
Sedang berlangsung acara diskusi pekan literasi Asia Afrika, yang diselenggarakan oleh Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA) , bertempat di Ruang Utama Gedung Merdeka, Museum Asia Afrika, Jalan Asia Afrika, Bandung, Sabtu (18/3/2017). Acara ini merupakan hasil kerja sama antara MKAA, Paramedia Komunikatama, IKAPI Jawa Barat, dan Yayasan Harapan Kita. (Muhammad Mufti/ Magang).
SUAKAONLINE.COM – Dalam rangka Pekan Literasi Asia Afrika 2017, Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA) menggelar diskusi buku yang bertempat di Ruang Utama Gedung Merdeka, Museum Asia Afrika, Jalan Asia Afrika, Bandung, Sabtu (18/3/2017). Acara yang berlangsung dari pukul 09.00-12.00 ini, membahas mengenai, sejumlah inisiatif Soeharto dalam mengembangkan hubungan internasional guna mewujudkan perdamaian dunia.
Acara ini merupakan hasil kerja sama antara MKAA, Paramedia Komunikatama, IKAPI Jawa Barat, dan Yayasan Harapan Kita. Dengan disertai bedah buku berjudul ‘50 Inisiatif Pak Harto untuk Indonesia dan Dunia’ karya Mahpudi, dan menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia periode 2004 – 2008, Hikmanto Juwana, wartawan istana tahun 60-an, Koos Arumdanie, dan penulis buku 50 Inisiatif Pak Harto untuk Indonesia dan Dunia, Mahpudi.
“Sepanjang masa kepemimpinannya, Pak Harto mengembangkan begitu banyak inisiatif, khususnya inisiatif pembangunan yang sebagian telah menjadi bukti keberhasilannya dalam memimpin Indonesia,” ujar Mahpudi. Buku ini merupakan sebuah catatan singkat yang hanya meringkas secara garis besar tentang inisiatif-inisiatif yang dikembangkan oleh Soeharto, menggunakan bahasa yang lugas dan inspiratif.
Dalam buku karya Mahpudi tersebut dikatakan bahwa, suksesi nasional dari Soekarno kepada Soeharto tidak berjalan radikal atau melalui Pemilihan Umum terlebih dahulu. Penolakan pidato pertanggungjawaban Soekarno oleh MPRS terkait peristiwa G 30S, menjadi penanda berakhir era kepemimpinannya. Sebaliknya, penetapan Soeharto sebagai pejabat presiden oleh MPRS, menjadi penanda pucuk kepemimpinannya.
Kemudian, Koos Arumdanie mengutarakan perihal beberapa kejadian yang ia alami dari mulai ia menjadi seorang wartawan istana di tahun 1963. “Awal dari pengembangan inisiatif Pak Harto terjadi ketika Bung Karno mengumandangkan Ganyang Malasya. Operasinya dinamai Operasi Kolaga yang dipimpin Panglima tertinggi Angkatan Udara, Marsekal Madya Oemar Dhani, namun mengalami kegagalan, dan menyebabkan Bung Karno tidak puas,” ujarnya.
Saat itu Soeharto yang diangkat menjadi wakil Panglima Kolaga, mengintruksikan agar penyerangan dihentikan. Hal ini karena, lawan yang dihadapi Indonesia bukanlah Malaysia, melainkan tentara SAS yang merupakan tentara gabungan Inggris, Australia, Newzealen dan Burka yang persenjataannya jauh lebih canggih daripada persenjataan Indonesia. Pada saat itu Pak Harto berinisiatif untuk melakukan misi intelijen yang dinamai misi Klandestin. Misi itu pun berhasil dan mempertemukan Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik dan wakil Perdana Menteri Malaysia, Teungku Abdul Rahman.
Selanjutnya, Koos Arumdanie juga menambahkan, Soeharto merupakan orang yang tunduk terhadap Garis Besar Haluan Negara (GBHN), terlepas dari tanggapan baik dan buruk mengenai dirinya. Menurut Koos, tidak ada lagi pemimpin setelah Soeharto yang berani mengatakan kepada pihak luar agar tidak mengganggu urusan dalam negeri Indonesia. Oleh karena itu, pada saat Soeharto menjadi presiden, secara tegas ia berani memutuskan hubungan diplomatik dengan China yang berpotensi melakukan intervensi terhadap pemerintahan Indonesia.
Menurut Hikmahanto Juwana, apabila dibandingkan dengan pemimpin yang sekarang, khususnya setelah reformasi. Hal yang disayangkan dari pemimpin saat ini yaitu, tidak mau berkaca dari suksesi kepemimpinan pemimpin pendahulunya. Ini terjadi akibat adanya pandangan-pandangan negatif pemimpin saat ini, terhadap pemimpin terdahulu. “Bagaimana pun juga, janganlah melihat masa lalu dengan kaca mata hari ini,” ujarnya.
Reporter: Muhammad Mufti/ Magang
Reporter : Hasna Salma