Oleh Diah Diah Pujiawati*
Hujan sejak petang tadi lama mengguyur permukaan bumi, seolah menghapus sisa langkah-langkah jejak kehidupan manusia yang mengarungi aktivitas padat dari pagi. Malam sudah menempati posisinya yang tinggi menyisakan gerimis tiada henti dan mengukuhkan udara dingin berkepanjangan yang membuat siapa saja tak ingin beranjak dari selimut dan tempat tidur. Hiruk pikuk ibu kota seolah membisu seketika dan yang terdengar hanya tiga sampai lima kendaraan yang beberapa kali bergantian melewati daerah pemukiman rumah susun yang berjejer rapi sepanjang pinggiran Jakarta. Celoteh seorang satpam bersama bapak-bapak yang sekedar ikut nimbrung minum kopi di pos kecil yang dibuat warga terdengar nyaring diseling tawa mereka yang renyah mengikuti alur opera van java yang menggelitik perut mereka.
Senda gurau yang nyaris membuat gaduh seantero rumah susun itu ternyata tak membuat seorang gadis yang tinggal di lantai tiga menghentikan aktivitas kecilnya yang sejak dua jam lalu menahannya duduk di depan meja dengan sebuah buku dan pena. Hari itu ada banyak hal terjadi dan tak mampu menahannya untuk segera mengenangnya dengan goresan tinta dalam diary. Seragam SMA-nya yang putih bersih, tadi pagi berubah warna-warni dengan banyak coretan tanda tangan diseluruh permukaan seragamnya yang menjelma bak pelangi. Seragam itu kini tergantung rapi di sudut kamarnya seperti pajangan yang memberi nuansa terindah bagi dirinya sendiri.
Sesekali gadis berlesung pipi itu berhenti sejenak sambil tersenyum mengingat yang dilaluinya sepanjang hari tadi. Bersama ketiga puluh dua temannya yang lain, gadis yang akrab disapa Abel itu merayakan kelulusan mereka disepanjang jalan kota Jakarta. Mereka berlari-berlari riang sambil bersorak gembira membawa cat spray yang saling mereka semprotkan keseragam dan memberi sentuhan tanda tangan disemua sisi sambil saling melontar celoteh sana-sini hingga tak ayal ada beberapa polisi yang mengikuti kegiatan mereka untuk mencegah tindakan anarkis yang dikhawatirkan terjadi karena banyaknya contoh diberbagai belahan kota lain yang mengalami kejadian serupa hingga tawuran antar pelajar pun tak terhindarkan lagi. Tindakan mereka itu juga sudah mengganggu aktivitas jalan raya hingga terjadi kemacetan yang membuat para polisi lalu lintas bekerja ekstra. Namun kejadian yang terjadi dihadapan mereka tak menyurutkan luapan kebahagiaan atas kelulusan yang mereka terima, hasil jerih payah selama tiga tahun lamanya.
Abel teringat ketika Widi membubuhkan tanda tangan dilengan bajunya. Abel tersenyum lirih melihat teman tercantiknya itu yang beberapa hari sebelum pengumuman kelulusan telah diterima disalah satu perguruan tinggi bergengsi di Bandung. Sebelumnya pernah ada kenangan lucu bersama Widi ketika mereka berkaroke ria dan berjingkrak-jingkrakan di atas springbed Widi yang super elastis hingga akhirnya mereka berdua terpental jatuh ke lantai dan menyisakan benjolan kecil di kening Abel juga baretan di sikut Widi. Mereka malah tertawa-tawa sebentar setelah akhirnya mereka merintih sampai mengeluarkan air mata menahan sakit yang tak terkira. Kejadian itu membuat mereka terkurung dirumah masing-masing selama tiga hari dan membungkam kenangan itu di hati mereka berdua karena bila tersebar luas di kelas, mereka bisa saja jadi maskot tertawaan sepanjang ingatan.
Abel tersenyum sendiri mengingat kejadian yang menurutnya super lucu itu. Tatapan Abel beralih pada tiga kawannya yang paling eksentrik di kelas. Mereka adalah Regi, Syeikha, dan Lala. ketiganya memproklamasikan diri sebagai genk master lexen black yang hanya mereka sendiri yang tau artinya. Mereka bertiga sedang berangkulan sambil tertawa lepas menikmati sisa-sisa kebersamaan yang ada, karena Regi, pemimpin genk kaya raya itu, sudah harus meninggalkan nusantara karena berhasil masuk ke universitas Stanford di Amerika. Sementara Syeikha dan Lala, masing-masing berhasil menembus SMPTN di perguruan tinggi swasta di Malang dan Samarinda. Walaupun ketiganya sering menyulitkan Abel di sekolah, terutama kasus hilangnya peluit kebanggaan pak Huda, guru olahraga mereka yang terkenal dengan kedisiplinan waktunya, hingga akhirnya telah menjadikan Abel sebagai tersangka utama. Vonis berdiri di tengah lapangan bercuaca terik pun diterima Abel selama tiga jam penuh karena terbukti peluit pak Huda ditemukan di ranselnya, walaupun pada akhirnya ditemukan pelaku sebenarnya yaitu Regi, Syeikha dan Lala. Mereka berdalih hanya ingin menjahili Abel yang selalu mendapat nilai tertinggi dipelajaran olahraga dan disinyalir menjadi siswi kebanggaan pak Huda sehingga kecemburuan pun timbul di hati mereka. Walau Abel sempat pingsan setelah masa eksekusi, namun dengan berbesar hati ia memaafkan ketiga temannya yang memang selalu mencari sensasi, meskipun ketiganya tak lepas dari hukuman pak Huda untuk membersihkan kamar mandi selama satu minggu menggantikan tugas penjaga sekolah, pak Budi.
Teriakan membahana teman-temannya yang seolah menembus jagat raya, menyadarkan Abel dari lamunan sejenaknya.
“Hei jangan melamun saja. Sini!” Husna, sahabat karibnya mengambil spidol dari tangan Abel dan mencari tempat kosong diseragamnya untuk ditanda tangani dengan sedikit gambar anekdot lucu disamping coretannya.
“Tak bisakah kamu tak menjadikan seragamku lahan lukismu?” Tanya Abel yang membuat Husna tertawa tertahan, “Kebiasaan, kawan. Maaf.” Celetuk Husna sambil memamerkan deretan giginya yang rapi. Gantian Abel yang menandatangani kerudung Husna yang sudah warna-warni dan memberikan gambar karikatur lucu berwajah dirinya dengan rambutnya yang selalu terkuncir dan senyuman lebar dengan gigi sebelah kanan atasnya yang sudah tanggal sejak kelas satu SMA.
“Hei, hei, hei…jangan mendadak menjadi pelukis handal ya, aku bisa dapat saingan berat nih,” celoteh Husna dan sontak Abel pun dibuatnya kembali tertawa.
Husna adalah sahabat terbaik yang pernah Abel miliki. Ia satu-satunya siswi berkerudung di kelas dan aktif dikeanggotaan rohis di SMA-nya. Husna selalu ada ketika Abel membutuhkan teman untuk berbagi suka dan duka. Husna selalu berdiri paling depan ketika Abel dijahili genk Regi ataupun siswa-siswa yang suka usil padanya. Husna sangat pintar menggambar dan sudah banyak tropi yang diraihnya dari keahliannya melukis sehingga sangat membanggakan bagi pihak sekolah tentunya. Sayang, karena keterbatasan ekonomi, Husna tak mampu melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Dia akan pulang ke kota kelahirannya, Purwokerto, dan menetap disana bersama keluarga besar lainnya. Abel pernah menangis sesunggukan mendengar Husna akan pergi jauh dari Jakarta dan perpisahan masa SMA seolah akan menghentikan kisah yang ada diantara mereka berdua. Maka tak heran ketika meninggalkan tanda di kerudung Husna, Abel kembali menitikan air mata. Setelah itu mereka berpelukan bersama diikuti semua teman-temannya hingga haru biru ungu masa abu-abu menyeruak begitu saja dan membuncah dari tawa kemenangan menjadi tangis perpisahan.
Pena biru itu tejatuh dari sela jari Abel, ketika jam sudah hampir menunjukan angka sebelas. Gerimis masih menguasai malam dan sudah tak terdengar lagi celoteh bapak-bapak rumah susun di pos penjaga dan pastinya mereka sudah mendengkur di kamar tidur masing-masing dengan selimut atau sarung yang mereka punya. Mendadak kesunyian melanda Isabel bersama dinding-dinding kamarnya yang ikut membisu. Setetes air mata jatuh mengenai diary-nya. Betapa siang tadi dia mampu merasakan perasaan duka pada ketiga gadis kaya yang menangis tersedu-sedu diantara mereka karena akan mengalami perpisahan yang luar biasa, sehingga untuk pertama kalinya, siang tadi mereka bertiga memeluk Abel dan kembali menangis dalam pelukannya. Abel ikut terisak dan menangis bersama mereka bertiga. Sedang Husna tersenyum haru melihat peristiwa itu. Widi dan kedelapan belas teman perempuan lainnya turut
memeluk mereka, begitu pula para siswa lelaki yang saling memberikan rangkulan sehingga mereka tampak seperti gundukan warna-warni di pinggir jalan raya dan di bawah lazuardi.
Dari sudut matanya yang berkaca-kaca, Abel melihat Dafi tersenyum padanya. Cowok keturunan Indo-Swedia itu mempunyai posisi terindah di hati Abel. Selalu ada kisah mendebarkan dengan lelaki beralis tipis itu. Pernah seringkali Abel melontarkan pandangan kagum pada Dafi yang selalu serba bisa dalam setiap bidang olahraga. Bahkan mereka sering dipasangkan oleh pak Huda ketika dalam kelasnya, sehingga tak jarang mereka menjadi buah bibir teman-temannya. Ada satu kejadian yang begitu berkesan dihati Abel bersama Dafi, Yaitu ketika mereka secara kebetulan mendapat tugas kelompok biologi yang dipilih berdasarkan kertas yang dikocok oleh wali kelas mereka, ibu Aulia. Mereka sepakat mengerjakan tugas di halaman sisi sekolah di bawah rindang Akasia. Disana terdapat lima buah kursi kayu yang memang didesain sebagai tempat berteduh para siswa.
“Mengapa temanya harus mawar?” tanya Abel pada Dafi.
“Karena aku suka bunga. Makanya ku pilih tema tanaman itu. Memangnya kamu tidak suka bunga?” Dafi balik bertanya.
“Aku suka bunga. Hanya saja mawar terlalu anggun dan elegan untuk dijadikan landasan penelitian kita dalam memahami ketegaran tanaman ketika mempertahankan hidup mereka tanpa campur tangan manusia.”
“Benarkah?” Dafi tertarik mendengar jawaban Abel.
“Ya. Mawar melambangkan cinta. Maka seperti cinta itu sendiri, mawar akan mati bila manusia mengabaikannya. Mawar tidak akan tumbuh tanpa sentuhan tangan manusia. Mawar akan tumbuh dan merekah indah ketika mendapat sentuhan kasih dari yang merawatnya. Bukankah cinta juga begitu?”
“Begitukah? Lalu bunga apa yang menurutmu masuk kedalam kriteria penelitian kita?” Dafi semakin tertarik mendengarkan penjelasan Abel.
“Ilalang,” jawab Abel.
Dafi terkejut mendengar jawaban Abel, “Ilalang? Rumput liar itu?”
“Kamu tau mengapa dia disebut rumput liar?”
Dafi menggeleng.
“Karena dia bunga paling tegar meskipun hanya berdiri di pematang sawah. Hanya dia rumput yang sanggup mempertahankan hidupnya meski tak ada manusia yang mau menjamahnya. Aku suka ilalang karena tanaman itu mampu hidup dimana saja yang ia mau. Cukup angin, hujan dan matahari yang menjadi teman setianya setiap hari, selama hidupnya masih belum terhenti.” Abel menjelaskan panjang lebar dan sadar bahwa Dafi tak berkedip menatapnya kagum. Gadis itu langsung menundukan wajahnya yang tersipu.
“Aku baru tau bahwa nilai rumput liar yang rendah itu bisa begitu tinggi. Aku tertarik untuk mempelajarinya lebih dalam. Bagaimana jika kita ambil tema itu?” tanya Dafi. Abel mengangkat wajahnya yang masih merona, lantas mengangguk setuju.
“Bagus sekali Abel. Aku yakin penelitian bersamamu ini akan seru.” Dengan senyum secerah mentarinya yang selalu memikat hati Abel, Kenangan di bawah Akasia yang berguguran itu menyisakan memori tak terlupakan sepanjang hidupnya. Meski sampai saat ini Abel tak tau bagaimana perasaan Dafi terhadapnya, namun Abel cukup puas hanya dengan mencintainya. Abel tak terlalu ambil pusing dengan apa yang akan terjadi dengan kisah selanjutnya antara dirinya dan Dafi. Dia cukup percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik baginya nanti. Itulah yang selalu dikatakan Husna padanya setiap hari tanpa henti.
Abel menutup buku diary-nya dan merebahkan kepalanya diatas meja. Sampai saat tadi, sepuluh jam yang lalu ketika masa penghabisan pertemuan itu, ketika Dafi berpamitan padanya untuk melanjutkan kuliah dinegeri asal ibunya, Swedia, Abel tak hentinya merenungkan diri. Meski ia tak berharap lebih dari kisah yang dilaluinya bersama Dafi, namun kesedihan yang dideritanya tak terbendung juga. Sepanjang perjalanan pulang usai berpawai ria bersama teman-temannya, Abel sesunggukan dalam taksi. Hari ini adalah hari besar baginya hingga ayahnya merelakan uang lebih untuknya menggunakan jasa taksi agar ia segera sampai di rumah susunnya yang sederhana dan memberikan berita gembira kepada seluruh keluarga tentang kelulusannya. Ayahnya sedang sangat baik padanya akhir-akhir ini karena seminggu sebelumnya datang surat yang ditujukan kepada alamat rumah susunnya yang menyatakan bahwa putrinya, Isabel Anindita, berhasil mendapat beasiswa penuh untuk mencicipi bangku kuliah disebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta.
Dan kini, dipenghujung hari yang akan berganti dengan yang baru, Abel masih belum bisa merapatkan matanya yang sembab. Setelah banyak yang terlewati pada masa abu-abu, Abel tak pernah peduli dengan perpisahan yang pada akhirnya kini telah terjadi. Ia hanya mencoba menjalani hidup yang indah bersama teman-temannya dan merangkai kenangan sebanyak-sebanyaknya untuk kemudian selalu ia rekam dalam diary sebelum ia beranjak tidur sampai pagi yang akan memberikannya kenangan baru lagi. Perpisahan SMA ini bukan hanya memisahkan ruang waktu dengan teman-temannya, namun juga perpisahan dengan masa remajanya yang akan segera berganti dengan romansa kehidupan dewasa yang indah.
Maka seperti nasihat Husna, Abel percaya bahwa teman tak bisa dipisahkan walau dengan jurang sedalam lautan. Mereka akan terkenang dalam separuh memori hidup Isabel dan takan berdebu dimakan waktu. Meski hari ini menguras energi karena menangis hingga sisa-sisa air matanya mengering di sekitar pelupuk mata, akhirnya Abel bisa terpejam juga dan tertidur untuk menantikan hari dengan kisah yang baru, dalam perjalanan baru dihidupnya esok hari. Lalu teman-temannya, seperti Regi, Syeikha, Lala, Husna, Widi bahkan Dafi, takan bisa terganti meski dihari-hari selanjutnya akan lebih banyak wajah baru yang Abel temui.
Bersama sisa-sisa gerimis yang perlahan menyingkir pergi, ufuk Timur akan segera merekah memberikan cahaya hangat di hari yang biru ungu seindah aurora di tengah gurun sahara. Jam dinding terdengar berdetak hidup menina-bobokan Isabel yang terlelap tidur dalam pangkuan angin penghabisan penghujung musim hujan. Dan semi yang indah menantinya di gerbang masa depan…
Mahasiswi Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Bahasa dan Sastra Arab ‘10