SUAKAONLINE.COM, Infografis – Di Indonesia, salah satu lembaga awal yang tercatat melakukan praktik perpeloncoan adalah School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), yang nantinya menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Berdasarkan pengalaman Mohammad Roem, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia sekaligus alumni STOVIA, perpeloncoan di institusi ini berlangsung selama tiga bulan.
Pada masa itu, mahasiswa baru dipaksa untuk menjalankan peran sebagai pelayan senior. Mereka harus menunjukkan rasa hormat dengan memanggil senior “Tuan” dan melakukan berbagai tugas, seperti mengantarkan barang atau membersihkan sepatu senior. Hubungan ini memperkuat posisi dominasi senior atas junior di lingkungan kampus.
Adapun, perpeloncoan di Indonesia awalnya mengalami penolakan dari berbagai pihak. Salah satu kelompok yang menentang perpeloncoan adalah Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), yang menganggapnya sebagai warisan kolonial. Namun, dengan runtuhnya Partai Komunis Indonesia (PKI), yang terkait dengan CGMI, kelompok ini juga bubar saat Orde Baru berkuasa.
Setelah itu, orientasi mahasiswa terus berlanjut dengan berbagai nama, seperti Masa Prabakti Mahasiswa (Mapram), Pekan Orientasi Studi (POS), sampai yang saat ini dikenal dengan Orientasi Studi Pengenalan Kampus (OSPEK), yang kini menjadi istilah umum untuk kegiatan orientasi mahasiswa baru.
Hingga saat ini perpeloncoan masih berlangsung karena kurangnya pengawasan di lingkungan pendidikan. Sehingga praktik ini sulit dideteksi, terutama di luar kampus. Selain itu, perpeloncoan sering dianggap sebagai tradisi yang memperkuat solidaritas antar anggota dalam organisasi mahasiswa. Ada juga anggapan bahwa perpeloncoan dapat membangun karakter, meskipun pandangan ini kerap dikritik karena risiko kekerasan fisik dan mental yang menyertainya.
Perpeloncoan sering kali menjadi “harga” yang harus dibayar oleh anggota baru untuk bisa bergabung dengan sebuah organisasi. Sayangnya, praktik ini sering melibatkan kekerasan, baik verbal maupun fisik. Seringkali hal tersebut dapat berujung pada kerugian materil dan moral. Bahkan dalam beberapa kasus yang ekstrim, kekerasan tersebut dapat bermuara pada kehilangan nyawa.
Sumber : tirto, goodnewsfromindonesia, TheConversation
Peneliti : Puji Saputra/Suaka
Redaktur : Faiz Al Haq/Suaka