
Salah satu peserta aksi meyampaikan orasi menolak kebangkitan Orda Baru di Taman Braga, Jl. Braga, Kota Bandung, Rabu (21/5/25). (Farah Farihah/Magang).
SUAKAONLINE.COM – Memperingati 27 tahun lengsernya Soeharto, Komite 21 menggelar aksi “Melawan Kebangkitan Orde Baru” di Taman Braga, Kota Bandung, Rabu (21/5/2025). Aksi ini menolak narasi pelurusan sejarah yang menyebut Soeharto sebagai pahlawan, dan menyoroti agenda Reformasi 1998 yang dinilai telah dikhianati oleh rezim saat ini.
Komite 21 menyerukan bahwa rezim Orde Baru tidak hanya menindas secara fisik, tetapi juga secara ideologis. Pasca pembantaian 1965, Soeharto membentuk citra bapak pembangunan yang menyembunyikan kekerasan negara terhadap rakyat. Kritik terhadap pembangunan dianggap ancaman dan sering dicap sebagai komunis label yang ketika itu bisa berarti vonis mati.
“Gerakan mahasiswa di masa Orde Baru menunjukkan betapa militeristiknya pemerintahan Soeharto, masyarakat dikaburkan dalam kesadaran kritis mereka tidak bisa melihat konflik sosial yang terjadi berdalih pembangunan negara. Itulah sebabnya gerakan Reformasi 1998 lahir untuk mengakhiri kediktatoran ini,” ujar Vara salah satu orator aksi.
Komite 21 mengingatkan bahwa dari enam agenda utama Reformasi 1998, hanya satu yang benar-benar terlaksana. Selebihnya terbengkalai atau dijalankan setengah hati:
- Mengadili Soeharto dan kroninya (tidak tuntas)
- Amandemen UUD 1945 (terlaksana)
- Menghapus dwifungsi ABRI (tidak tuntas)
- Melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya (tidak tuntas)
- Menegakkan supremasi hukum (setengah hati)
- Mewujudkan pemerintahan bersih dari KKN (setengah hati)
Dalam aksi tersebut, massa mengecam kebijakan masa kini yang dinilai meneruskan pola represif Orde Baru. UU Cipta Kerja menjadi simbol kembalinya rezim pembangunanisme yang berorientasi pada investasi, bukan kesejahteraan rakyat. Kebijakan ini dianggap mengorbankan rakyat demi kepentingan investor.
“UU Cipta Kerja memperluas pasar tanah dan melegalkan praktik perampasan lahan. Semakin luas pasar tanah, semakin masif pula perampasan terjadi. Negara bukan lagi pelindung rakyat, tapi agen modal asing,” tegas peserta aksi.
Aksi diwarnai teatrikal mediasi dengan arwah Soeharto sebagai simbol bahwa dosa-dosa masa lalu belum selesai. Para aktor mengenakan atribut tentara, membawa bunga, cat merah menyerupai darah, dan menampilkan adegan tubuh terhempas ke lantai. Ini menggambarkan penderitaan rakyat selama era Orde Baru.
Menjelang akhir aksi, massa berkumpul untuk mendengarkan pembacaan pernyataan sikap sebagai puncak dari rangkaian kegiatan.Selebaran berisi tuntutan juga dibagikan kepada peserta aksi. Dalam teks tersebut tertulis: “Ini bukan hanya soal masa lalu, tapi juga masa depan. Reformasi yang dikorbankan jangan dikhianati.”
Reporter: Farah Farihah/Magang
Redaktur: Guntur Saputra/Suaka