Oleh Isthiqonita*
Membahas perempuan selalu menjadi topik yang asik. Tidak percaya? Mari kita buktikan dengan cabang perdebatan yang berawal dari perempuan. Pendidikan tinggi, pekerjaan di ruang publik, batasan aurat, pernikahan dini, poligami, bintang iklan, hukum suara perempuan, bahkan penampilan perempuan selalu menarik untuk dibahas, dan masih banyak pembahsan lain mengenai perempuan.
Tidak hanya itu prestasi yang diraih perempuan pun selalu dibahas secara berlebihan. Misalnya, tatkala Puji Astuti dipilih Jokowi untuk menjadi menteri, pembahasan Puji tidak hanya sampai klasifikasinya sebagai menteri, tetapi juga perokok dan tato. Lalu ketika perempuan masuk ke persidangan karena kasus korupsi misalnya, selain kesalahannya yang disoroti penampilannya pun menjadi sasaran untuk dikaji. Kasus korupsi yang menimpa Ratu Atut, tidak hanya mobil yang nampang di layar kaca, tetapi merk tas juga busana. Sedangkan lelaki dengan kasus yang sama amat jarang diperlihatkan merk sepatu apa yang ia gunakan.
Kategori cantik-nya perempuan juga menarik untuk dikaji. Gara-gara ada klasifikasi cantik, komestik semakin laku dan terus dibeli. Lalu pakaian sangat menunjang untuk menjadi cantik. Kini kamera turut berperan membuat perempuan mendapat predikat cantik. Tiga komponen tersebut (kosmetik, pakaian, dan kamera) membuat rasa percaya diri ‘beberapa’ perempuan menjadi lebih tinggi. Lebih dahsyatnya lagi, operasi plastik juga digunakan demi memperjuangkan pernyataan dan pujian ‘cantik’.
Lalu bagaimana klasifikasi cantik itu? Jika kita bersadar terhadap iklan-iklan di media (khususnya di Indonesia), cantik ialah perempuan dengan tubuh tinggi, langsing, berkulit putih-kuning langsat, hidung mancung, mata indah bola ping-pong (versi Iwan Fals), bibir merah merekah, alis yang disesuaikan dengan perkembangan zaman (dulu alis yang diburu tipis dan hitam, sedangkan kini tebal agak berbulu), rambut hitam dan lurus, serta kategori cantik lainnya. Lihat saja, perempuan di panggung hiburan yang menjadi idola akhir-akhir ini Raisa, Isyana, Chelsie Island, dan Dian Sastro. Adakah diantara mereka yang memiliki hidung pesek, kulit coklat, rambut ikal?
Sebelum klasifikasi cantik itu muncul, beberapa tempat di belahan dunia memiliki klasifikasi cantik tersendiri. Misalnya di Burma, perempuan cantik ialah yang memiliki leher panjang. Lain lagi di Mauritania, negara Afrika bagian barat tersebut menyatakan perempuan cantik itu ialah gemuk. Bahkan di Kalimantan-tepatnya Suku Dayak, perempuan cantik ialah yang memiliki telinga panjang. Perempuan-perempuan di sana pun berusaha terlihat cantik versi mereka, sama seperti perempuan-perempuan penghamba media yang mengejar cantik sebagaimana media katakan.
Lalu, apakah penulis mengamini cantiknya Burma, Muaritania, Suku Dayak dan tidak menyetujui usaha cantiknya ala media? Tentu saja tidak, karena sama-sama membuat perempuan harus berusaha menjadi cantik menurut penilaian dan komentar manusia-manusia disekitarnya. Penulis khawatir, perempuan lupa bahwa mereka diperdaya penilaian dan komentar, namun tak menyadari ada tugas yang lebih besar, yakni menjadi pintar.
Perempuan harus pintar supaya tidak berambisi untuk menjadi cantik menurut penilaian orang lain. Perempuan harus memaksa supaya mengenyam pendidikan tinggi, hingga memiliki penilaian cantik dan seksi versi pengetahuan, bukan hanya cantik dan seksi berdasarkan rupa.
Sayangnya, ambisi tersebut belum banyak terjadi. Misalnya beberapa daerah di Indonesia, remaja perempuan mengamini untuk nikah muda, dengan dalih hidup lebih terjamin. Beda dengan si Abang yang orangtua pun rela menjual tanah dan sawah demi si Abang tetap bertahan di sekolah. Mitos perempuan mapan dihantui menjadi perawan tua, digunakan alasan orangtua menyerah gadisnya sekolah tinggi.
Mestinya minimal remaja perempuan mengenal Malala Yousafzai dibanding Ariana Grande. Jika di Indonesia, lebih mengenal Meri Riana dibanding Luna Maya. Supaya cita-cita gadis masa depan bangsa bukan menjadi Ciderella, atau memiliki kecantikan bak artis dari Korea (Selatan). Tetapi menjadi pejuang pendidikan, pendiri perpustakaan, bahkan pengentas pernikahan dibawah usia yang terkadang dipaksakan.
Smartphone yang digunakan tidak hanya berfungsi sebagai senjata untuk stalking mantan (dan gebetannya), menjadi media narsis untuk memperlihatkan wajahnya yang semakin elok dan rupawan, atau tempat belanja kosmetik dan pakaian. Smatrphone penuh dengan e-book, atau aplikasi penunjang ilmu, bukan hanya dipenuhi aplikasi pengubah wajah supaya menjadi lebih indah.
Sebelum tulisan ini diakhiri, penulis mencari akun media sosial beberapa sampel yang penulis gunakan, dan berikut follwers mereka di Instagram: malalafud 351k, arianagrande 59.2m, merryrianaofficial 85.2k, dan lunamaya 7.9m.
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi LPM Suaka 2016