
Para pemateri dan peserta tengah berdiskusi dalam acara peringatan Hari Perempuan Internasional yang diselenggarakan oleh Koalisi Perempuan Indonesia di Youth Center Bumi Silih Asah Thomas Aquinas, Kota Bandung, Sabtu (8/3/2025). (Foto: Rengganis Elung Naafi Astuti/Magang)
SUAKAONLINE.COM – Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengadakan diskusi bertajuk “Wujudkan Gizi Sehat dan Lingkungan Bebas Kekerasan” di Youth Center Bumi Silih Asah Thomas Aquinas, Jalan Babakan Jeruk III No. 40, Kota Bandung, pada Sabtu (8/3/2025). Diskusi ini membahas keterkaitan antara kekerasan terhadap perempuan dengan pemulihan gizi korban serta mendorong partisipasi publik dalam penanganan kekerasan.
Ketua pelaksana, Putri Nabila menjelaskan bahwa tema ini diangkat karena ada korelasi antara kekerasan dan kondisi gizi perempuan. Kekerasan dapat menyebabkan gangguan psikologis yang berujung pada menurunnya nafsu makan, sehingga menghambat pemulihan gizi korban. “Perempuan yang mengalami kekerasan akan kesulitan menjaga kesehatannya, yang akhirnya berdampak pada ketahanan dan pemberdayaan dirinya,” ujarnya saat diwawancarai oleh Suaka.
Pemateri dari Sekretaris Masyarkat Anak (SEMAK), Andri dan Annisa, memaparkan hasil penelitian mereka terkait stunting di Kota Bandung. Penelitian yang dilakukan selama tiga hari itu menunjukkan bahwa angka stunting bervariasi di lima kecamatan, yakni Coblong, Sukajadi, Cibiru, dan Cibeunying Kidul. Mereka juga menyoroti rendahnya perhatian masyarakat terhadap isu ketahanan pangan dan gizi, khususnya di kalangan anak muda.
Salah satu pemateri, Nani Nuanisah Djamani, menyoroti dampak kekerasan terhadap perempuan yang terbagi menjadi tiga kategori, yaitu gangguan psikologis, gangguan fisik, dan isolasi sosial. Menurutnya, korban kekerasan sering mengalami tekanan mental yang berujung pada hilangnya nafsu makan, kurangnya asupan gizi, serta meningkatnya risiko penyakit. Selain itu, tekanan psikologis dapat menyebabkan korban kehilangan motivasi untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraannya sendiri.
Lebih lanjut, Nani menjelaskan tiga fase gangguan psikologis yang dialami korban kekerasan seksual. Pada fase pertama, korban mengalami gangguan kecemasan yang ditandai dengan rasa takut berlebihan dan sulit berkonsentrasi. Pada fase kedua, korban berisiko mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), yang menyebabkan trauma berkepanjangan, mimpi buruk, dan gangguan tidur. Fase terakhir adalah depresi, di mana korban mulai kehilangan semangat hidup, menarik diri dari lingkungan sosial, dan mengalami gangguan emosional yang lebih mendalam.
Selain dampak psikologis, Nani juga menyoroti dampak fisik yang tidak kalah berbahaya akibat kekerasan. Banyak korban kehilangan nafsu makan, sehingga tubuh mereka kekurangan asupan gizi yang berujung pada lemahnya daya tahan tubuh. Akibatnya, korban menjadi lebih rentan terhadap berbagai jenis penyakit, termasuk anemia dan gangguan metabolisme. menurutnya, jika tidak segera ditangani, kondisi ini bisa memperburuk kualitas hidup korban dalam jangka panjang.
Sebagai bentuk pertolongan pertama bagi korban kekerasan, Nani memperkenalkan metode PDH (Perhatikan, Dengarkan, Hubungkan). Metode ini menekankan pentingnya mengenali tanda-tanda trauma pada korban, memberikan dukungan emosional dengan mendengarkan secara empati, serta menghubungkan mereka dengan layanan profesional seperti psikolog atau lembaga perlindungan. Nani juga menegaskan bahwa kesadaran masyarakat terhadap isu ini dapat membantu mencegah kasus serupa dan mempercepat pemulihan korban.
Diskusi ini dihadiri oleh 100 peserta dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa, pelajar, instansi, dan masyarakat sipil. Salah satu peserta, seorang perempuan berusia 60 tahun, Siti Aminah (bukan nama sebenarnya), menyatakan bahwa dirinya tertarik mengikuti diskusi ini karena ingin memahami lebih dalam isu perempuan. Ia berharap generasi muda lebih sadar terhadap permasalahan ini serta korban kekerasan berani bersuara agar bisa mendapat pertolongan yang layak.
Reporter: Nabila Awalia Zahri/Magang
Redaktur: Guntur Saputra/Suaka