Kekerasan yang selama ini melanda negeri seribu pulau tentunya meresahkan berbagai kalangan. Dalam pandangan agama manapun hal itu sangat tidak dibenarkan bila tanpa alasan yang jelas. Namun banyak perspektif yang berbeda.
Oleh Cecep Muhamad K
Gencarnya seruan jihad beberapa waktu lalu oleh segelincir orang dengan mengatasnamakan agama. Kini tak lagi menggaung. Hal itu merupakan upaya pembenaran aksi yang dilakukannya. Sontak saja bikin ramai orang berkomentar . Apalagi kalangan agamawan maupun pemerintah, satu sama lain saling berkilah. Pecahnya peristiwa Bom Bali di Indonesia dan luluh lantahnya simbol kedigdayaan negara adikuasa, Amerika. Adalah titik mulanya. Tentunya hal itu merupakan bentuk perlawanan yang tak bisa dianggap enteng.
Dengan adanya gerakan-gerakan kelompok tertentu masih mewarnai keresahan dan kecemasan. Meski kelincahan aparat kepolisian dalam membekuk para pelaku masih tetap dipertaruhkan, rupanya perkara ini tak kunjung selesai selama ketidak adilan masih berjalan lancar. Dengan tuduhan teroris dan menganggap itu adalah bentuk jihad. Nampaknya hal ini masih silang pendapat dari berbagai kalangan dengan tujuan mencari sebuah pembenaran atas perbuatannya. Atas keadilan mereka beralasan untuk melakukan perlawanan dengan atas nama jihad. Kata ini magnet seseorang dalam melakukan sesuatu, pasalnya tawarannya pun menggiurkan. Bila mati berarti surga.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok agama radikal dalam perlawanannya adalah dengan cara melakukan aksi bunuh diri. Hal ini menurut Azyumardi Azra dalam sebuah kolomnya di majalah berita mingguan Tempo, merupakan bentuk kongkrit dari pemahaman mereka yang sangat mendasar. Hal ini, menurut rektor UIN Jakarta, pemahaman tersebut adalah idiologi atau disebut sebagai “salafi radikal” yaitu sebuah praktek yang dilakukan oleh sahabat nabi yang masih “bersahaja”. “atau jika tidak bisa disebut primitif sebab belum adanya intervensi al qur’an terhadap akal” katanya dalam tulisan itu.
Selain itu manurutnya kelompok ini memandang bahwa islam sebagi agama yang paling sempurna. Dengan demikian hal ini tentunya berpotensi gerakan yang radikal dikalangan Islam. Sementara, menurut ketua PP Muhamadiyah, Ahmad Syafe’I Ma’arif, gerakan yang bersipat radikal hanya akan menyulitkan posisi umat Islam dalam melakukan dakwahnya. Meski begitu menurutnya hal yang paling penting dilakukan sekarang adalah pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan juga organisasi. Tak hanya itu menurut Mumuh Sopandi, staf pengajar pondok pesantren Gontor, ada beberapa segi yang mesti diperhatikan secara serius diantaranya politik, ekonomi, ilmu dan dakwah.
Kekerasan yang selama ini kerap mewarnai perjalanan sejarah nusantara ini, tentunya pengalaman yang tak mudah dilupakan. Pasalnya kelompok-kelompok itu telah menodai citra bangsa ini di mata dunia internasional. Walau para sebagian pelakunya telah diadili dengan vonis mati, tampaknya tak jadi mengurungkan itikadnya. “kalau pemahaman mereka sampai kearah situ sungguh konyol dan begitu minim sekali jihad dikosepkan dengan keadaan seperti sekarang ini” kata Mumuh menjelaskan. Sebab mereka berkayakinan, bila mati sekalipun tentunya sahid yang disandang. Benarkah?
Kata jihad tentu semua orang punya persepsi masing-masing. Mati sahid tentu bermula dari berjihad. Lalu jihad yang bagaimana? Memang kata ini punya predikat yang istimewa dari Alloh, yaitu sebagai amalan yang memiliki derajat tinggi dan utama. Luar biasa, memang.
Dengan rona muka yang cukup tenang, ketua jurusan Sosiologi Agama IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Muhamad Zuldin, turut mengomentarinya. Menurutnya jihad tiada lain merupakan kesungguhan dalam mengerjakan sesuatu. Tentunya ia bersepakat dengan apa yang ditulis nakoda Muhamadiyah, yaitu jika umat Islam berkeinginan maju tentunya harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab cara kekerasan tidak akan menghasilkan apa-apa, dan tentunya hasilnya pun percuma. Namun bagi agama lain persoalan ini tentunya dipersepsi denga cara pandangnya sendiri, berikut pengakuannya,
Nyoman Putra, 40 tahun
penganut Agama Hindu
Dalam pandangan Hindu, melakukan tindak kekerasan baik fisik maupun ucapan adalah hal yang paling dilarang. Sebab dengan ajaran Ahimsaknya, umat Hindu selalu menghindari tindakan itu. “Hindu selalu mengajarka kepada umatnya melalui persemaian di Pure pertemuan-pertemuan kelompok khusus orang-orang Hindu, bahwa sikap kita menghindari sifat-sifat kekerasan karena itu bertentangan dengan ajaran Hindu memerangi kejahatan dengan kekerasan” kata Nyoman dengan santun.
Oleh karena itu, perkara ini bagi agama Hindu sangat bertolak belakang dengan ajaran yang selama ini mereka anut. Pasalnya dengan ajaran Ahimsak setiap umatnya dilarang untuk melakukan tindak kekerasan kecuali dalam upaya mempertahankan kehancuran agamanya. “Sebetulnya kalau di Hindu itu, agama itu kan perlu dibela. Karena agama itu menuntun manusia untuk membela agamanya artinya agama itu dibiarkan saja, dan berjalan secara alami walaupun ada saatnya kebenaran harus kita bela, nah ini perlu kita pahamkan. Apabila ketika membakar tempat suci agama Hindu kita membela dalam arti mempertahankan” ujarnya menjelaskan.
Tindak kekerasan yang terjadi di negeri seribu pulau ini adalah perbuatan oknum tertentu yang selalu mengatasnamakan agama. “Oh tentu tidak, apa yang terjadi di tanah air kita sikap kekerasan, pemboman itu dikaitkan dengan suatu agama, saya rasa itu yang berbuat adalah oknum perorang atau kelompok walaupun dia membawa atas nama agama” ujar lelaki itu dengan nada kalem. “dan kalau memang itu Islam yang melakukannya, itu tidak benar. Dan yang saya tahu Islam adalah agama yang menyejukan walaupun pelaku-pelakunya ada yang memeluk agama Islam” katanya menambahkan.
Selain itu menurutnya perlu ada pelurusan bila ada yang melakukan kekerasan itu mengatasnamakan agama. Tentunya hal ini merupakan upaya pembenaran dalam melakukan tindakannya. “Saya rasa pendapat-pendapat itu perlu diluruskan bila mereka mengatakan bahwa kekerasan itu dilakukan atas nama suatu agama” jelasnya dengan tegas.
Tampaknya Nyoman, sangat tidak sepakat bila kekerasan selama ini telah terjadi merupakan doktrin agama. “saya pun tidak sependapat seperti itu dan itu tidak boleh dikategorikan bahwa aksi kekerasanan itu dilakukan oleh salah satu agama” tambahnya dengan kesal. Tentunya persoalan ini mesti dikembalikan pada pelukunya sebab hal ini akan merusak citra agama itu sendiri.
Selain itu, menurutnya, di Hindu perkara hukuman mati bagi orang yang melakukan suatu kejahatan yang diadili dan di vonis demikian adalah hal yang patut di dukung. Asal hukuman itu dinilai adil. Sebab berbuat jahat baik itu secara hukum agama ataupun hukum yang berlaku di negara tetap mesti dihukum. “kita bahkan hukuman mati pun didukung oleh Hindu” ujarnya. Ia pun mencontohkan, kalau orang dijatuhi hukuman mati itu jika mereka membunuh pendeta. Bila dibiarkan, jelas akan merusak citra Hindu. Tak hanya itu perbuatan semacam itu adalah perbuatan kriminal. “Memang hukuman mati itu dibenarkan oleh agama Hindu” kata dia menegaskan.
Drs. Saeful Azhar
Pimpinan Ponpes Al-Bayariah Cigonewah
Lain agama lain pula ajarannya. Setiap agama tentunya memiliki pandangan berbeda dalam persoalan ini. Hindu misalnya yang selalu mengajarkan perdamaian, begitupun dengan lainnya. Islam yang mengajarkan tentang rahmatallilalamin, tentunya harus dipahami oleh pemeluknya. Sebab bila tidak tindak kekerasan setidaknya menjadi potensi yang lumayan merepotkan dan mencemaskan.
Namun soal jihad, agama ini memiliki konsep tersendiri. Menurutnya tindakan kekerasan dalam agama adalah hal yang tidak diterpuji, apalagi dengan menghalalk
an segala cara. “Jihad itu artinya kan sungguh-sungguh memperjuangkan sesuatu demi kepentingan Islam, namun kalau jihad dengan orientasi merusak umat atau membunuh muslim. Saya tidak setuju. Walaupun atas nama kelompok suatu organisasi, melakukan jihad dengan menghalalkan segala cara seperti membunuh muslim, mengharamkan orang kafir dan menghalalkan bunuh diri” katanya, cemas.
Dengan bunuh diri, misalnya. Menurut sesepuh pondok pesantren itu, tentunya mereka memiliki alasan lain yang memang kontradiktif dengan kepentingan banyak orang. Walau demikian lelaki ini, cukup memahami kenapa mereka tega melakukannya. “Bisa jadi mereka sakit hati karena merasa di zalimi” ujar komandan pesanren itu. Oleh karena itu, terjadinya aksi bom bunuh diri atau bentrok dengan aparat meski yang rugi umat Islam sendiri adalah pilihan pahit buat mereka.
Namun walau tujuan bagus tapi caranya tidak elegan merupakan pilihan yang tidak menguntungkan. “kalau sifatnya radikal atau anarkis, saya tidak setuju seperti itu” ujar lelaki yang akrab disapa Buya itu. Persoalan ini bila di tulik lebih jauh lagi kemungkinannya bagian dari upaya sekenario orang-orang yang sengaja untuk menyudutkan umat Islam di mata Internasional. “dan itu biasanya dilakukan oleh pihak kaum kafirin” papar dia menambahkan.
Tindakan yang tidak manusiawi itu tentunya berakibat patal bisa, pasalnya yang menjadi korban kebanyakan adalah orang Islam sendiri. “Menurut saya, sudah jangan dilakukan hal konyol seperti itu” ujarnya menyesalkan perbuatan itu. Pembenaran dengan alasan membela kepentingan agama tentunya harus melihat kenyataanya. Sebab tak bisa dipukul rata. Di Palestina misalnya kerana memang kondisinya memungkinkan dan itu diperbolehkan. Namun di negeri ini tentu tak sama persis dengan Palestina.
Oleh karena itu, di Palestina, menurutnya aksi membunuh orang Yahudi itu diperbolehkan karena, memang konteksnya adalah melakukan perlawanan terhadap musuh. Tapi, kalau di negara kita, masih menurutnya, kebanyakan orang muslim dan bisa jadi yang kena sasarannya. “Juga karena tidak se-idiologi dan ini sama saja membunuh satu orang Islam berarti membunuh seluruhnya” kata Azhar menjelaskan.
Jakob Somarjo, 64 tahun
Kristen Katolik
Melakukan kekerasan dengan mengatas namakan agama tentunya perkara yang tak bisa ditolelir sebab pada dasarnya agama mengajarkan keselarasan. Lagi pula hal ini adalah perkara yang tidak bisa dibenarkan. Kekerasan yang selama ini terjadi dalam bentuk teror lumayan meresahkan masyarakat, meski pelakunya telah dibekuk aparat yang berwenang. Pasalnya kelompok ini memiliki jaringan yang cukup solid, karenanya keresahan itu wajar menghantui.
Namun persoalan ini bukan perkara yang tak bisa ditengarai. Bila ditelusari lebih jauh lagi, tentunya masalah kekerasan menjadi urusan bersama Karenanya hal ini sangat bergantung pada pemahaman seseorang mengenai agamanya. Namun demikian persoalan kekerasan bukan berarti agama menjadi kambing hitam melainkan faktor manusianya yang perlu ditilik. Menurut Jakob Sumarjo, semua agama pada dasarnya mengajarkan nilai-nilai keharmonisan. “jadi ini bukan agamanya, tapi dasar kebudayaan dari agamanya itu” katanya.
Cara orang memahami ajaran agamanya menurut pengajar di Universitas Parahyangan ini sangat bergantung pada nilai-nilai kebudayaan yang dibawanya. Dalam hal ini, menurutnya kebudayaan adalah faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dalam mentafsir kitab sucinya. Untuk itu hal tersebut merupakan persoalan yang tak bisa dianggap sepele. “Mempelajari sejarah dan kebudayaan adalah paling penting” kata pengajar seni rupa ITB ini menegaskan. “Adanya faktor kebudayaan yang dijadikan dasar atau landasan medium ajaran itu dalam Islam yang akibatnya masih terbawa,” ujar. Faktor ini nampaknya dianggap sepele oleh sebagian pemuka agama, “itulah, kira-kira pokok persoalannya” katanya menambahkan.
Memang masa lalunya setiap agama mempunyai pengalaman kekerasan yang tak bisa dinapikan yaitu dengan terjadinya peperangan. Sehingga hal ini menjadi potensi terjadinya kekerasan oleh setiap penganut agama. Walau bentuk kekerasan yang sekarang ini terjadi, memang tak bisa disamakan dengan kejadian pada masa silam. Namun begitu kekerasan adalah perkara yang tak bisa ditolelir. Bila tidak persoaln ini akan yang kerap muncul setiap saat.
Oleh karena itu selama kepentingan kelomok masih mendominasi kepntingan agama bukan berarti nilai harmonis itu bisa langgeng. Dalam agama kristen perintah menyebarkan agama merupakan wujud kepatuhan pada tuhannya. Walaupun di Kristen seruan “jihad” itu memang tidak ada. Hal ini pun diungkapkan budayawan kelahiran Klaten ini, “ya..enggak ada, tapi mereka itu ada perintah untuk menyebarkan agamanya keseluruh dunia” ujar ayah tiga anak itu juga memaparkan.
Selain itu, menurut penganut agama Kristen katolik ini, faktor dominasi dalam kebudayaan tentunya berperan besar dalam mempengaruhi pola pikir seseorang. “dari kebudayaan ini ada faktor dominasi, yang ini harus kalah dan itu harus menang. Ini harus kita lihat, jadi tetap persoalan ini adalah masalah kebudayaan” papar Jakob menerangkan. Menganggap dirinya paling benar nampaknya menjadi bagian dari munculnya kekerasan yang selama ini mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan.