menghidupi suatu wilayah selama puluhan bahkan ratusan tahun. “Negara dengan logika kapitalistiknya menganggap bahwa masyarakat yang ada di sana itu tidak ada, atau kalaupun ada, dianggap kumuh dan harus digusur, dipindahkan, atau dengan bahasa halus mereka ‘direlokasi’. Padahal itu sama saja dengan mencabut mereka dari tempat tinggalnya,” ujarnya.
Ia berharap, harapan tidak lagi bertumpu pada negara, tapi tumbuh dari solidaritas antarrakyat. Ia juga menekankan pentingnya saling menguatkan dan membangun perlawanan bersama, baik lewat aksi langsung maupun diskusi dan media digital. “Kita harus sadar kalau kita tidak sendiri. Kita yang harus terus melawan bersama-sama dominasi yang dilakukan oleh sistem ini,” tegasnya.
Di sisi lain, Dan mengajak semua pihak untuk terus membangun kekuatan kolektif dalam melawan penindasan. “Harapannya semoga semangat dan energi kamisan ini bisa tertular ke kawan-kawan yang lain. karena kita tidak punya kekuatan selain kekuatan kolektif. kita kekuatan politis kita adalah kekuatan kolektif, ya maka bangunlah kekuatan kolektif itu,” tutupnya.
Reporer: Farhah Sonia Qudsi/Magang
Redaktur: Guntur Saputra/Suaka
