Buletin

Buletin Momentum Edisi Mei 2003

Buletin Momentum Edisi Mei 2003

Editorial

Hepatitis Inul

momentum-edisi-2003Besar atau kecil sindrom Inul pasti ada di kampus ini; IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Klaim ini bukanlah tanpa alasan, mengingat Inul hanyalah anak bawang dangdut yang baru kemarin sore naik panggung asional. Ketimbang Haji Roma Irama misalnya, Inul bukanlah apa-apa. Namun karena blow-up media, maka kami menganggap kliam ini menjadi sahih adanya.

Gencarnya porsi Ainul Rohimah, nama asli Inul Daratista pada lembaran media beberapa pekan belakangan ini telah menjadi fenomena tersendiri pada masyarakat Indonesia. Sindrom ini tentu tak hanya berkisar di pusaran ranah keluarga, tapi justru telah melebar ke berbagai ruang publik.  Salah satu ruang dari sekian ruang yang telah terisi wabah goyang ngebor Inul itu adalah kampus. Kampus yang selama ini dikenal sebagai wilayah ilmiah akademis juga ikut-ikutan “latah” membicarakn Inul.

Bukti konkrit dari kelatahan itu adalah tulisan Morflich Hasbullah yang kami angkat pada suplemen buletin Momentum kali ini. Mengapa harus Moeflich? Di samping karena institusi agama, kami menganggap pendapat Moeflich lebih mewakili sebagian besar sivitas akademika IAIN. Karena biasanya “orang-orang beragama” suraranya relatif sehaluan dengan Moeflich.

Ini tentu tidak bermaksud menutupi suara pro Inul. Ini hanya semacam pembanding dari suara dominan yang mengelus-elus bijir Inul yang di boom- kan media-media besar. Jika harus berapologi dengan dalih demokrasi, pendapat ini tidaklah salah, bahkan layak dihargai. Karena suara-suara semacam Moeflich cenderung dikalahkan oleh gerusan kapitalisme global yang dikemas dalam bentuk seni dan hiburan. Memasuki paruh awal tahun 2003 ini, Inul tak ubahnya hepatitis yang menjengkel-kan sekaligus menggairahkan benak masyarakat Indonesia.

Namun di Momentum edisi kali ini, Inul tidaklah sendirian. Ia ditemani bola. Bola yang kami maksudkan adalah olah raga sepak bola yang kini tengah dilaksanakan Liga, salah satu unit kegiatan mahasiswa di bawah Keluarga Besar Mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (KBMI). Bahkan di sini Inul tidak menjadi faktor utama, ia hanya penambah saja. Bisa juga hanya sekadar mempercantik pemberitaan tentang bola yang tak kalah gemerlap ketimbang teluhan goyang ngebor Inul. Sekali lagi, Inul ini hanya sisipan saja.

Tingginya responsibilas mahasiswa IAIN terhadap olah raga sepak bola membuat kami berpikir; ada apa dengan mahasiswa IAIN ? mungkinkah mereka tidak suka Inul? Atau jangan-jangan – karena saking banyaknya inul-inul di IAIN – membuat mereka menjadi ter-biasa? Wallahu wa mahasiswa a’lam [Redaksi]

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas