Oleh Muhammad Najib Zain
Eksistensi menjadi hal penting bagi hampir semua kalangan, dari mulai anak sekolah, mahasiswa, pekerja buruh, hingga pegawai kantoran. Pada dasarnya eksistensi adalah keinginan diri untuk terlihat oleh siapa saja atau ingin di pandang keberadaannya. Tidak hanya individual, suatu lembaga atau kelompok juga memiliki keinginan untuk eksis dengan tujuan yang bermacam-macam. Misalnya ingin disanjung, di elu-elukan atau hanya sekadar ingin dilihat saja.
Khusus di kalangan mahasiswa UIN SGD Bandung, eksistensi dijadikan ajang untuk memajukan dan membawa nama jurusan, fakultas atau universitas sendiri ke jenjang garis yang akan dipandang baik atau buruk melalui eksistensi tersebut. Salah satu wadah untuk mencapai hal itu adalah kegiatan rutin setiap kali pergantian semester, yaitu gelaran Liga Sepak Bola Mahasiswa antar Jurusan (LSM-AJ) yang masih di bawah naungan UKM Liga. Menjalani kompetisi dengan penuh gengsi, syarat akan emosi atau gesekan-gesekan antar kubu seakan menjadi bumbu pelengkap bagi setiap tim atau jurusan baik pemain atau pun suporter. Hal itu tentu akan melahirkan cerita, intrik, konflik atau sejarah baru.
Ingin eksis dengan membawa diri atau mewakili jurusan hingga mencapai hal yang diinginkan yaitu menjadi juara, tentunya setiap tim telah mempersiapkan segalanya untuk meraih itu. Kegiatan ini tidak hanya ramai di kalangan mahasiswa saja. Pedagang, Office Boy, Satpam, Dosen atau bahkan Rektor ikut serta membicarakan hal yang seakan sudah menjadi wajib untuk dihelat setiap tahunnya.
Memang, diawal kompetisi berjalan sedikit alot tidak lantas membawa kita ke euforia puncak, namun pada saat memasuki delapan besar atau semi final, semua orang yang saya sebutkan tadi ikut bergunjing. Banyak hal-hal yang membuat itu menarik, salah satunya adalah ketika sang juara bertahan yakni Jurusan Jurnalistik bertemu dengan Admnistrasi Publik di semi final, tensi tinggi dan adu gengsi antar supporter hingga pemain. Orang-orang berbondong-bondong – termasuk saya — pergi kelapangan untuk menyaksikan pertandingan tersebut. Belum memasuki partai final saja, tensi itu mulai panas. Apalagi ketika final yang mempertemukan juara bertahan Jurnalistik dan juara baru Manajemen. Memang, kerusuhan antar supporter tidak terjadi kala itu, tidak seperti biasanya. Namun, tidak menyurutkan semangat mereka untuk menjadi juara. Bagi Jurnalistik, menjadi juara sudah mereka dapatkan ketika tahun kemarin. Untuk Manajemen, sebagai juara baru dan mengalahkan Jurnalistik menjadi kebanggan tersendiri.
Adapun penyebab LSM-AJ ramai diperbincangkan karena mungkin inilah salah satu ajang pembuktian eksistensi. Saya mengaitkan eksistensi dengan kompetisi sepak bola karena olah raga tersebut digandrungi oleh banyak kalangan. Baik kalangan yang suka bermain atau hanya sekadar menyaksikan pertandingan saja. Khusus di kampus saya, itu menjadi semacam giroh yang muncul di setiap waktu pada jurusan atau individual masing-masing untuk mencapai eksistensi.
Begitu erat hubungan antara eksistensi dengan sepakbola, kita bisa lihat kuantitas atau kualitas yang terjadi ketika sebuah pertandingan berlangsung, ketika ada tim yang memenangkan pertandingan tersebut. Maka, eksistensi itu muncul dengan sendirinya, baik pandangan instansi tim maupun pandangan dari luar. Semisal fans club, atau orang-orang yang hanya sekadar menyaksikan. Sengaja saya membawa perihal tersebut, sebab untuk tidak membawa anda terlalu jauh mengerti atau memahami eksistensi itu sendiri. Dengan saya membawa itu, anda mengetahui bahwa ada eksistensi di suatu pertandingan sepakbola yang memang, dekat dengan kita.
Meskipun, banyak cara untuk bisa mendapatkan itu, tapi dalam sepakbola ada kehangatan dan kedekatan tersendiri bagi setiap yang terlibat di dalamnya. Baik massa, penonton, pemain atau ruang-ruang industri yang memang memanfaatkan sepakbola sebagai alat mencapai eksistensi. Seakan sepakbola menjadi wadah atau ajang, ketika eksistensi sudah tidak lagi bisa kita temukan di bilah-bilah yang lain. Di zaman yang sudah terlalu larut, bagi segelintir orang kelompok atau lembaga, eksistensi menjadi penting untuk menopang setidaknya menunjang kinerja kehidupan-kehidupan yang mereka jalani untuk hari-hari depan.
Mengambil gagasan atau teori seorang pemikir, ”cogito ergo sum.” yang artinya, aku berpikir maka aku ada—Rene Descartes. Kita bisa mengaca bahwa dengan berpikir, eksistensi kita terlihat atau setidaknya di akui keberadaan kita sebagai sesama makhluknya. Lantas bagaimana menurut anda? Apakah penting eksistensi di masa kini? Itu hanya gambaran kecil yang saya ceritakan atau yang terjadi di zaman ini, bukan hanya mengajak atau merenungkan atau hanya sekadar ingin di baca saja, lebih dari itu, saya selaku yang bercerita ingin membuka mata anda lebih, bila memandang sesuatu tidak hanya satu sisi saja. Sebab, tidak ada suatu masalah yang tidak kompleks, artinya dengan memandang permasalahan dengan pelbagai sudut pandang, kita bisa mengatur atau mempertimbangkan masalah tersebut dengan lebih ringan.
Konglusi yang saya dapati dari permasalahan eksistensi di masa kini adalah bagaimana kita mencapai itu tidak hanya mengejar tetapi kita bisa belajar dari usaha ketika ingin mencapai itu, saya membebaskan silahkan saja anda pilih atau menempatkan posisi anda di “hanya eksistensi semata” atau “belajar dari usaha dan pengalaman”.
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Hadits Fakultas Ushuluddin Semester 5