Cerpen

Gempa

Oleh Anan Suryana*

Putaran roda sepedaku berkilat-kilat memantulkan terik siang itu. Badanku kuyup terhujani panas matahari. Peluh-peluh semakin ramai melintasi kening, memantul-mantulkan cahaya terang dari kulit legamku. Nafasku tersengal. Hanya panas, suara angin dan decitan sepeda reyot saja yang menemani perjalananku siang itu.

Laju sepedaku, begitu cekatan melintasi jalanan aspal hotmix yang beringsut menjadi jalanan berbatu kala memasuki perkampungan tempat tinggalku. Jalanan rusak tak pernah benar-benar menjadi halangan bagiku untuk terus menggenjot sepedaku. Sepeda yang telah berumur lebih tua dari umurku.

Suasana hening, dibuai oleh decitan sepeda. Kali ini, tampaknya awan berbelas kasihan padaku, ia berarak-arak memenuhi  langit, sesaat melindungi penghuni bumi dari terik matahari. Angin tak mau kalah, ia bertubi-tubi mencumbu wajahku, membelai rambutku. Suasana ini, membawaku pada lamunan tak karuan.

Hingga..

“Tiiiid..!!” Suara itu benar-benar memecah lamunanku.

“Duluan ya Anto!”

Tiba-tiba saja, aku merasa sebongkah es batu raksasa telah menabrak jantungku. Mataku terus mengekor mengikuti Wisnu dan sepeda motor barunya yang terus melaju, hingga menghilang dari pandangan di ujung jalan.

***

Kali ini, Wisnu dan sepeda motornya benar-benar telah mengganggu pikiranku. Bayangan mereka merangsek memenuhi otakku. Bagaimana bisa Mbok-nya memberi sepeda motor pada Wisnu? Wisnu dan aku sama-sama anak yatim, kami sama miskinnya. Tapi mengapa ia bisa memiliki sepeda motor dan aku masih terus berkutat dengan sepeda bututku?

Kulihat dari selasar jendela kamarku,  simbok sedang sibuk menginjak-injak kacang kedelai untuk dijadikan tempe benguk. Hanya itu satu-satunya keahlian simbok. Setidaknya, dari tempe benguk, simbok masih bisa menyekolahkanku dan Yanti. Tapi…argh! Lagi-lagi bayangan Wisnu dan motornya mengklakson pikiranku! Seandainya simbok bukan penjual tempe benguk, seandainya simbok menyanggupi tawaran Pak Lek Samidi untuk pergi ke Saudi, mungkin saat ini aku sudah bisa lepas dari sepeda bututku.

Akhirnya aku  memberanikan diri meminta pada simbok.

“Mbok..”

“Opo Lek? Nek arep duit, mbok ndak punya..” Jawab simbok sembari tetap fokus pada pekerjaannya. Ucapan mbok tadi benar-benar membuatku bimbang. Mana mungkin dengan penghasilan 10 ribu perhari simbok sanggup memberikanku sepeda motor? Tapi, aku tetap harus meminta, ini hakku, kurasa tak berlebihan jika aku hanya meminta sebuah sepeda motor. Toh, selama ini aku tak pernah meminta macam-macam pada simbok.

“Anu mbok, iku.. anu..aku iku..” Rupanya ucapanku masih tersendat dikerongkongan.

“Ojo guyon to Lek, jangan bercanda, simbok sedang repot ni..” Ujar simbok.

“Anu mbok, aku njaluk montor..!! (Aku minta motor),” Jantungku berderap cepat sesaat setelah mengutarakan keinginanku. Simbok tak berekspresi sama sekali. Jangan-jangan, selama ini simbok menyimpan warisan dari bapak. Jangan-jangan ia akan mengabulkan keinginanku. Jangan-jangan dari gulungan jarik-nya ia akan mengeluarkan segepok uang. Jangan-jangan..,

“Ngomong opo to lek? Ngomong apa kamu ini? Aku ra ndue duit.. Simbok enggak punya uang..”

Jawaban yang sebenarnya telah aku ketahui, jawaban yang menegaskan bahwa aku memang anak miskin. Tapi mengapa simbok benar-benar tak mau berusaha lebih keras untuk mengabulkan keinginanku? Kali ini, untuk pertama kalinya aku berontak.

“Simbok egois! Kenapa simbok ndak usaha pinjem uang buat membelikanku motor? Kenapa simbok ndak mau pergi ke Saudi? Aku menyesal jadi anakmu mbok!!” Ujarku dalam satu nafas.

Simbok terbelalak, kata-katanya tak bersuara, suaranya lenyap. Lesap. Matanya mulai basah, air mata yang mengalir mengikuti kerut wajah tua simbok. Aku tau aku salah, aku dapat merasakan hancurnya perasaan simbok. Tapi aku ingin memberikan pelajaran bagi simbok. Aku harus egois agar keinginanku terkabul. Yanti yang terkejut melihat sikapku, langsung menangis dan melemparkan apapun yang ada di sekitarnya. Adik kecilku, maafkan masmu. Ujarku dalam hati.

Sepanjang malam, aku terus berdiam dalam kamar. Aku mulai menyesal, simbok tak henti-hentinya meratapi ucapanku tadi siang. Ia tampak begitu terpukul dan frustasi. Tapi aku tak boleh kalah. Aku tak akan meminta maaf secepat itu. Aku akan meminta maaf besok sore saja. Lamat-lamat pandanganku menghilang tertelan kesadaranku sendiri. Aku tertidur.

***

Aku tersentak dari tidurku oleh satu guncangan dahsyat. Aku melihat lampu kamarku bergoyang begitu cepat. Aku langsung beranjak cepat dari kamarku. Ini Gempa. Aku harus segera mencari tempat aman. Simbok dan Yanti masih berada di kamar. Segera kubangunkan mereka dan ku papah untuk berlari. Dari tatapan matanya, aku tau bahwa simbok masih menyimpan satu kepedihan yang tak tergambarkan. Aku berjanji akan segera meminta maaf begitu keadaan membaik. Begitu Gempa ini reda.

Semua orang tampak panik. Jeritan saling sahut menyahut. Kematian ada dimana-mana. Aku tak akan membiarkan simbok dan Yanti mati. Ku papah mereka menuju tanah lapang. Hingga tak sadar sebuah pohon tumbang ke arah kami. Dan…

Aku tak percaya, akan kehilangan Yanti dan Simbok secepat ini. Kini aku sebatang kara, aku menyesal telah membuat simbok sedih dan terpuruk begitu hebat. Semua ini begitu cepat. Bahkan aku belum meminta maaf pada simbok. Hatiku tersayat, ketika tau simbok dan Yanti terkulai lemas. Gempa mulai reda, tim evakuasi mulai bermunculan, dan simbok tetap terkulai lemas, ia terus terkulai lemas melihat jenazahku dievakuasi dari reruntuhan pohon. []

_____________

*Penulis Adalah Mahasiswa UIN Bandung. Aktif Dalam Komunitas Literatur and Philosofi (Liphi).

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas