SUAKAONLINE.COM, — Persoalan sosial di Kota Dongala dan Kabupaten Minahasa Utara menjadi sorotan utama dalam diskusi bedah buku Kota-Kota Sulawesi, Disentralisasi, Pembangunan dan Kewarganegaraan yang disusun The Interseksi Foundation.
Diskusi yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sosiologi, Rabu (27/4/2016) di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN SGD Bandung ini mengundang dua anggota The Interseksi Foundation Riefky Bagas Pratomo dan Hilma Safitri.
Riefky mengatakan pembuatan buku ini berdasarkan riset yang dikerjakan selama tiga bulan untuk menemukan masalah-masalah di Indonesia Timur khususnya Sulawesi. Buku ini juga diharapkan menjadi dongkrak pembangkit gairah mahasiwa untuk meneliti daerah yang tertinggal di Indonesia Timur lainnya.
Dongala pada abad ke-18 menjadi kota pelabuhan dan pemerintah kolonial Belanda. Kota ini dijadikan transit untuk mengamankan Manado-Makassar.
“Kemorosotan pelabuhan Dongala terjadi ketika pemindahan pelabuhan utama dari Dongala ke Pantola,” ujar Riefky. Namun kini tak ada aktifitas ekonomi, serta kondisi pelabuhan yang tak terawat seakan tak membuktikan Dongala sebagai kota niaga.
Disana pun, katanya fasilitas pelayanan masyarakat sangat minim. “Jumlah sekolah negeri di Kecamatan-kecamatan Dongala belum merata,” tambahnya. Dongala juga menempati peringkat kedua terendah dari 11 Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah dengan masyarakat buta huruf terbanyak.
Minimnya layanan kesehatan seperti Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) pun menjadi masalah sosial serius.
Hilma juga mengkritisi insdustri perkebunan kelapa di Kabupaten Minahasa Utara. Menurutnya produksi minyak kelapa sawit yang dibutuhkan masyarakat Indonesia berasal dari Kabupaten Minahasa Utara.
Sebelum berdirinya Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) tahun 1998, perkebunan itu menjadi lahan semai rupiah utama penduduk sekitar. Namun, “Masyarakat banyak yang ditarik ke Manado dan Bitung untuk bekerja di pabrik minyak bukan lagi perkebunan,” ujarnya. Dan kini perkebunan itu sepi karena tak ada pengelolanya, baik petani atau pun pemilik kebun.
Menurut salah satu dosen Sosiologi, Muhammad Dulkiah buku tersebut bisa menjadi referensi bagi mahasiswa Sosiologi untuk menganalisis persoalan daerah tertinggal yang spesifik.
Ketua pelaksana, Gesia Nulita mengatakan dua kota tersebut memiliki banyak persoalan sosial di yang perlu dikritisi mahasiswa Sosiologi. “Karena kita masih sedikit mengetahui daerah-daerah di Indonesia dalam hal pembangunan dan SDM,” ujarnya.
Kondisi di Dongala, lanjutnya menunjukan adanya involusi tidak tersedianya layanan publik yang baik. Menurutnya dari dua daerah itu diperlukan kepedulian dari mahasiswa Sosiologi agar lebih peka terhadap masalah sosial dalam masyarakat.
Reporter: Akbar Gunawan/ Magang
Redaktur: Ridwan Alawi