‘Suruk mulai muncul, beberapa menit lagi matahari memperlihatkan keberaniannya. Antara pikiran, bacaan dan pertanyaan berkerubung menjadi satu dan mempermasalahkan kemeja hitam yang rapih dan bersih’.
Suruk mulai muncul, beberapa menit lagi matahari memperlihatkan keberaniannya. Pagi ini Juki duduk di kursi hitam bersandarkan kain lapuk. Disebelah tangannya terpasang siku-siku yang tidak terlalu sempit dan cukup untuk menyimpan tangan. Seolah raja yang tak memiliki tahta dengan hanya satu kursi dan satu penyandar, begitu Juki melamunkan hidupnya. Tergeletak diatas kursi beberapa buku tulis dan bacaan.
Juki tidak tahu kenapa dia duduk di kursi ini, mungkin karena hal ini sudah menjadi kebiasaan setiap hari untuk mengisi waktu luang hidupnya, juga menghindari. Menghindari dari suruhan orang tua dirumah, menghindari ajakan teman-teman dan menghindari anggapan masyarakat bahwa ia tidak cukup disebut bodoh. Terkecuali hari sabtu dan minggu, karena kedua hari itu merupakan hari libur.
Berangkat dari rumah tidak terlalu pagi. ”Burung belibis belum terbang ke barat,” itu yang selalu diingat Juki sebelum dia bangun dari tidurnya. Ketika pagi datang, Juki tak sempat menghirup aroma suci dari Alam. Dia masih terlelap disebuah kamar yang sudah bau dan pengap.
Jam delapan dan sembilan adalah jam yang sudah menjadi kawan yang mesra bagi Juki. Untuk dapat bangun dari tempat tidur, Juki harus menantikan kawannya itu memanggil dengan mesra “Jam 8..Bangun sayang,” tak lain dari jam beker kesayangannya.
Pagi ini, masih jam 6. Fajar sudah mengepakan sayap kuningnya. Jarang-jarang Juki membukakan kelopak mata. Apakah dia bermaksud bangun dari tempat tidurnya?.
Ternyata bukan, Dia Cuma melihat atap kamarnya sambil mengeluarkan kalimat “Terlalu shaleh untuk ku bangun sepagi ini”. Dan dia memutuskan untuk tidur kembali dan bangun bersama kawan mesranya nanti.
Ada hal yang aneh pada tidur kali ini. Juki merasakan mimpi yang tidak pernah dialami sebelumnya. Saat semua awan berarak dari timur ke barat, ada satu awan yang menuju kearah lain. Tepatnya awan satu ini menuju ke utara, inilah yang dingat Juki dari mimpinya semalam.
Mimpi ketika tidur seringkali dianggap tidak nyata. Juki tidak tahu menahu tentang nyata dan tidak nyata. Walau pernah membaca beberapa buku tentang mimpi serta tafsirnya yang sering ia temukan diperpustakaan tempat ia bersekolah, Juki bukan orang yang segampang itu mempercayainya.
Teringat suatu pagi, belum matang namun cukup manis untuk dicicipi. “Indah juga pagi ini, ‘pikirnya. Lebih indah jika dipakai untuk jalan-jalan di tengah kota. Tidak tahu apa maksud dari jalan-jalannya, Juki merencanakan untuk bangun pagi kali ini.
Tanpa di katakana aneh dan jarang-jarang bangun pagi, Juki langsung beranjak dari tempat tidur. Keluar kamar dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Sebelum menyentuhkan tangannya pada air yang sudah terisi penuh dalam Bak, Juki melihat-lihat telapak tangannya. Kenapa saya harus mencuci muka setelah bangun dari tidur?.Oh,mungkin untuk mengembalikan kembali kesadarannya seperti sebelumnya, jawab Juki dengan lirih namun semangat untuk menyentuh air. “Tapi kenapa harus dengan cuci muka? Tidak dengan cara yang lain, seperti berteriak atau mencabut bulu kaki, pikirnya kembali.
Sejenak Juki berdiam diri dengan bersandar pada bak mandi. Juki belum juga mencuci muka dan harus memikirkan pertanyaan yang keluar dari pikirannya. Masih dalam suasana diam, keluar lagi pertanyaan “Kenapa pula dengan air?tidak dengan tanah, daun ataupun benda yang lain.
Juki belum juga mencuci muka. Hanya melamunkan beberapa pertanyaan yang sudah tiga kali keluar dari mulutnya.
Suruk hampir menjelma menjadi matahari. Dengan berani sang matahari memperlihatkan sinar tanda berkuasanya. Tak ada yang tidak mengetahui siapa matahari, seluruh alam menghormati dan tidak mau ambil masalah dengannya. Terkecuali Juki, tidak peduli terhadap matahari dan keberaniannya. Dia hanya peduli terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba muncul pagi ini.
Seperti di hantam banjir musiman dan angin beliung pada musim hujan, Juki agak tersentak “Kenapa saya harus mempertanyakan hal-hal seperti ini?. Semua ini sudah menjadi kebiasaan. Bangun, cuci muka dan air itu sudah menjadi panorama hidup manusia. Kenapa harus di pertanyakan kembali, kali ini Juki agak geram.
Tujan saya di pagi ini hanya satu, ingin jalan-jalan ke kota. Saya ingin masuk kamar mandi dan mencuci muka dengan air yang sudah ada di bak mandi kenapa juga harus di pertanyakan dan mencari jawaban, pikir Juki.
Akhirnya Juki memutuskan untuk mengakhiri lamunan ini dan menyingkirkan pertanyaan yang dipikirkannya. Waktu jalan-jalan saya akan tersita bahkan tidak jadi. Padahal saya sudah mau berkorban pada kawan mesra untuk tidak bangun bersamanya.
Tanpa harus ditegaskan kembali, Juki langsung mengambil air dan mencuci muka yang sudah terlambat sadar.
Lima menit menjadi saksi waktu bagi Juki untuk mencuci muka dan menuju kembali ke kamarnya. Pakaian yang sebelumnya di persiapkan, yaitu kemeja hitam yang telah dibelinya lima tahun kebelakang hendak dipakainya kembali. Dua hari sebelumnya, sengaja Juki mengambil kemeja lamanya itu untuk di bersihkan dan dirapikan dan sekarang merupakan waktu yang cocok untuk memakainya kembali.
“Kenapa saya harus mengganti baju segala?,Tiba-tiba pikiran Juki tertuju pada kaos warna putih yang sedang dipakainya. Padahal kaos ini merupakan teman tidur yang sering membawa ku mengalami mimpi-mimpi indah.
“Mungkin suatu kewajaran kalau harus mengganti kaos putih ini dengan kemeja yang rapi itu, jawabnya sambil memandang kemeja yang berada dihadapannya, karena bermaksud untuk jalan-jalan ke kota jadi harus terlihat bersih dan rapi”.
Beberapa pertanyaan kembali muncul. “Apakah cukup dengan memakai kemeja ini orang lain akan menganggapku rapih dan bersih?. Ya memang harus seperti ini, tegasnya.
Kenapa juga harus seperti ini? aturan apa pula hal seperti ini. Apakah aturan yang digariskan Tuhan atau bahkan hanya buatan para manusia yang sudah memiliki kemeja rapih dan bersih. Apa pula yang didapatkan oleh orang yang tidak memeiliki kemeja rapi? kotorkah, miskinkah, hinakah?
“Malang sekali nasibmu Juki, pikiran itu kembali memberontak. Lebih keras, tajam dengan sangat dia seolah menasehati dan memarahi Juki.
“Hidupmu hanya dihabiskan oleh aturan orang-orang yang memiliki kemeja rapi. Lihat temanmu, tetanggamu, saudaramu, mereka tidak memiliki kemeja rapi. Kaospun seadanya, pikrannya pun sederhana yang penting ada kain yang bisa melindungi mereka dari dinginnya malam dan panasnya siang. Kamu sudah mau berlaga tinggi, tanpa tahu hal itu bisa ada dan terjadi.
Sontak Juki sangat kaget, yang dipikirkannya kali ini lebih keras dari sebelumnya. Juki terlihat kaget dengan pikirannya kali ini, apa pula maksud dari semua ini?
Seketika itu pula Juki teringat pada buku yang pernah dibacanya tiga tahun kebelakang. Satu tokoh revolusioner dari jerman, lupa lagi dia namanya. “Sejarah merupakan pertentangan antara dua kelas: Yang miskin dan yang kaya. Yang kaya seringkali mendominasi aturan dan kehidupan, sehingga yang miskin kelelahan mengikitu aturan dari yang kaya. Hidup di ukur dengan untung dan rugi, pertukaran sosial hanya menguntungkan yang membuat aturan.
Apa pula saya memikirkan dan mengungkit kembali bacaan ini dan apa lagi hubungannya dengan pikiran yang sempat memarahiku itu. Dan kenapa pula hadir ketika saya ingin mengganti pakaian dengan kemeja yang rapih dan bersih?.
Saya mengganti pakaian, kerena saya ingin memakainya untuk jalan-jalan kekota. Saya tidak peduli terhadap aturan yang telah dibuat, baik oleh yang punya kemeja atau siapapun, yang pasti saya pagi ini ingin mengganti pakaian dengan kemeja yang sudah lima tahun belum sempat dipakai.
Iim Mustopa, mahasiswa Jurusan Sosiologi, aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Kei
slaman (LPIK)