Aspirasi

GBHN, Batasi Keterlibatan Rakyat

Suaka Online

Oleh: Dede Lukman Hakim*

Era Presiden Soekarno dan Soeharto, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dianggap sebagai pernyataan kehendak rakyat. GBHN itu dirumuskan secara garis besar oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan dibuat untuk kepentingan rakyat yang berlandaskan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Kondisi rakyat pada masa itu belum lama merdeka, sehingga dirasa perlu seorang pemimpin yang kuat untuk menuntun rakyat dan negara menuju pembangunan yang menyejahterakan.

Pembangunan yang menjadi target dalam GBHN pada saat itu diantaranya pada aspek Hukum, pertahanan dan keamanan, politik, ekonomi, sosial, agama, dan pendidikan, menjadi pusat perhatian pemerintah. Hal itu dikarenakan aspek-aspek tersebut menjadi santer pemberangusan pada masa penjajahan.

Diberlakukannya GBHN menjadikan MPR ke posisi sentral tertinggi sebagai penyelenggara negara dengan sistem pemerintahan parlementer. MPR bertugas memilih Presiden beserta wakilnya dan menyusun GBHN. Artinya pemilihan presiden dan wakilnya tidak akan dilaksanakan secara demokratis melibatkan rakyat, masyarakat terpaksa menerima keputusan MPR tanpa ada ruang untuk menyampaikan persepsi kepada calon presiden dan wakilnya.

Sementara itu, presiden dan wakilnya adalah sebagai eksekutor yang bertanggung jawab kepada MPR. Tugas presiden dan wakilnya selain menetapkan perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan Perpu juga sebagai pelaksana GBHN. Jika sistem itu diterapkan Akan bertolak belakang dengan kondisi rakyat masa kini yang mandiri dan tidak lagi bergantung pada pemerintah, lebih kritis dan ikut terlibat dalam menentukan kebijakan pemerintah.

Pada dasarnya keterlibatan rakyat atau partisipasi politik sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan publik yang dibuat untuk mengatur rakyat. Keterlibatan rakyat dalam pemerintahan sama halnya dalam membentuk sebuah negara. J. J. Rousseau mengatakan bahwa negara dibentuk atas dasar kemauan rakyat. Negara diposisikan sebagai oganisasi berkewajiban mewujudkan cita-cita atau kemauan rakyat yang dirumuskan dalam bentuk undang-undang. Dalam hal ini yang ditekankan adalah kebebasan dan persamaan.

Sistem pemerintahan yang tidak melibatkan rakyat secara langsung menjadi tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah nomor 101 Tahun 2000. Dalam PP itu disebutkan bahwa pemerintah yang baik adalah pemerintah yang mengembangkan dan menerapkan prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisien, efektivitas, supremasi hukum dan dapat diterima seluruh masyarakat.

Melihat kondisi sistem pemerintahan yang kini berjalan yang memposisikan MPR sejajar dengan presiden dan wakilnya, DPR, DPD, MA, MK dan BPK, kemudian rakyat ikut terlibat dalam menentukan kebijakan publik, dirasa tidak tepat GBHN diterapkan. Kecuali bila GBHN itu diterapkan tanpa mengubah posisi MPR, dan tetap melibatkan rakyat dalam menentukan kebijakan publik.

*Penulis adalah Kepala Pengembangan dan Penelitian (Litbang) LPM Suaka 2015-2016

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas