SUAKAONLINE.COM – Saat matahari mulai condong ke Barat, spanduk bertuliskan “Justice for Kanjuruhan 135+” mulai dibentangkan di Tugu Kujang Kampus 1, UIN SGD Bandung, Kamis (5/10/2023). Sambil membawa pengeras suara, seorang orator dengan jaket hitam dan maskernya mulai bercerita mengenai tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 silam.
Selang beberapa menit, terdengar teriakan dari sang orator untuk melakukan pawai. Dengan perasaan semangat, lebih dari 60 peserta aksi dari berbagai jurusan melakukan perintah tersebut dengan mengelilingi UIN Bandung. “Satu tiga lima itu bukan angka, satu tiga lima itu korban jiwa” adalah sepenggal bait nyanyian yang tak hentinya diteriakkan oleh para peserta.
Langkah kaki berirama serta teriakan nyanyian para peserta aksi menjadi pusat perhatian bagi mahasiswa UIN Bandung lainnya. Semangat peserta yang tak surut, membuat pawai dilakukan dua kali. Mereka berkeliling sambil menempelkan poster keadilan untuk korban Kanjuruhan yang bergambar kejamnya aparat kepolisian.
Di tempat yang sama, saat malam mulai datang, lampu jalan sudah dinyalakan dan berkumandangnya azan magrib menjadi pertanda para peserta aksi untuk mengistirahatkan badannya. Meski sudah malam, seorang peserta aksi bernama Abdul (Bukan nama sebenarnya) masih semangat untuk memperingati satu tahun tragedi Kanjuruhan.
Menurutnya, aksi tersebut dilakukan untuk merawat kesadaran dan terus mengingat bahwa tragedi Kanjuruhan pernah terjadi tapi keadilan bagi korban belum ada sampai saat ini. “Aksi kita di sini tuh merawat ingatan, menumbuhkan kesadaran kembali, ada loh ketidakadilan yang terjadi,” kata Abdul, Kamis (5/10/2023).
Saat banyak korban berjatuhan, sakit fisik, psikis sampai kehilangan orang tersayang membuat Abdul merasa miris dengan proses pengadilan pada tragedi tragis tersebut. Hal tersebut seolah terjadi karena takdir alam dan terkesan menyalahkan pada angin saja.
Keadilan Untuk Korban Kanjuruhan
Satu tahun sudah tragedi yang merenggut 135 nyawa dan korban lainnya luka-luka di Stadion Kanjuruhan saat pertandingan sepak bola antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Gas air mata yang polisi tembakan untuk menertibkan kerusuhan, justru membuat para suporter panik, sesak, terjebak, berdesak-desak sampai terinjak-injak.
Naas, sepak bola yang seharusnya jadi ajang hiburan olahraga justru berakhir tragis. Tangis dan kekecewaan keluarga semakin bertambah saat dibebaskannya Akhmad Hadian Lukita yang pada saat tragedi Kanjuruhan menjabat sebagai Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) dengan alasan belum cukupnya berkas yang dibutuhkan untuk menjeratnya.
Tak hanya itu, dibebas vonisnya dua terdakwa polisi yaitu mantan Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang, Sidiq Ahmadi dan mantan Kepala Bagian Operasional Polres Malang, AKP Wahyu Setyo Pranoto menambah kekecewaan para keluarga korban Kanjuruhan.
Aksi yang dilakukan oleh Abdul dan kawan-kawan menjadi salah satu bentuk untuk menyuarakan keadilan bagi para korban Kanjuruhan. Selain Abdul, ada juga peserta aksi bernama Syekh (Bukan nama sebenarnya) dengan semangat yang menggebu-gebu mengutarakan mengenai tebang pilihnya penegak hukum dalam merespon tragedi Kanjuruhan.
“Untuk vonis sendiri terdapat banyak kejanggalan, seolah-olah ada peringanan terhadap para pelaku, dan para pemangku kebijakannya cenderung bebas,” ungkapnya.
Tak sampai disitu, sambil membawa press release, Syekh merasa banyak hal yang harus dievaluasi. Salah satunya kerjasama antara Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dengan pihak aparat polisi dalam hal keamanan. Karena, dalam pertandingan sepak bola untuk penanganan di lapangan, steward atau tenaga pengaman pertandingan yang harus lebih terlihat perannya bukan pihak kepolisian.
Menolak Segala Bentuk Kekerasan
Meski malam semakin larut, tidak membuat semangat peserta aksi ikut surut. Dalam peringatan satu tahun tragedi Kanjuruhan, para peserta aksi menyatakan 16 sikap diantaranya tragedi Kanjuruhan serta bersolidaritas dalam banyaknya konflik agraria yang terjadi di Indonesia, seperti Tamansari, Dago Elos, Pakel, Rempang-Galang, Bara-baraya, dan kasus agraria lainnya.
Sama seperti Kanjuruhan, konflik agraria yang Rempang juga tidak jauh dari tembakan gas air mata yang dilakukan aparat kepolisian untuk membubarkan unjuk rasa warga Pulau Rempang. Kejadian tersebut menjadi hal yang disayangkan oleh Syekh sebagai peserta aksi dan warga Indonesia. Dengan tegas, ia menolak keras segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh negara.
“Belakangan ini banyak juga berbagai kekerasan terhadap rakyat sipil, seperti di Rempang dan Dago Elos. Dari sini kita juga bersolidaritas terhadap rakyat lainnya yang ditindas serta direpresi oleh aparatur negara,” tegas Syekh kepada Suaka.
Reporter: Nia Nur Fadillah/Suaka
Redaktur: Mohamad Akmal Albari/Suaka