Kampusiana

Dema-F Adab dan Humaniora Gelar Diskusi Publik Kebudayaan

Wahyu Iryana (kanan) sedang memaparkan diskusi dalam acara Diskusi Publik Kebudayaan di Aula Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Selasa (28/11/2017). Ia memaparkan tiga konsep dari ajaran Sunan Gunung Djati yang membahas hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam atau lingkungan.  (Laura Hilmi/ Suaka).

SUAKAONLINE.COM, – Dilatarbelakangi oleh pesatnya arus globalisasi yang mengakibatkan tergerusnya kebudayaan lokal, Dewan Mahasiswa (Dema) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN SGD Bandung menyelenggarakan diskusi publik kebudayaan bertajuk  ‘Nilai-Nilai Khazanah Kearifan Lokal Masyarakat Jawa Barat’ yang berlangsung di Aula FAH Lantai 4, Selasa (28/11/2017).

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Pelaksana, Rival Muttaqin. Menurutnya, tema ini diambil bertujuan untuk membuka wawasan mahasiswa khususnya mahasiswa FAH sekaligus menumbuhkan kesadaran akan cinta kebudayaan daerah, khususnya Jawa Barat. “Diharapkan mahasiswa lebih mencintai kearifan budaya daerah,” tambah Rival.

Menurut Penulis Buku ‘Historiografi Barat’ Wahyu Iryana, masyarakat kekinian yang melek teknologi harus belajar kepada masyarakat adat yang memegang kearifan lokal. Proses yang dapat dilakukan, melalui pendidikan kritis. Pendidikan kritis tersebut menurutnya, tidak hanya didapat dari bangku formal, melainkan juga dapat berbentuk diskusi non formal.

Wahyu menambahkan, banyak anggapan bahwa masyarakat yang menjunjung nilai kearifan lokal daerahnya sering dianggap sebagai masyarakat yang ketinggalan zaman. Padahal, justru masyarakat tersebutlah yang menjunjung kelestarian alam. Wahyu memberikan konsep dari ajaran Sunan Gunung Djati yang membahas hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam atau lingkungan. Ketiga hal tersebut harus berjalan seimbang agar tercipta nilai-nilai agung untuk keberlangsungan hidup.

“Dimana kita berada, nilai-nilai adat terkait pranata sosial masyarakat harus dijunjung tinggi. Seperti mitos atau pamali, itu perlu untuk menjaga alam,” ungkap Wahyu yang juga menjabat sebagai Dosen FAH tersebut.

Senada dengan Wahyu, Master of Divinity from Asia United Theological University South Korea, Sukamto menyampaikan, kearifan lokal berkaitan dengan budaya. Menurutnya, saat ini terjadi perang budaya. Dimana budaya luar lebih mendominasi daripada budaya lokal. Hal tersebut juga bisa dilihat dari kalangan muda yang lebih cinta budaya dari luar daripada melestarikan budaya sendiri.

“Seharusnya kita menampilkan ciri khas, membungkus budaya lokal sedemikian rupa agar mempunyai nilai sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal,” tutur Sukamto.

Menurut Sukamto, langkah awal yang harus dilakukan mahasiswa yaitu mencintai budaya lokal itu sendiri terutama budaya Jawa Barat. Untuk mencintai, maka harus mengetahui dengan mengenali budaya. Selanjutnya, mampu mempublikasikan budaya daerah melalui media dengan menggunakan bahasa nasional dan bahasa internasional, “Bisa juga dengan memanfaatkan nilai-nilai lokal yang dikolaborasikan dengan budaya modern,” pungkasnya.

 

Reporter : Laura Hilmi

Redaktur : Hasna Salma

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas