
(Ilustrasi Foto: Kinanthi Zahra/Suaka).
Banyak kawan saya yang merasa risau, khawatir dan kecewa. Karena banyak sekali orang-orang yang dinilai layak untuk duduk sebagai penyambung lidah mahasiswa gugur di hadapan nepotisme yang menjadi udara di kampus Gunung Djati. Tetapi, bukan berarti kawan-kawan saya tersebut mengamini pula jika banyak pejabat-pejabat mahasiswa yang duduk menjabat di tingkat jurusan hingga universitas tidak pantas.
Hanya saja, karena persyaratan menjadi pengurus atau bahkan ketua Dewan Eksekutif dan Senat Mahasiswa terasa hanya berjalan secara prosedural-normatif saja. Tidak ada pakem khusus, tentunya terkecuali bagian dari organisasi ekstra, yang dapat dijadikan indikator tertentu untuk memilih wajah-wajah keorganisasian kampus.
Tidak ada indikator yang jelas di dalam penentuan menjadi calon ketua menyebabkan kerap ketua-ketua yang kemudian terpilih dapat dibilang belum bisa merepresentasikan harapan mahasiswa pada kebanyakannya. Melalui tulisan ini, saya berharap menemukan titik mula pangkal persoalan tersebut sehingga kita dapat membuat satu bangunan sistem alternatif yang ditujukan untuk kebaikan kampus utamanya politik-demokrasi mahasiswa ke depannya.
Pertama, rata-rata yang duduk sebagai top leader di organisasi internal kampus adalah golongan-golongan yang duduk di organisasi eksternal. Kita, tidak pernah bisa untuk mempersoalkan ini, toh ketika tidak ada organ ekstra, maka akan ada entitas lain yang menggantikannya seperti misalnya sayap-sayap jurusan atau bahkan UKM dan organisasi daerah, dan rata-rata mereka pun melakukan hal yang sama, bahkan lebih parah dari apa yang telah dilakukan oleh organ ekstra di dalam upaya meningkatkan kualitas demokrasi mahasiswa.
Namun, pokok persoalan bukan di sana, melainkan daripada rekruitmen dan pengorbitan calon yang dilakukan oleh organisasi-organisasi yang kerap mengisi kancah pertunjukan politik kampus ini; bagaimana proses rekruitmen dan pengorbitan politik yang dilakukan untuk mengisi jabatan di kampus ini, apakah prosesnya telah sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi dan menjunjung tinggi sumpah mahasiswa? Atau justru, ekstra melakukan penunjukan “seenake dewek” karena, misalnya tidak ada calon lagi diakibatkan oleh kurangnya anggota dan kader?
Selain itu, bagaimana alur dan kualifikasi yang dilakukan ekstra atau entitas lain seperti sayap jurusan di dalam menentukan dan mengorbitkan anggota atau kadernya untuk mengisi jabatan intra kampus? Apakah kualifikasinya hanya sekadar dinisbatkan pada kedekatan dengan ketua ekstra atau ketua sayap jurusan semata? Atau ada spesifikasi tertentu yang kemudian hal tersebut berjalan beriringan dengan kebutuhan mahasiswa dan dapat menjawab apa yang menjadi kebutuhan mahasiswa. Harapannya jelas, agar calon-calon yang ditunjuk dan akan duduk ini bukan hanya menjadi wayang di dalam pertunjukan politik kampus, melainkan dapat menjadi kebanggaan kampus dan dapat menjadi corong gerakan kebangkitan mahasiswa.
Sekurang-kurangnya di dalam memilih pemimpin, kita pun harus seselektif sebagaimana memilih pasangan. Harus dikenali terlebih dahulu bagaimana bibit-bebet-bobotnya. Bibit, artinya bagaimana pemimpin itu bisa lahir, jika kemudian calon pemimpin itu dari organ ekstra, bagaimana prosesnya selama ia menjadi anggota dan kader, apakah ia telah sampai pada proses kaderisasi tertentu dengan kualifikasi yang menjanjikan pula, sejauh mana cakrawala intelektualitasnya, sedalam mana etikabilitasnya sehingga jika dia merupakan bibit yang bagus di dalam organisasi, maka ia pasti akan menumbuhkan buah-buah yang bagus dan baik untuk lainnya.
Begitu juga, jika calon tersebut merupakan bagian dari sayap jurusan atau kita lebih akrab menyapanya sebagai supporter, bagaimana proses dia di dalam organisasi itu, apakah ia benar-benar dapat mewakili mahasiswa di tingkat yang lebih tinggi? Bagaimana kualitas pengetahuannya? Apakah ia hanya bisa bernyanyi saja atau bahkan bisa berargumentasi dan membela kepentingan mahasiswa kebanyakan dan tidak segmented untuk golongannya saja?
Bebet menandakan bagaimana kualitas individunya, bagaimana lingkungan tempat gaulnya, lingkungan tempat berdiskusinya, lingkungan tempat pengembangan dirinya dan lingkungan di mana menghabiskan waktunya. Pemimpin yang baik memang bukan ia yang hanya memedulikan satu golongan atau lingkungan tertentu dan meniadakan golongan lainnya. Melainkan ia yang dapat menyatukan semuanya, namun di dalam menilik bagaimana kualitas seorang pemimpin kita dapat melihat dari bagaimana lingkungan pergaulannya.
Meminjam perkataannya Nabi Muhammad SAW, Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk.
Dan terakhir, bobot artinya menunjukan dirinya secara utuh penuh, bagaimana kualitas dirinya secara pribadi, bukan dinilai dari bagaimana prosesnya di organisasi, di kampus, atau pun bagaimana lingkungan. Melainkan benar-benar diukur dari individunya sendiri. Apakah memang pantas dirinya menjabat sebagai, katakanlah Presiden Mahasiswa UIN Bandung? Atau jabatan-jabatan lainnya di kampus. Pengukuran ini, selain dapat dilakukan secara normatif melalui prosedural pendaftaraan di Musti-U dan atau Musma-U seharusnya dilakukan suatu uji publik, semisal debat terbuka atau kampanye secara besar-besaran di tugu kujang. Karena, lagi dan lagi, Presma atau pun pemimpin serupa adalah wajah kampus, wajah mahasiswa.
Kedua, pemilihan calon-calon ketua di UIN Bandung baik dari tingkat jurusan hingga universitas dilakukan melalui mekanisme persidangan bukan pemilihan raya. Di mana, setiap delegasi penuh memiliki hak untuk memilih calon-calon yang telah dipilih oleh panitia penyelenggara. Kerap, proses ini dilakukan hanya sebagai momen prosedural-kelembagaan semata, karena secara pastinya, calon-calon tersebut telah menang bahkan sebelum bertanding.
Untuk itu, tak mengherankan jika poin pertama dalam tulisan ini tidak akan tercapai dikarenakan, pemilihan pejabat di kampus UIN Bandung senyatanya tidak dilakukan dengan penuh kensekuen untuk menciptakan kehidupan demokrasi mahasiswa yang benar-benar menyentuh aspek paling fundamentalnya, yakni adanya kesetaraan dan persamaan.
Namun, bukan berarti kita kemudian merasa psimis tidak akan lahirnya para pemimpin mahasiswa yang memiliki kualitas yang baik dan mumpuni. Demokrasi, adalah alat paling memungkinkan untuk melahirkan para pemimpin yang cacat, tetapi di dalam kecacatan proses demokrasi selalu pula memungkinkan untuk melahirkan para pemimpin yang hebat.
Terakhir, untuk menjawab tulisan ini: apakah mungkin Presma non-Ekstra? Di mana ekstra di sini bukan hanya dimaknai sebagai organisasi semacam PMII, HMI atau pun lainnya, melainkan juga sayap supporter karena mereka pula senantiasa turut serta di dalam eskalasi politik kampus adalah sangat-sangat tidak mungkin.
Presma non-esktra artinya ia berangkat sebagai individu, sebagai personal tanpa kemudian ada embel-embel organisasi di belakangnya. Berangkat murni sebagai mahasiswa, dengan proses dinamika politik kampus, untuk sekarang nampaknya memang tidak memungkinkan. Jika toh mungkin, maka dijamin pasti ia tidak bakalan menang. Seberapa pun kualitas yang dimilikinya.
Secara empirik, kita pun belum berani untuk meneriakan kembali pemilihan raya di mana setiap mahasiswa memiliki hak yang sama untuk memilih Presiden Mahasiswanya. UIN Bandung, masih dininabobokan dengan sistem pemilihan melalui persidangan, di mana para pejabat dari setiap fakultas turut serta memberikan suara di dalam musyawarah mahasiswa.
Terlepas, apakah sistem tersebut baik atau buruk, efisien dan efektif atau tidak, namun yang jelas di dalam sistem tersebut belum dapat melahirkan satu pemimpin yang benar-benar lahir dari mahasiswa umumnya, kebanyakan Presma lahir dari satu organ ekstra tertentu dan organ esktra lainnya melahirkan para pemimpin di bagian-bagian lain insitusi kelembagaan mahasiswa. Memang inilah realitasnya, persamaan mustahil, dan kesetaraan tidak tegak.
Ehsa Nagara
Ilmu Politik/Semester V
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN SGD Bandung