
Pemateri dari Kawan Medis, Elisabeth Natalia menyampaikan pentingnya pemahaman mengenai kesehatan reproduksi di Toko Buku Pelagia, Kota Bandung, Jumat (25/4/2025).
SUAKAONLINE.COM – Kawan Medis menggelar diskusi bertajuk “Kesehatan Reproduksi yang Terkikis oleh Tekanan Kerja” di Toko Buku Pelagia, Jl. Kebon Jati B No. Kav 12A, Kota Bandung, pada Jumat (25/4/2025). Diskusi ini menyoroti keterkaitan tekanan kerja dengan meningkatnya risiko gangguan kesehatan reproduksi pada buruh, serta pentingnya peningkatan pemahaman masyarakat terhadap risiko tersebut.
Pemateri utama yang merupakan tenaga kesehatan, Elisabet Natalia mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi kesehatan reproduksi perempuan, khususnya para pekerja buruh garmen. Ia menyoroti tingginya angka keguguran yang dialami oleh perempuan, terutama yang bekerja sebagai buruh. “Keguguran pertama meningkatkan risiko terjadinya keguguran selanjutnya sebesar 10%, dan jika telah mengalami keguguran tiga kali atau lebih, risikonya meningkat menjadi 49%” tambahnya, Jumat (25/4/2025).
Ia memaparkan bahwa pola kerja buruh yang panjang, jarang terpapar sinar matahari, dan memiliki akses kesehatan yang terbatas memperburuk kondisi kesehatan reproduksi. Elisabet juga menjelaskan studi kasus salah satu rumah sakit di Bandung, sebanyak 96% pasien keguguran diketahui mengalami defisiensi vitamin D, yang disebabkan kurangnya paparan matahari akibat jam kerja yang padat.
Tekanan kerja sebagai buruh pun disoroti oleh seorang penulis, sekaligus pemantik dalam diskusi, Baskara Hendarto. Ia mengungkapkan temuannya di lapangan selama pandemi yang datang dari pasangan suami istri buruh di Karawang. Sang istri mengalami keguguran karena kelelahan bekerja hingga 16 jam sehari tanpa waktu istirahat memadai. “Mereka bahkan tidak punya waktu untuk bicara soal kehamilan mereka sendiri,” ungkapnya Jumat (25/4/2025).
Menurutnya, tekanan kerja tersebut merupakan bentuk kekerasan struktural. Ia juga menyoroti bahwa buruh perempuan menjadi target produksi yang ketat menjadikan tubuh mereka sebagai objek eksploitasi tanpa mempedulikan kesehatannya.
Selain itu, Elisabet menyebutkan faktor risiko lain seperti paparan asap rokok, konsumsi kafein berlebih, serta tekanan psikologis yang tinggi. Ia menepis mitos umum di masyarakat bahwa infeksi toksoplasma dari kucing menjadi penyebab utama keguguran, yaitu hanya 0,5% serta menegaskan bahwa 50% kasus keguguran justru bersifat idiopatik dan berkaitan dengan faktor gaya hidup dan stress karena bekerja.
Lebih dari itu, ia menyoroti aspek psikologis dan emosional dari keguguran. Banyak perempuan yang mengaku merasa seperti kehilangan separuh dirinya ketika mengalami keguguran, yang tak jarang berujung pada depresi. Ia menekankan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi dan mengingatkan bahwa usia ideal kehamilan berada di bawah 35 tahun.
Seorang dokter umum sekaligus pemantik dalam diskusi, Dilla Anindita menekankan bahwa hipertensi menjadi salah satu pemicu utama komplikasi kehamilan, termasuk keguguran. Ia menjelaskan bahwa tekanan kerja tinggi yang dialami buruh pabrik dan diiringi dengan pola hidup tidak sehat seperti konsumsi makanan tinggi garam, kurang aktivitas fisik, dan stres berkepanjangan, mempercepat munculnya hipertensi.
Dilla juga menjelaskan bahwa kondisi ini memperburuk kesehatan reproduksi buruh perempuan, sebab hipertensi dapat menghambat aliran darah ke janin, mengganggu penyerapan nutrisi, hingga meningkatkan risiko keguguran.
Sebagai penutup, para pemantik berharap diskusi ini menjadi refleksi bersama bahwa ketidakadilan dan isu kesehatan merupakan persoalan sistemik yang perlu dilawan secara kolektif. Salah satu audiens, Fen Budiman dari Jaringan Nakes Indonesia (JARNAKES), turut menyampaikan harapannya dengan menekankan pentingnya melawan sistem kolektivisme yang selama ini menormalisasi kekerasan terhadap buruh, sebagai bagian dari upaya mendorong perubahan yang lebih adil.
Reporter: Zahra Zakkiyah/Magang
Redaktur: Guntur Saputra/Suaka
