
Ketua Forum Dewan Guru Besar Indonesia (FDGBI), Koentjoro beserta rombongan berfoto bersama dengan Rektro dan jajaaran Senat UIN SGD Bandung setelah menjalani acara silaturahmi dan diskusi di Aula Gedung Rektorat, Selasa (19/2/2019). Dok Pribadi
SUAKAONLINE.COM – “Gadjah Mada itu dalam sejarah nusantara, meskipun ada sedikit masalah dengan Pasundan, itu adalah pemersatu bangsa. Berangkat dari situlah kami menginginkan agar guru-guru besar di Indonesia itu bersatu padu,” ujar ketua Forum Dewan Guru Besar Indonesia (FDGBI), Koentjoro dalam acara silaturahmi Forum Dewan Guru Besar Indonesia sekaligus silaturahmi dengan Senat UIN SGD Bandung di Aula Gedung Rektorat, Selasa (19/2/2019).
Koentjoro menjelaskan, bahwa saat ini ada dua jenis organisasi kegurubesaran. Yang pertama adalah organisasi yang berbasis individu. Contohnya seperti Persatuan Guru Besar Indonesia (Pergubi), Asosiasi Profesor Indonesia (API), dan Asosiasi Dosen Indonesia (ADI). Dan yang kedua adalah organisasi yang berbasis institusi. Jadi anggota didalamnya mewakili institusi. “Ada dua contohnya, yaitu yang pertama adalah Forum Dewan Guru Besar Indonesia (FDGBI) Lalu yang kedua adalah Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Badan Hukum (MDGB-PTNBH).” jelasnya.
Menurut Koentjoro, peran Dewan Guru Besar ini memiliki fungsi yang salah satunya adalah memberikan masukan-masukan terhadap isu general di negara ini. Seperti ketika terjadi perang dagang antara Cina dan Amerika yang berdampak pada melemahnya Rupiah. Untuk itu Dewan Guru Besar menghadirkan pakar dan kemudian berdiskusi untuk mencari solusi dipihak manakah seharusnya Indonesia berpihak.
Lebih jauh, ia juga memahami adanya ketimpangan Pendidikan di Indonesia. Karena itu, pada Rapat Kerja Nasional II 2019 yang diadakan di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Januari lalu, Dewan Guru Besar mengusulkan agar adanya pemerataan Pendidikan di Indonesia. “Ketika kongres kedua di Aceh, kami mengusulkan untuk adanya pemerataan Pendidikan. Pemerataan bukan hanya pada professor, dosen saja, bukan. Tapi pada temdik juga,” ungkapnya.
Adapun kegiatan yang telah dilakukan oleh FDGBI seperti menjalani study banding ke Jepang. Yang disana mereka mendapati sebuah universitas di Osaka memiliki sebuah program yang bernama Future Generation. Atas dasar itulah, kemudian pihaknya memberikan saran kepada pusat studi Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk mendirikan Pusat Studi Wanita, Anak, dan Keluarga yang nantinya juga membahas persoalan generasi kedepannya.
Koentjoro juga bercerita bagaimana dinamika di UGM. Saat ini UGM telah memiliki 325 guru besar. Tidak hanya itu, sebagai usaha menjaga Dewan Guru Besar, karyawan, dan dosen, UGM memberikan hadiah ulang tahun berupa pengecekan kesehatan khusus. “Adapun bagi dosen yang berusia 40 tahun keatas difasilitasi treadmill untuk mengetahui gejala kelainan jantung sehingga treatment-nya dilakukan lebih awal,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Rektor UIN SGD Bandung, Mahmud mengatakan, bahwa UIN masih butuh waktu untuk mencapai seperti UGM. Ia melihat kondisi UGM yang memiliki 325 Guru Besar jauh sekali dengan kondisi UIN yang hanya memiliki 36 Guru Besar. Namun, dilain hal ia juga bersyukur. Lantaran di tahun yang lalu UIN SGD Bandung mendapatkan tambahan Guru Besar berjumlah enam orang. Menurut Mahmud saat ini pihaknya ada ikhtiar tambahan dalam rangka mempercepat guru besar yaitu dengan membentuk tim advokasi yang segala sesuatunya difasilitasi universitas.
“Cuma kesulitan di kami banyak dosen-dosen agama, indeks scopus jurnalnya pun relatif terbatas. Kalau yang prodi umum itu rata-rata bisa cepat, sedangkan prodi agama ini memang biasanya agak lambat. Karena memang jurnal yang internasionalnya itu amat sangat terbatas. Karena itu kami harapkan dari forum dewan guru besar ini bisa memberikan solusi terhadap guru-guru besar prodi agama, agar setidaknya mendapatkan ruang yang sama. Kan di UIN itu lebih banyak calon-calon guru besar agamanya ketimbang guru besar dari prodi umum.” pungkasnya.
Reporter: Awla Rajul/Magang
Redaktur: Harisul Amal