Fokus

Belum Cukup Terorganisir, Pendirian Satgas PPKS Kembali Ditunda

Ilustrasi foto oleh Nia Nur Fadillah/Suaka

Oleh: Ighna Karimah Nurnajah

SUAKAONLINE.COM – Sepuluh bulan usai penetapan SK Rektor No. 1225 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), komitmen kampus mengenai pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PPKS masih menuai tanda tanya. Rektor UIN SGD Bandung, Rosihon Anwar dalam Sosialisasi SK Rektor yang diselenggarakan pada Selasa (7/11/2023) lalu menyebutkan bahwa Satgas PPKS akan disahkan sebelum 20 November 2023, tetapi hingga kini formasinya belum kunjung terbentuk.

Persoalan melesetnya perkiraan Rektor terhadap pengesahan Satgas PPKS, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Irma Riyani mengatakan bahwa pembentukan Satgas PPKS bisa saja terlaksana dengan cepat apabila hanya formalitas semata. Akan tetapi, pihaknya perlu menata secara lebih hati-hati agar penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus dapat berjalan dengan baik.

“Sebetulnya itu tadi kalau ibu sih, mungkin dalam seratus hari itu bisa saja membentuk Satgas, kalau cuma untuk de facto atau formalitas aja oke enggak ada kendala. Cuman kalau ibu itu harus carefull plot ya, dibuat dengan hati-hati. Mungkin itu tidak tercapai bukan karena kesalahan pak rektor, tapi juga karena dari ibu sendiri belum dan kelembagaan PSGA juga baru dibentuk,” jelas Irma ketika ditemui di ruangannya, Rabu (27/03/2024).

Salah satu mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum, Sara Santika menyebutkan bahwa pendirian Satgas PPKS merupakan suatu hal yang mendesak. “Kampus UIN SGD belum sepenuhnya aman dari kekerasan seksual, baik verbal maupun non-verbal. Pemahaman adil gender belum menyebar sepenuhnya. Namun banyak korban yang belum berani untuk speak up karena minimnya perlindungan,” keluhnya melalui pesan WhatsApp, Jumat (17/5/2024).

Sementara itu, kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus hingga kini tidak kunjung mereda. Menurut data yang dimuat dalam akun Instagram bilikpengaduan_wsc, menunjukkan bahwa pihak Bilik Pengaduan menerima laporan kekerasan seksual sebanyak 22 kasus dengan fokus yang berbeda-beda pada tahun 2023.

Tarik ulur pengesahan Satgas PPKS tampaknya bukanlah cara yang bijak dalam merespon melambungnya angka kekerasan seksual yang ada di lingkungan kampus. SK Rektor sendiri yang digadang-gadang menjadi solusi untuk menekan angka tersebut, nyatanya belum cukup rinci untuk dijadikan acuan dalam pendirian Satgas PPKS.

Tumpang Tindih Regulasi PPKS

Minimnya pembahasan Satgas PPKS dalam SK Rektor, membuat dasar acuan pendirian Satgas PPKS perlu ditarik ke lingkup Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam (Kepdirjen Pendis) No. 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).

Persoalan hadir kembali ketika Kepdirjen Pendis No. 5494 mengalami revisi pada Maret 2024 menjadi Kepdirjen Pendis No. 1143 Tahun 2024. Sebelum direvisi, keputusan tersebut hanya berbentuk pedoman, kemudian diperbaharui menjadi petunjuk teknis yang lebih detail dari aturan sebelumnya.

Sayangnya, SK Rektor yang berlaku saat ini masih mengacu pada Kepdirjen Pendis tahun 2019 yang belum memiliki kebaharuan ketika revisi regulasi dalam lingkup Pendis telah ditempuh. Menanggapi persoalan itu, Irma secara tegas menyerukan penolakan terhadap revisi SK Rektor yang sudah ada. Akan tetapi, apabila terdapat kerancuan yang tidak termuat dalam SK Rektor, maka akan mengacu pada Kepdirjen Pendis yang baru.

“Proses revisi dan sebagainya itu juga butuh waktu. Saya enggak mau, pokoknya kalau saya gini, ini peraturan sudah ada. Itu jadi payung hukum kita. Jadi, sekarang sudah capek otak-otik revisi. Selama itu tidak substansial, pokoknya kita ikutin. Karena nanti ada pembanding lainnya dari Kepdirjen. Kalau ini ada kekurangan, ya sudah, kita menuju ke Kepdirjen. Jadi, dua itu jadi patokan kita nanti dalam implementasi,” jawabnya.

Salah satu pembaharuan aturan yang termuat dalam Kepdirjen Pendis yang baru ialah mengenai bagaimana hierarkis pengorganisasian Satgas PPKS tersusun. Urutan teratas diduduki oleh rektor selaku pengarah. Disusul oleh Warek I sebagai koordinator. Lalu yang berperan menjadi penanggung jawab ialah Ketua PSGA.

Komposisi Keanggotaan Satgas PPKS

Mengacu pada Kepdirjen Pendis No. 1143 Tahun 2024, keanggotaan Satgas paling sedikit berjumlah tujuh orang yang tersusun dari Pimpinan PTKI, Kepala PSGA, perwakilan pimpinan fakultas, dosen dan tenaga kependidikan, serta perwakilan dari mahasiswa. Anggota Satgas akan memiliki masa tugas selama dua tahun tepat setelah dilantik.

Mengenai keanggotaan Satgas PPKS, Irma selaku penanggung jawab menetapkan tiga kriteria awal untuk turut berpartisipasi dalam keanggotaan. Pertama, calon anggota hendaknya sudah memiliki perspektif gender yang baik. Kedua, memiliki komitmen yang kuat dalam proses penanganan. Ketiga, memiliki pengalaman dalam mengadvokasi kasus kekerasan seksual.

Menurut Irma, kriteria tersebut ia tetapkan untuk mengantisipasi perpecahan secara internal karena keanggotaan yang kurang kompeten dalam penanganan kasus. “Nanti jangan sampai kemudian jadi backfire (membuat perpecahan –red) gitu. Maksudnya ketika ada kasus-kasus itu, kalau dia tidak punya perspektif, belum selesai, susah dong,” tuturnya.

Hingga saat ini, pihaknya belum melakukan konsultasi kepada pimpinan mengenai proses rekrutmen yang akan digunakannnya. Tetapi, Irma berencana akan melakukan proses rekrutmen secara tertutup untuk menyeleksi dan menunjuk beberapa orang yang sekiranya telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkannya.

Sama halnya dengan pernyataan Irma, Wakil Rektor (Warek) I UIN SGD Bandung, Dadan Rusmana menyebutkan bahwa ia akan menyerahkan sepenuhnya kepada rektor mengenai masalah komposisi keanggotaan Satgas PPKS. Meskipun pihak birokrat turut mengisi keanggotaan Satgas, ia menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melakukan intervensi.

“Sekali lagi, nanti sekalipun misalnya keterwakilan dari struktural, itu sesuai dengan koridor dan job description yang sudah disepakati. Tentunya tidak akan mengintervensi,” tegasnya ketika diwawancari Suaka di ruangannya, Senin (25/03/2024).

Kejelasan Anggaran Satgas PPKS

Persoalan pendanaan Satgas PPKS menjadi penting untuk diperhatikan ketika maraknya pemberitaan di kampus lain yang Satgas PPKS-nya perlu berhenti karena tidak memiliki pendanaan yang cukup untuk mengadvokasi kasus. Salah satunya seperti yang terjadi di Universitas Indonesia (UI).

Melalui akun Instagramnya Satgas PPKS UI resmi mengundurkan diri pada 1 April 2024 lalu. Beberapa alasannya ialah karena rumitnya prosedur birokrasi dan administrasi bagi Satgas PPKS. Bahkan ketika menangani kasus, anggota Satgas PPKS UI perlu mengeluarkan dana pribadi untuk menjamin kondusivitas pelayanan yang diberikan terhadap pelapor.

Berkaca dari Satgas PPKS UI, masalah pendanaan bagi pendirian Satgas PPKS UIN SGD Bandung belum terproyeksi dengan jelas. Pasalnya, Satgas PPKS tidak memiliki alokasi anggaran khusus, sehingga mengharuskan mengambil dana yang telah dianggarkan untuk kegiatan lain. Adapaun di UIN Bandung sendiri, Dadan Rusmana mengaku bahwa saat ini kampus tengah menghadapi keterbatasan dalam keuangan.

Mengenai anggaran bagi PSGA, Dadan menyebutkan bahwa keterjaminan akan selalu ada. “Ya keterjaminan kalau disebut ada. Tapi sebagai Satgas-nya memang belum ada hal yang bisa menjadi dasar bagi kita untuk menetapkan dalam konteks, misalnya langsung honor. Mungkin nanti jika itu sudah bisa dirumuskan,” jelasnya.

Menurut keterangan Irma, masalah pendanaan telah termuat dalam aturannya, yaitu sebesar 5-10 persen dari dana penelitian Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Ia juga menyebutkan mengenai pendanaan bagi PSGA tengah proses pengajuan. “Penambahan dana PSGA juga sedang dalam pengajuan, dan intinya dari pak rektor membuka peluang penambahan tersebut karena gender merupakan program prioritas,” jelas Irma melalui pesan WhatsApp, Senin (29/04/2024).

Tak hanya masalah administrasi dan pendanaan yang perlu diperhatikan, hal kerja sama dengan pihak lain di luar Satgas PPKS juga harus dilakukan guna memaksimalkan fungsi dari Satgas itu sendiri. Melihat pula dari pengalaman Satgas PPKS UI yang mengalami pemutusan kerja sama dengan Fakultas Psikologi UI yang seharusnya menyediakan pelatihan dan pelayanan konseling bagi saksi, korban, dan terlapor. Namun, Fakultas Psikologi UI tidak bisa lagi menyediakan persoalan tersebut dengan alasan yang tidak disebutkan.

Jaringan Kerja Sama Belum Terbentuk

Pada pelaksanaannya, pendirian Satgas PPKS tentu membutuhkan pihak lain untuk membantu proses terciptanya lingkungan kampus yang aman dan terbebas dari kekerasan seksual. Irma menyebutkan bahwa saat ini progres jejaring kerja sama Satgas PPKS telah terjalin cukup luas.

Terkait pelayanan psikologis korban, PSGA akan melibatkan Unit Layanan Psikologi (ULP) UIN SGD Bandung. Untuk bantuan hukum, PSGA menyebutkan telah berkoordinasi dengan Ketua Lembaga Bantuan dan Konsultasi Hukum (LBKH) yang berada di bawah Fakultas Syariah dan Hukum (Syarkum) UIN SGD Bandung. Kebutuhan psikoterapi akan melibatkan Syifaul Qulub dari Prodi Tasawuf Psikoterapi.

“Dan ibu secara institusi, maksudnya bukan pribadi, secara institusi PSGA, meminta kesediaan LBKH. Kemudian, kemarin itu juga ada dari Syifaul Qulub, ya. Kebutuhan Psikoterapi, kemudian dari ULP, membantu (psikologis korban –red),” ujarnya.

Guna mengetahui sejauh mana jaringan kerja sama antara PSGA dengan pihak-pihak yang telah disebutkan, Suaka meminta keterangan dari LBKH sebagai perwakilan dari pihak yang akan terlibat dalam proses advokasi Satgas PPKS. Ketua LBKH, Taufik Alamsyah mengaku bahwa pihaknya belum mendapat koordinasi lebih lanjut mengenai penempatan LBKH dalam pendirian Satgas PPKS akan seperti apa.

“Belum ada, baru saya ikut pertemuan satu kali aja itu waktu sosialisasi mau rencana pembentuk Satgas, tapi belum ada tindak lanjutnya,” ungkapnya, Senin (1/4/2024).

Ketika diminta keterangan mengenai kesiapan LBKH untuk terlibat, Taufik menyebutkan bahwa ia akan melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan pihak dekanat dan rektorat. “Nah kalaupun nanti mau terlibat dalam beberapa program di rektorat ya, artinya kan para pimpinan dekanatnya itu harus ada kombinasi. Kami mah hanya menjalankan amanat aja gitu. Jadi saya belum bisa memutuskan,” sambungnya.

Adapun mengenai posisi Bilik Pengaduan pasca Satgas PPKS telah ditetapkan, Ketua Bilik Pengaduan, Matahari Yonagie menyebutkan bahwa eksistensi Bilik Pengaduan dan juga Satgas PPKS akan berjalan masing-masing. Tetapi untuk saat ini, Bilik Pengaduan juga turut dilibatkan dalam kegiatan Satgas PPKS, yaitu sebagai focal point (fokus area) kekerasan seksual.

“Kalo masalah eksistensi BP tidak diperlukan, rasanya enggak akan mungkin. Sejauh ini WSC jadi UKM pemberi ruang aman di kampus. Grassroot yang ngerti mahasiswa ya karena kita juga mahasiswa sih, jadi selagi ada yang membutuhkan BP ya kita sangat terbuka untuk terlibat,” ungkapnya melalui pesan WhatsApp, Senin (25/03/2024).

Sejauh ini, Matahari menyebutkan bahwa pihaknya memang telah dilibatkan dalam pendirian Satgas. Namun, dirinya teramat menyayangkan dalam konteks pembentukan Satgas PPKS yang seharusnya melibatkan banyak pihak, tapi nyatanya minim sekali dosen laki-laki yang turut berkecimpung di dalamnya.

Minimnya Keterlibatan Laki-laki

Cita-cita membentuk kampus yang ramah gender harus dihadapkan dengan satu persoalan fundamental, yaitu minimnya partisipasi laki-laki. Hal tersebut tercermin dari ragam agenda yang diselenggarakan PSGA, seperti sosialiasi, workshop dan lainnya yang selalu didominasi oleh perempuan.

Mengatasi hal tersebut, pihak PSGA telah melakukan berbagai upaya seperti mengundang Wadek II dan III seluruh fakultas dalam sosialisasi SK Rektor. Menurut Irma, alasannya mengundang kedua pemangku jabatan tersebut selain karena kepentingan, juga karena kedua jabatan tersebut kebanyakan diisi oleh laki-laki. Namun disayangkan, mayoritas diantaranya justru tidak memenuhi undangan dengan beberapa alasan.

“Sementara kita enggak bisa nih, ketika perempuannya sudah well informed terkait dengan gender, tapi kalau laki-lakinya tidak mau ikut terlibat dan tidak paham tentang ini, ya betul tadi, akan susah untuk membuka peluang bagi perempuan. Memang problem kita itu laki-laki tidak mau turut serta dalam proses awareness raising itu. Itu merupakan tantangan yang kita cermati bersama,” ujarnya.

Pada kepemimpinan Rosihon Anwar, komposisi jabatan setiap fakultas memang mayoritas diisi oleh laki-laki. Untuk Dekan sendiri, dari sembilan fakultas, hanya ada dua orang perempuan yang menjabat. Untuk posisi jabatan yang disebutkan Irma, yaitu Wakil Dekan II hanya satu orang yang berjenis kelamin perempuan. Adapun Wakil Dekan III seluruhnya berjenis kelamin laki-laki.

Terkait masalah ini, Dadan juga menyadari bahwa keterlibatan laki-laki masih menjadi tantangan besar dalam pendirian Satgas PPKS. “Ya, dalam beberapa hal memang keterlibatan laki-laki itu memang minim ya. Tapi saya tidak ingin berkilah tentang itu, itu adalah bagian dari tantangannya,” ucapnya.

Mewakili pimpinan, Dadan menyampaikan harapannya untuk pembentukan Satgas ini agar selalu mengutamakan keadilan dan kesetaraan dalam rangkaian prosesnya. Ia juga berharap kehadiran Satgas PPKS ke depannya akan membawa dampak baik bagi UIN SGD Bandung.

“Dan tentu yang kita akan lakukan secepatnya adalah meyakinkan bahwa Satgas itu terbentuk sesuai dengan kualifikasi dan pekerjaan atau jenis pekerjaan yang dibutuhkan dalam posisinya. Kemudian bisa bekerja secara baik dan mampu menghasilkan kebijakan dan kebijaksanaan. Yang tentunya akan membawa dampak positif terhadap perbaikan proses atau sistem yang ada di UIN Bandung,” tutupnya.

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas