
Ilustrasi: Desty Rahmawati/Suaka
Oleh : Dandi Muhammad Hanif*
Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan sistem transportasi yang beragam. Namun, satu hal yang sering terlupakan dalam perencanaan kota dan infrastruktur adalah hak pejalan kaki. Berjalan kaki, yang seharusnya menjadi aktivitas normal dan sehat, malah menjadi tantangan yang tidak menyenangkan di banyak kota Indonesia. Fenomena ketidakramahan terhadap pejalan kaki terasa begitu jelas. Tidak adanya ruang yang memadai untuk pejalan kaki, trotoar yang terpaksa digunakan oleh pedagang atau parkir liar, hingga sempitnya ruang jalan membuat aktivitas berjalan kaki menjadi tidak aman dan tidak nyaman.
Sebagai seorang yang kini tinggal di Bandung, banyak pengalaman yang Dimana mencerminkan sulitnya berjalan kaki di area seperti Cipadung. Jalan yang seharusnya memiliki ruang untuk pejalan kaki sering kali dipenuhi oleh warung-warung yang mengambil alih trotoar, sementara mobil dan motor melaju dengan cepat tanpa memperhatikan keselamatan pejalan kaki. Dalam kondisi seperti ini, pejalan kaki seperti terpinggirkan, seolah-olah hak mereka tidak diakui dalam perencanaan kota. Selain di daerah Cipadung pengalaman berjalan kaki terasa juga saat berjalan di daerah manisi, ruang yang seharusnya disediakan untuk pejalan kaki hampir tidak ada, sehingga sering kali harus berjalan di jalan raya, berbagi jalur dengan kendaraan bermotor, dan menerima klakson dari pengendara yang merasa terganggu oleh keberadaan pejalan kaki. Hal ini menimbulkan perasaan tertekan dan bahkan rasa tidak aman.
Ketidakramahan ini bukan hanya masalah infrastruktur yang kurang memadai, tetapi juga mencerminkan sikap masyarakat yang kurang peduli terhadap pejalan kaki. Dalam percakapan sehari-hari, tidak jarang terdengar komentar yang merendahkan orang yang berjalan kaki. Ada stigma bahwa pejalan kaki adalah mereka yang “kurang mampu” atau “tidak punya kendaraan.” Padahal, di negara-negara maju, berjalan kaki adalah simbol gaya hidup sehat dan ramah lingkungan. Stereotip ini menunjukkan bahwa ada pergeseran nilai di masyarakat kita, di mana memiliki kendaraan pribadi lebih dianggap sebagai prestasi daripada memilih berjalan kaki yang sebenarnya lebih baik bagi lingkungan dan kesehatan.
Fenomena Ketidakramahan Terhadap Pejalan Kaki di Indonesia
Fenomena ketidakramahan terhadap pejalan kaki ini bukan hanya terjadi di satu atau dua daerah, melainkan menjadi masalah nasional. Infrastruktur jalan di kota-kota ini sering kali hanya memprioritaskan kendaraan bermotor, dengan trotoar yang minim dan tidak memadai. Bahkan, trotoar yang ada sering kali dialihfungsikan menjadi tempat parkir kendaraan atau dijadikan lapak bagi pedagang kaki lima. Kondisi ini menunjukkan bahwa pejalan kaki bukanlah prioritas dalam pembangunan kota di Indonesia.
Sebagian besar infrastruktur jalan di Indonesia tidak didesain dengan mempertimbangkan kebutuhan pejalan kaki. Di banyak tempat, trotoar bahkan tidak memenuhi standar keamanan yang layak. Misalnya, trotoar yang terlalu sempit atau tidak dilengkapi dengan pembatas antara jalur kendaraan bermotor dan jalur pejalan kaki. Dalam kasus terburuk, beberapa kota bahkan tidak memiliki trotoar sama sekali, membuat pejalan kaki harus berbagi ruang dengan kendaraan di jalan raya.
Kondisi ini bukan hanya membahayakan keselamatan pejalan kaki, tetapi juga membuat pengalaman berjalan kaki menjadi tidak nyaman. Di banyak daerah trotoar sering kali dipenuhi oleh kendaraan yang diparkir sembarangan. Hal ini menambah beban bagi pejalan kaki, yang harus berjalan zigzag di antara mobil dan motor yang diparkir di trotoar. Selain itu, banyak trotoar yang tidak rata, berlubang, atau bahkan rusak, yang membuat pejalan kaki harus ekstra hati-hati agar tidak tersandung atau jatuh.
Tidak hanya masalah infrastruktur fisik, tetapi fenomena ketidakramahan ini juga berkaitan dengan budaya berlalu lintas masyarakat Indonesia. Banyak pejalan kaki di kota-kota besar merasa tidak aman saat berjalan kaki, terutama di area yang minim trotoar. Mayoritas dari mereka juga mengeluhkan perilaku pengendara yang tidak menghargai pejalan kaki, seperti mengklakson mereka yang sedang berjalan di pinggir jalan atau bahkan menyenggol pejalan kaki saat melintas di jalan yang sempit.
Perbandingan dengan Negara-Negara Ramah Pejalan Kaki
Ketika kita melihat negara-negara maju seperti Jepang, Singapura, atau Belanda, kita bisa melihat perbedaan yang signifikan dalam hal penghormatan terhadap pejalan kaki. Di negara-negara tersebut, pejalan kaki diberikan ruang yang memadai di jalanan, trotoar yang nyaman, serta fasilitas penyeberangan yang aman. Tidak hanya itu, pejalan kaki juga dihormati oleh para pengendara, yang cenderung memberikan prioritas kepada mereka saat menyeberang jalan.
Di Jepang, misalnya, pejalan kaki diberikan prioritas utama dalam perencanaan transportasi perkotaan. Trotoar di Jepang lebar, bersih, dan dilengkapi dengan fasilitas penunjang seperti lampu penyeberangan dan rambu-rambu yang jelas. Pejalan kaki juga dilindungi oleh undang-undang yang ketat, yang mewajibkan pengendara untuk menghormati hak pejalan kaki, terutama di zona penyeberangan. Tidak heran jika berjalan kaki menjadi aktivitas yang sangat umum di Jepang, bahkan di kalangan pekerja kantoran.
Sementara itu, Singapura juga menjadi contoh negara yang berhasil menciptakan lingkungan ramah pejalan kaki. Pemerintah Singapura telah menginvestasikan banyak sumber daya untuk membangun trotoar yang nyaman dan aman bagi pejalan kaki. Selain itu, Singapura juga menerapkan kebijakan “zero tolerance” terhadap kendaraan yang melanggar hak pejalan kaki, termasuk kendaraan yang parkir sembarangan di trotoar. Hasilnya, Singapura menjadi salah satu kota paling nyaman bagi pejalan kaki di Asia.
Belanda, di sisi lain, dikenal dengan sistem transportasi yang terintegrasi antara pejalan kaki dan pengguna sepeda. Di Belanda, jalan-jalan didesain sedemikian rupa sehingga pejalan kaki, pesepeda, dan pengendara kendaraan bermotor dapat berbagi ruang dengan aman dan nyaman. Fasilitas trotoar di Belanda juga sangat baik, dengan jalur-jalur yang luas, bersih, dan aman.
Dampak Buruk Ketidakramahan Terhadap Pejalan Kaki
Kurangnya perhatian terhadap pejalan kaki di Indonesia membawa dampak buruk, baik dari sisi lingkungan maupun kesehatan masyarakat. Pertama, semakin banyaknya orang yang menggunakan kendaraan bermotor karena kurangnya fasilitas bagi pejalan kaki menyebabkan peningkatan polusi udara di kota-kota besar. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dengan Jakarta menjadi salah satu kota dengan polusi udara terburuk di dunia.
Dari sisi kesehatan, kurangnya ruang aman untuk berjalan kaki membuat masyarakat lebih cenderung menggunakan kendaraan pribadi, yang berkontribusi pada gaya hidup sedentari. Hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang, seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung.
Selain itu, dampak psikologis dari ketidakramahan ini juga signifikan. Banyak pejalan kaki yang merasa tertekan dan cemas saat berjalan di jalanan yang padat kendaraan. Stres akibat merasa tidak aman saat berjalan kaki dapat memengaruhi kesehatan mental, terutama di kalangan anak-anak dan orang tua. Keterbatasan dalam aksesibilitas bagi pejalan kaki juga dapat mengurangi kualitas hidup secara keseluruhan, terutama bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan.
Solusi untuk Menciptakan Lingkungan Ramah Pejalan Kaki
Untuk mengatasi masalah ketidakramahan terhadap pejalan kaki di Indonesia, ada beberapa solusi yang bisa diimplementasikan. Pertama, pemerintah perlu melakukan perencanaan kota yang lebih inklusif, dengan melibatkan suara masyarakat dalam setiap tahap pembangunan infrastruktur. Setiap perencanaan pembangunan jalan harus mempertimbangkan ruang yang cukup untuk pejalan kaki dan tidak hanya fokus pada kendaraan bermotor. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat lebih banyak trotoar yang luas, aman, dan nyaman.
Kedua, edukasi masyarakat mengenai pentingnya berjalan kaki dan menghormati hak pejalan kaki juga sangat penting. Kampanye kesadaran publik bisa dilakukan melalui media sosial dan kegiatan komunitas untuk mengubah persepsi masyarakat mengenai pejalan kaki. Dengan meningkatkan pemahaman akan manfaat berjalan kaki, diharapkan lebih banyak orang yang mau meninggalkan kendaraan mereka dan memilih berjalan kaki.
Ketiga, penegakan hukum yang lebih ketat terhadap pelanggaran lalu lintas juga diperlukan. Pengendara yang melanggar hak pejalan kaki, seperti parkir di trotoar atau tidak memberikan prioritas saat menyeberang jalan, harus diberikan sanksi yang tegas. Penerapan aturan ini dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi pejalan kaki.
Keempat, pembangunan fasilitas pendukung seperti jalur sepeda dan area hijau juga dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi pejalan kaki. Dengan adanya jalur sepeda, pejalan kaki tidak hanya merasa lebih aman, tetapi juga ada alternatif transportasi yang dapat mengurangi penggunaan kendaraan bermotor.
Pemerintah daerah juga perlu memperhatikan aspek desain jalan yang ramah pejalan kaki. Fasilitas penyeberangan jalan, seperti zebra cross yang jelas, lampu lalu lintas, dan jembatan penyeberangan, harus dipasang di tempat-tempat strategis. Desain jalan yang baik tidak hanya melindungi pejalan kaki tetapi juga meningkatkan kenyamanan mereka saat berjalan.
Peran Masyarakat dan Komunitas dalam Menciptakan Perubahan
Masyarakat memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi pejalan kaki. Kesadaran akan hak-hak pejalan kaki dapat ditingkatkan melalui keterlibatan aktif komunitas dalam berbagai inisiatif. Salah satu cara untuk mendorong hal ini adalah dengan membentuk kelompok pejalan kaki yang dapat saling mendukung dan mempromosikan budaya berjalan kaki di lingkungan mereka. Kelompok-kelompok ini tidak hanya bisa menjadi tempat berkumpul, tetapi juga sebagai wadah untuk berbagi pengalaman dan informasi terkait isu-isu yang dihadapi pejalan kaki di area mereka.
Kegiatan seperti berjalan bersama di akhir pekan atau saat hari kerja dapat menjadi salah satu metode yang efektif untuk membangun solidaritas antar anggota komunitas. Dalam acara-acara tersebut, anggota komunitas bisa saling bertukar cerita, mendiskusikan tantangan yang dihadapi, dan merancang strategi untuk meningkatkan keamanan serta kenyamanan pejalan kaki di lingkungan mereka. Selain itu, kegiatan pembersihan trotoar juga dapat diadakan untuk memperbaiki kondisi fisik jalanan dan menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan aman untuk berjalan kaki.
Pengadaan acara komunitas yang mendorong berjalan kaki juga bisa menjadi langkah yang signifikan. Misalnya, mengadakan festival yang mengedepankan kebudayaan lokal dan memperkenalkan rute-rute pejalan kaki yang aman di area publik. Kegiatan semacam ini tidak hanya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya berjalan kaki, tetapi juga dapat menarik perhatian pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur di area tersebut.
Salah satu contoh sukses dapat dilihat di kota kota besar seperti Jakarta,Bandung,Bekasi dan kota kota besar lainnya di mana beberapa komunitas telah menginisiasi program “Hari Tanpa Kendaraan.” Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong masyarakat beralih ke transportasi publik atau berjalan kaki. Pada hari-hari tertentu, ruas jalan tertentu di pusat kota ditutup untuk kendaraan bermotor, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk merasakan pengalaman berjalan di ruang publik yang lebih aman dan nyaman. Melalui kegiatan tersebut, masyarakat diajak untuk menikmati fasilitas publik dan memahami pentingnya hak pejalan kaki. Pengalaman langsung ini tidak hanya membuat masyarakat lebih menghargai ruang publik, tetapi juga membangun kesadaran kolektif tentang tanggung jawab bersama dalam menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi pejalan kaki.
Komunitas juga dapat berperan dalam advokasi untuk perubahan kebijakan. Dengan mengumpulkan dukungan dan suara dari masyarakat, mereka bisa mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan infrastruktur yang mendukung pejalan kaki. Misalnya, kampanye untuk memperbaiki trotoar yang rusak atau menghapus parkir liar di trotoar dapat dilakukan secara kolektif. Melalui pengorganisasian yang baik, suara masyarakat dapat menjadi alat yang kuat untuk mendorong perubahan.
Untuk memperkuat gerakan ini, penting bagi komunitas untuk membangun kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta. Kolaborasi ini dapat menghasilkan inisiatif yang lebih terencana dan berdampak, seperti pelatihan bagi pemangku kepentingan tentang cara merancang kota yang lebih ramah bagi pejalan kaki.
Dengan memanfaatkan potensi komunitas, kita dapat menciptakan perubahan yang berkelanjutan. Kesadaran dan tindakan kolektif yang diambil oleh masyarakat akan sangat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik dan lebih aman untuk pejalan kaki. Saat masyarakat bersatu untuk mendukung inisiatif ini, akan tercipta momentum yang kuat untuk mendorong perubahan positif dalam infrastruktur dan kebijakan yang ada, menjadikan kota-kota di Indonesia lebih ramah bagi semua penghuninya.
*Penulis merupakan Mahasiswa jurusan Jurnalistik UIN SGD Bandung 2022 dan merupakan anggota Divisi Perusahaan LPM Suaka 2024