Kolom

Kebanggaan yang Salah Sasaran

Ilustrasi oleh Nurul Fajri/SUAKA

Oleh Tasya Augustiya*

Liburan semester genap kali ini, penulis lebih banyak melakukan kegiatan dengan berselancar pada jejaring media sosial, salah satunya Youtube. Ditemani dengan kue nastar sisa lebaran, layar handphone tengah memutar beberapa vlog mengenai traveling dengan harapan mendapatkan destinasi liburan yang murah meriah.

Setelah beberapa vlog yang tengah asik ditonton oleh penulis, tibalah pada satu vlog milik youtuber dari Barat. Youtuber tersebut tengah menunjukkan perjalanan wisatanya di Indonesia. Namun, perhatian penulis tertuju pada beberapa komentar yang menarik untuk dicermati. Ketertarikan penulis tertuju pada beberapa komentar yang ternyata dituliskan oleh akun milik orang Indonesia dengan bahasa asing.

“Wow! Amazing, that’s my country.. thank you for visiting Indonesia.”

“Wow! You’re very beautiful… I’m proud to be Indonesian”, dan beragam komentar bangga lainnya dari warga negera ber-flower ini.

Jadi teringat  fenomena beberapa tahun lalu, Obama yang ternyata pernah menghabiskan masa kecilnya di Menteng. Lalu akhirnya Obama berkunjung ke Indonesia dan memakan makanan kesukaannya, yaitu Sate. Anehnya, warganet sibuk berbangga diri terhadap hal tersebut

Hey you know that Obama lived in Jakarta, Indonesia?” atau “Obama likes Sate, Bakso! I’m proud to be Indonesian, .” Begitu kiranya komentar warganet ber-flower dalam video Youtube pidato Obama ketika di White House.

Bukan hanya itu, kebanggaan orang Indonesia akan sate dan bakso yang dimakan orang Barat juga terjadi pada rujak dan asinan yang dijual di Sydney oleh Nick Molodysky. Lantas bagaimana dengan burger, ayam bertepung atau kentang goreng di rumah makan cepat saji yang menjadi santapan sehari-hari kita? Apakah orang Amerika bangga makanannya dikonsumsi setiap hari oleh orang Indonesia? Justru, Amerika sendiri menjadikan makanan tersebut sebagai junk food atau makanan sampah.

Melihat fenomena tersebut, penulis miris, mengapa Indonesia bangga ketika berkaitan dengan dunia Barat? Sampai-sampai, orang Indonesia lebih bangga ketika menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia.

Berbicara bahasa, kasus lainnya juga bisa kita temukan pada film Minions (2014) dimana terdapat beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang terselip pada dialog antar-minion. Makhluk kuning lonjong lucu bermata satu itu beberapa kali menyebut kata “terima kasih” atau “masalah”. Indonesia mendadak ikut berbangga juga.

Belum lagi ketika Joe Taslim ikut berperan di film Fast and Furious 6 sambil mengucapkan dialog “Hantam mereka!”, atau ketika trio The Raid (Iko Uwais, Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman) ikut meramaikan film Star Wars: The Force Awakens dan muncul beberapa menit. Bukannya bangga karena kemampuan aktor-aktor ini yang menjadikan mereka layak bermain di Box Office, Indonesia malah bangga karena bangsa superior macam Amerika Serikat dan Hollywood-nya tertarik untuk mengajak aktor-aktor Indonesia sebagai pride suatu bangsa.

Lalu sebenarnya apa yang terjadi dengan Indonesia? Kondisi apa yang tengah menyerang masyarakat Indonesia ini?

Indonesia dengan Inferiority Complex Akut

Bertahun-tahun dijajah bangsa asing dan mengimpor kebudayaan dari pedagang asing yang masuk ke Indonesia mungkin telah membuat bangsa kita merasa inferior. Kita merasa kecil di bawah dominasi peradaban-peradaban besar, seperti Eropa,  Amerika, China, India, atau Arab (tidak identik dengan Islam) yang telah ratusan tahun mengakar di kehidupan masyarakat asli Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kompensasi atau pemujaan berlebih terhadap dunia Barat.

Dilihat dari kondisinya, menurut teori Psikologi Individual Adler keadaan ini disebut dengan Inferiority Complex Syndrome. Alfred Adler dalam bukunya Study of Organ Inferiority and Its Physical Compensation (1907),  Inferiority Complex adalah sebuah kondisi psikologis (tingkat alam bawah sadar), ketika suatu pihak merasa inferior/lemah/lebih rendah dibanding pihak lain, atau ketika ia merasa tidak mencukupi suatu standar dalam sebuah sistem. Kondisi kejiwaan ini biasanya berujung kepada kompensasi/pemujaan yang berlebihan pada suatu pencapaian atau tendensi untuk mencari pengakuan/apresiasi dari suatu pihak.

Kompensasi ini perlu kita garis bawahi karena sesuai sekali dengan respon-respon bangga karena domplengan prestasi orang lain untuk nilai jual Indonesia. Hingga kebanggaan yang salah tempat tersebut membuat Indonesia saat ini begitu terlihat norak.

Mengutip perkataan Imam Mawardi pada tulisannya di inilah.com, “Fanatik itu boleh, tapi jangan fanatik buta, bukan fanatik bodoh”. Jika Self-confidence kita rendah, bukan menggemborkan prestasi orang lain agar ikut pamor, tapi juga dengan memiliki motivasi untuk superior. Indonesia sebenarnya bisa setara dengan bangsa-bangsa superior jika kita menumbuhkan kesadaran untuk percaya diri dan striving for superiority.

Dari studinya pada kecacatan jasmani dan kompensasinya, Adler mulai melihat bahwa setiap individu sebagai seseorang yang memiliki perasaan inferior. Setiap individu memiliki perasaan inferior baik itu dia sadari ataupun tidak dan karena hal itu setiap individu akan berusaha untuk mencapai superioritas melalui striving for superiority. Inferioritas merupakan perasaan yang muncul akibat adanya kekurangan psikologis atau sosial yang dirasakan secara subjektif maupun akibat kelemahan atau cacat yang nyata.

Sesungguhnya, jika dikaji lebih dalam Inferiority Complex ini ada di taraf alam bawah sadar. Maka jikalau masalah ini tak segera disadari, maka makin hari orang Indonesia akan merasa makin minder dan merasa makin inferior. Lantas apa yang bisa kita lakukan?

Era industri 4.0 juga menuju Indonesia emas 2045 merupakan tantangan berat bagi bangsa kita jika terus memelihara luka jajahan melalui sikap inferiority complex ini, maka membalikan Superiority menjadi PR utama pemuda Indonesia, dimana masa depan ada di tangan mereka; Ah. maksudnya ada di tangan Kita.

Belajar dari Bapak Pembangunan Malaysia, Mahathir Mohamad.

Berbicara Inferiority Complex dalam konteks bernegara, ini erat kaitannya dengan Inferioritas seorang individu sebagai warga negara. Mahathir, seorang mantan Perdana Menteri sekaligus Bapak Pembangunan Malaysia dapat kita contoh melalui kisahnya pada masa Sabbatical.

Dalam teropong psikologi, Mahathir Mohamad pernah berada pada fase inferiority complex. Bagaimana tidak, kala itu Mahathir hanyalah seorang yang terlahir dari keluarga keturunan India yang serba pas-pasan.Terlebih lagi pada masa itu pengaruh kolonial Inggris masih sangat kental. Sehingga, hanya warga keturunan raja atau “penjajah” yang dapat hidup makmur. Tak berbeda jauh dengan realita di Indonesia pada zaman kolonial Belanda.

Kegagalannya akan cita-cita berkuliah Hukum di Inggris tak membuat ia jatuh dalam waktu lama, Mahathir bangkit ber-striving for superiority dan akhirnya bisa meraih beasiswa di Singapura Jurusan Kedokteran. Ia berkuliah dengan prestasi cemerlang, selain dalam akademik ia juga aktif berorganisasi dan pemikirannya kerap terbit di harian berpengaruh sekelas The Strait Times kala itu. Mewujudkan perannya sebagai mahasiswa dengan tepat ini juga sejatinya harus kita contoh untuk mencapai superioritas.

Setelah lulus, Mahathir menjadi Dokter sekaligus pemuda yang amat menginspirasi. Terjun ke dunia politik demi mengangkat marwah kaum melayu agar tidak menjadi budak di negeri sendiri hingga akhirnya 22 tahun lamanya Mahathir menjadi Perdana Menteri dan dijuluki Bapak Pembangunan karena telah berhasil menjadikan Malaysia negara yang disegani.

Melihat itu, fenomena pemuda Indonesia yang seolah acuh dan menganggap berorganisasi dan aktif kerelawanan adalah buang-buang waktu jelas menjadi penghambat untuk maju. Satu kutipan yang penulis ingat dari Mahathir Mohamad adalah “fight harder, shout louder & build bigger”.

Untuk mewujudkan visi yang luhur kita harus berani untuk berjuang lebih keras, bersuara lebih lantang dan membangun sesuatu yang lebih besar dari orang kebanyakan. Pun kita harus berani bersikap, berpikiran, dan bertindak layaknya Maverick

Hai anak muda, masih betah dalam keadaan sakit?

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Psikologi semester 5 dan merupakan  Koordinator Riset Data dan Informasi LPM SUAKA Periode 2019

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas