Aksi Kamisan

Aksi Kamisan Tolak Soeharto Jadi Pahlawan dan Represi Mahasiswa

Salah satu peserta Aksi Kamisan menyampaikan orasi di depan Tugu Kujang, Kampus 1 UIN SGD Bandung, Kamis (30/10/2025). (Foto: Farhah Sonia Qudsi/Suaka)

SUAKAONLINE.COM – Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aksi Kamisan SGD menggelar aksi di depan Tugu Kujang, Kampus 1 UIN SGD Bandung, Kamis (30/10/2025). Dalam aksi tersebut, massa menolak gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto serta mendesak pembebasan tahanan politik yang dinilai ditangkap secara sewenang-wenang.

Salah satu massa aksi, Ardhi (bukan nama sebenarnya), menyebut aksi ini sebagai bentuk respons terhadap sejumlah peristiwa yang mencerminkan kemunduran demokrasi. “Ini sebagai aksi simbolik dari apa-apa kejadian yang telah terjadi, mulai dari penangkapan tahanan politik, isu pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan nasional, konflik lahan Sukahaji,” ujarnya, Kamis (30/10/2025).

Ia menilai bahwa pengusulan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Menurutnya, seorang tokoh yang memiliki rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia tidak pantas disebut sebagai pahlawan. Gelar tersebut, lanjutnya, semestinya diberikan kepada sosok yang benar-benar berjasa dan menunjukkan tindakan heroik bagi rakyat.

Tak hanya itu, Ardhi menambahkan bahwa penangkapan terhadap mahasiswa dan aktivis menjadi tanda masih berlangsungnya praktik represif negara. Ia melihat pola tersebut menyerupai masa Orde Baru, ketika kebebasan berpendapat dan berserikat dibatasi. Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa ruang demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya terbuka bagi mahasiswa dan masyarakat sipil.

Sementara itu, salah satu peserta aksi, Fadlan (bukan nama sebenarnya) menyebut bahwa aksi Kamisan dilakukan untuk menjaga kesadaran bersama terhadap berbagai ketidakadilan yang masih terjadi. “Sesimpel urang menyebarkan ingatan lah, ketika sebuah narasi menjadi narasi mayoritas, apa yang enggak mungkin? Aksi ini tentang merawat ingatan adanya ketidakadilan,” ujarnya.

Ia menilai, tanggung jawab terhadap persoalan kemanusiaan tidak semestinya hanya berada di tangan birokrat. Rektorat dan organisasi intra, lanjutnya, harus menjadi garda terdepan dalam menanggapi isu sosial yang melibatkan mahasiswa. Setiap anggota civitas akademika pun, tegasnya, perlu terlibat aktif karena persoalan kemanusiaan adalah tanggung jawab bersama.

Fadlan menambahkan, dampak dari situasi yang terjadi dapat membuka kemungkinan munculnya tindakan yang lebih keras dari negara terhadap pihak-pihak yang bersuara. “Selalu membukalah kemungkinan hal-hal yang paling buruk, bahkan sampai penghilangan orang-orang yang coba untuk melawan. Bukan hanya penyitaan buku saja, mungkin nanti akan ada pengurangan akses terhadap buku yang dianggap menyenggol status quo,” ujarnya.

Terakhir, usai aksi, Fadlan berharap kesadaran kolektif di kalangan mahasiswa terus tumbuh agar keberanian untuk bersuara tidak padam. Ia menilai, bahwa kesadaran bersama menjadi langkah awal untuk melawan ketidakadilan yang masih terjadi. “Harapannya, bisa sama-sama sadar, karena kesadaran kolektif itu modal utama,” tutup Fadlan.

 

Reporter: Farhah Sonia Qudsi/Suaka

Redaktur: Mujahidah Aqilah/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas