Oleh Femi Fauziah
Berdiskusi dengan malaikat pencabut nyawa. Matanya tajam merah, tubuh tegap tanpa ramah. Dia membawa mandat dari Tuhan. Raga di pojok kamar. “Apakah ada surat resmi?” Tanyaku gemetar. “Takdirmu sudah datang” Izrail menggeram tajam. Mengapa tanpa aba-aba sebelumnya, aku marah dengan Tuhan. Kesalahanku masih melebihi gunung Himalaya, terakhir di kikis mungkin enam bulan yang lalu, itu pun kalau tak salah.
Meronta-ronta ketakutan, terhakimi oleh diri sendiri, tuntut kenyataan agar jauh dari nafas berbau maut. Menoreh pada jam dinding sejenak. Belum saatya aku terbangun, masih lima jam kemudian. Ini adalah mimpi paling buruk. “bukan” hentak mata merahnya, aku semakin terpuruk oleh sesal.
Bukankah Tuhan ijinkan tawar menawar?? Ingin ku bungkus dulu gumpalan amal, ku lipat tumpukan hidup yang kusut, kemudian sedikit ku kemas kebaikan zaman dulu sekedar untuk cemilan saat tersiksa kelak.
Apa tidak ada jalan untuk bertemu Tuhan selain mati?? Dan pertanyaan paling bodoh yang Izrail dengar, dahinya mengkerut, kemudian hitung detik demi detik. Dag, dig, dug…ini menyakitkan, dinding kamar turut gugup hingga menyempit sesak.
“Waktumu tiba”, aku semakin menggigil, sakit gigi kemudian sariawan. Wahai mahluk seram, beri waktu satu jam lagi, kalau pun tidak lima menit saja. Hanya untuk meminta maaf pada ayah bunda, esok pagi mereka menungguku sarapan di meja makan. Atau meminta maaf pada terkasih, malam minggu depan aku berjanji kencan dengannya. Atau meminta maaf pada kerabat. Atau meminta maaf pada…, atau meminta maaf pada…, atau meminta maaf pada…., pada semuanya. Aku meremas kepala, rambut hitam ini seketika rontok, bibir memucat. Ingin ku cekik tangan kanan Tuhan yang bertugas putuskan nafas.
Mengapa engkau tidak datang satu minggu lalu, kemudian katakan padaku bahwa hari ini akan terjadi….nampaknya aku akan siap!!! “semua sudah terlambat, hidupmu adalah utuk mati. Kata itu menghantar mautku.[]
* Penulis adalah mahasiswa Jurnalistik UIN SGD Bandung semester VI