Lintas Kampus

Gigih Menuntut Hak, Buruh Perempuan Masih Tertindas

Buruh perempuan melayangkan poster tuntutan dalam aksi Hari Buruh Internasional di Taman Cikapayang, Kota Bandung, Rabu (1/5/2024). (Foto: Ardio Nauly/Magang)

SUAKAONLINE.COM – Aliansi Buruh Bandung Raya melakukan aksi unjuk rasa menyuarakan tuntutan-tuntutan pada peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day di Taman Cikapayang, Kota Bandung, Rabu (1/5/2024). Aksi ini turut diikuti sejumlah buruh perempuan yang menuntut hak-haknya, terutama hak cuti khusus perempuan.

Buruh perempuan pun tak luput untuk ber-orasi pada rangkaian aksi buruh ini. Bendahara Serikat Buruh Militan (SEBUMI), Meti Hermayanti, ber-orasi mengenai kebijakan Omnibus Law yang kerap merugikan buruh dan upah di bawah upah minimum regional (UMR) dengan jam kerja lebih dari 8 jam. Keresahan ini belum termasuk hak cuti haid dan hak cuti hamil yang tidak diberikan dengan layak oleh perusahaan.

“Kami meminta keadilan, untuk kawan-kawan yang masih bekerja, bahwa pas hamil, pas haid itu harus mendapatkan pelayanan khusus, karena untuk ini kebanyakan tidak dikasih cuti haid. Ada yang gak ada cuti haid. Padahal itu, haidnya itu, kami harus isitrahat selama dua hari. Kami minta kelayakanlah untuk kaum perempuan yaitu cuti haid, ” ujar Meti, Rabu (1/5/2024).

Sebelumnya, pabrik tempat Meti bekerja dulu pernah menyediakan cuti haid untuk buruh perempuannya dengan waktu cuti sebanyak 2 hari. Namun, seiring berjalannya waktu, prosedur pengajuan cuti haid tersebut kerap dipersulit. Kini, untuk mendapatkan cuti haid, buruh perempuan harus mengurus pengajuannya di rumah sakit. Itu pun terkadang rumah sakit tidak memberi cuti tersebut.

Meti juga mengungkapkan bahwa pekerjaan antara buruh laki-laki dengan buruh perempuan disamakan, walaupun tenaga buruh laki-laki dan perempuan berbeda. Selain itu, sistem outsourcing buruh pun kerap mencederai kesejahteraan buruh.

“Kami di sini untuk menyuarakan bahwa sistem outsourcing itu sangat merugikan. Kalo dulu kita kerja teh dianggap pegawai tetap. Kalau sekarang, sistemnya outsourcing. Sistemnya ngambil (buruh) dari yayasan. Yang dari kami, dari karyawan tetap itu didepak, diganti sama (buruh dari) outsourcing,” tutur Meti.  Meti pun berharap agar melalui aksi ini, keluh kesah buruh dapat didengar pemerintah dan segala bentuk sistem yang merugikan buruh dapat dihapus.

Tuntutan buruh perempuan ini selaras dengan hasil kajian Women Study Center (WSC) UIN SGD Bandung. Salah satu pengurus WSC, M menjelaskan bahwa cuti haid dan cuti hamil seharusnya disamakan dengan cuti yang diberikan kepada buruh laki-laki yang sakit. Selain itu, WSC mengungkapkan permasalahan lain yang belum mendapat tindakan tegas, seperti kekerasan seksual dan upah yang rendah karena pekerjaan perempuan sering dianggap bukan pekerjaan profesional.

Lebih lanjut M mengatakan bagaimana peran mahasiswa dan masyarakat dalam menyikapi ketidakadilan dan ketidaksetaraan hak di tempat kerja. “Cara menyikapi hal seperti ini adalah dengan kita terlibat, terlibat dalam aksi-aksi seperti ini, menunjukkan setidaknya kita mengetahui dulu ada permasalahan apa di tempat kerja, dari situ kita dapat memikirkan langkah selanjutnya, “ tutup M.

Reporter: Dandy Muhammad Hanif/Magang dan Hanifah Flora Reine/Magang.

Redaktur: Zidny Ilma/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas