
Penasehat Jatayu, Ahmad Yani menyampaikan orasi mengenai kerusakan lingkungan yang berdampak pada sektor pertanian dalam aksi damai di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (10/6/2025). (Foto: Farhah Sonia Qudsi/Magang)
SUAKAONLINE.COM – Lebih dari lima puluh organisasi lingkungan dan pejuang agraria yang tergabung dalam Koalisi Gerak Sabumi turut hadir dalam aksi peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang digelar WALHI Jawa Barat di depan Gedung Sate, Jl. Diponegoro, Kota Bandung (10/6/2025). Aksi ini berlangsung melalui “panggung rakyat” sebagai wadah masyarakat untuk menyuarakan berbagai persoalan lingkungan hidup yang kian jauh dari keadilan.
Aksi peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia diwarnai dengan long march dari Masjid Pusat Dakwah Islam (PUSDAI) menuju Panggung Rakyat di depan Gedung Sate. Koordinator lapangan, Eri Irawan, dalam orasinya mengkritik keras pemerintah daerah dan pusat yang dinilai lebih memprioritaskan kepentingan investor asing ketimbang kesejahteraan rakyat.
Eri menyatakan bahwa masyarakat bukanlah antek asing, melainkan rakyat Indonesia yang hak-haknya terus dirampas, dituduh, dan direpresi. Ia juga menuntut agar pemerintah segera menyelesaikan berbagai permasalahan lingkungan dan agraria yang merugikan masyarakat, dengan mengembalikan pengelolaan tanah dan sumber daya alam ke tangan rakyat.
Dalam Panggung Rakyat, perwakilan masyarakat dari berbagai daerah menyampaikan keresahan yang dialami. Perwakilan warga Sumedang, Dede Sumariah, menyuarakan penolakan terhadap perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) PT Subur Setiadi. Ia menilai perusahaan tersebut telah merugikan warga selama bertahun-tahun. “Perusahaan tidak pernah memberi manfaat, tidak ada ganti rugi saat terjadi kebakaran di musim kemarau, atau banjir di musim hujan.” ucapnya, Selasa (10/6/2025).
Disisi lain, penasihat Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (JATAYU), Ahmad Yani, mengungkapkan dampak serius keberadaan PLTU di wilayahnya. Ahmad menjelaskan bahwa sebelum PLTU berdiri, lahan warga sangat subur. Namun setelah berdirinya PLTU, masyarakat kesulitan mengelola tanah mereka. Ia juga menolak rencana pembangunan PLTU kedua yang dinilai akan semakin memperburuk keadaan lingkungan dan penghidupan warga.
Sementara itu, perwakilan dari Konfederasi Serikat Buruh, Erni menyoroti nasib buruh dan petani yang kian termarjinalkan oleh regulasi yang tidak berpihak kepada rakyat. Ia mengungkapkan bahwa buruh terus diintimidasi, di-PHK massal, dan bekerja dalam kondisi lingkungan yang membahayakan kesehatan. Sementara itu, kaum tani hanya menjadi buruh di tanah sendiri, karena lahan dirampas dan digusur tanpa kepastian kesejahteraan.
Ketua Dewan Daerah WALHI Jawa Barat, Dedi Kurniawan, menekankan tiga persoalan utama dalam aksi tersebut. Ia menyampaikan bahwa ratusan ribu hektare lahan mengalami kerusakan akibat program-program yang dinilainya tidak berpihak pada rakyat, lemahnya regulasi lingkungan yang justru lebih memberatkan rakyat ketimbang korporasi, serta menilai bahwa masyarakat terbukti lebih mampu mengelola hutan secara lestari, dengan merujuk pada keberhasilan anggota WALHI dan Serikat Petani Pasundan dalam menjaga kawasan hutan di berbagai wilayah Jawa Barat.
Di samping itu, Direktur LBH Bandung, Heri Pramono dalam orasinya menegaskan bahwa perjuangan ini bukan sekadar simbolik. “Regulasi yang dibuat negara hari ini justru menyengsarakan rakyat. Saat perusahaan melanggar, sanksinya ringan. Tapi rakyat bisa dipenjara hanya karena menebang satu pohon,” ujarnya.
Ketua Umum Paguyuban Petani dan Pedagang Nanas (PAPANAS) Subang Selatan, Jian Herdiana, turut mengungkapkan keresahannya terkait persoalan lahan Eks PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII. Berdasarkan hasil audiensi, lahan tersebut disebut telah menjadi tanah negara, namun kenyataannya PTPN masih berkuasa dan bekerja sama dengan pihak swasta melalui skema Kerjasama Operasi (KSO). Akibatnya, petani nanas setempat tidak lagi diizinkan beraktivitas karena adanya penanaman kopi dan perawatan teh.
Terakhir, Jian menutup orasinya dengan harapan agar seluruh pihak, bisa membantu para petani yang tengah menghadapi krisis lahan. Ia juga menekankan bahwa kedaulatan sejatinya ada di tangan rakyat, namun hingga kini belum benar-benar dirasakan. “Sasuai jeung undang-undang, kedaulatan di leungeun rakyat, tapi nepi ka ayeuna téh can kecekel. Mugi ku ayana aksi ieu, kedaulatan téh balik deui ka urang,” tutupnya.
Reporter: Zahra Zakiyyah/Magang
Redaktur: Guntur Saputra/Suaka