Oleh: Isthiqonita
SUAKAONLINE.COM – Masih teringat dalam benak Sofyan Ansori, ketika warga sekitar kampus turut memadati tribun untuk menyaksikan Liga Sepakbola Mahasiswa Antar Jurusan (LSM-AJ). Meskipun kegiatan tersebut merupakan acara tahunan UKM Liga UIN Bandung, namun warga setempat ikut menikmati bahkan memiliki dukungan tersendiri.
Pada saat itu, kedudukan sepakbola bukan sekedar formalitas semata, namun menjadi penghubung mahasiswa dengan warga. Openg panggilan akrab Sofyan mengatakan bahwa sepakbola lebih dari sekedar pesta untuk mahasiswa saja. “Dulu, LSM-AJ bukan hanya pesta mahasiswa UIN Bandung, tetapi juga pestanya masyarakat sekitar kampus, tontonan gratis tapi sangat semarak,” ujarnya saat ditemui Suaka di sekretariat Mahasiswa Pecinta Alam (Mahapeka) UIN Bandung, Kamis (25/1).
Pernyataan Openg diamini oleh salah satu warga Cipadung, Gesti Abdurrahim yang semenjak kecil merasakan kampus dijadikan salah satu lahan untuk bermain. Terutama ketika musim pertandingan sepakbola, Gesti mengaku terhibur dengan pertandingan yang diselenggarakan oleh Liga UIN Bandung.
Gesti merasakan kehilangan ketika kampus melakukan pembangunan besar-besaran yang berefek lapangan harus dialihkan, kini di stadion UIN Bandung berdiri gedung Multipurpose. “Nyaman lapang dulu, soalnya dulu ada tribun untuk penonton tanahnya juga rata engga seperti sekarang,” aku Gesti, Jumat (12/2).
Openg yang merupakan pelatih Squad Jurnalistik pun menyesali perpindahan lapangan yang berakibat terhadap perubahan nuansa hubungan warga dengan kampus. Dulu, sesekali dosen turut bermain dengan mahasiswa tanpa ada sekat. Namun hal itu hanya menjadi kenangan untuk Openg.
Hal yang lebih disayangkan bagi Openg ialah menurunnya kualitas sepakbola UIN Bandung dikarenakan fasilitas untuk mengasah kemampuan belajar terbilang jelek serta tidak adanya kenyamanan, “Jangankan prestasi, datang untuk latihan saja tidak mau,” tambah Openg.
Ada beberapa faktor yang menyebakan turunnya kualitas Sepakbola di UIN Bandung pasca beralih ke Gedebage. Pertama menyoal fasilitas, akses lapangan yang tidak lagi dekat dengan kampus membuat pemain bola cenderung enggan berlatih, kondisi lapangan yang jauh dari layak dan tidak representatif, serta tidak adanya tribun untuk penonton pun untuk bangku cadangan.
Persoalan lainnya ialah apresiasi dari pemangku kebijakan yang minim mampir ke pemain. Padahal mahasiswa perlu amunisi motivasi melalui pengahargaan yang dihadirkan oleh birokrasi, “Untuk kebutuhan tanding saja dipersulit, tapi jika kalah mereka (birokrat-Red) marah-marah,” keluh Openg.
Akibat apresiasi yang minim tersebut konsentrasi pemain Liga selalu pecah ketika akan berkompetisi. Openg berpendapat, seharusnya pemain hanya fokus terhadap pertandingan yang akan dihadapi, bukan memikirkan hal materi, darimana mendapatkan uang untuk pergi, air untuk minum nanti bahkan terkait kostum yang akan dikenakan saat kompetisi. Sudah sepatutnya menjadi kewajiban kampus, bukan UKM Liga.
Selain fasilitas dan apresiasi yang tersendat, mahasiswa pun dijegal kebijakan jam malam. Padahal jam-jam tersebut adalah waktunya mahasiswa berkreasi dan menunjukan eksistensi lainnya, tak terkecuali UKM Liga untuk memutuskan strategi. “Alasannya maksiat, masa iya membunuh tikus harus membakar lumbung padi,” ujar Openg, mestinya kampus memiliki peraturan tegas namun tak membunuh kreatifitas mahasiswa.
Tidak seperti sekarang yang cenderung dibiarkan, Openg pun menceritakan dulu Liga UIN Bandung terjamin dengan adanya Badan Pembidaan Olahraga (Bapor) di bawah Bagian Kemahasiswaan. Keberadaan Bapor sangat membantu terutama untuk menangani administrasi hingga konsumsi. Ketika ditanya mengapa kini Bapor tak ada lagi, Openg tak tahu alasan yang pasti, ia menyatakan bahwa perubahan tersebut terjadi ketika peralihan IAIN menjadi UIN.
Pengurus Liga UIN Bandung periode 1999-2000 itu menilai birokrasi kampus kini hanya memandang mahasiswa sebagai user, yakni pengguna atau pelaksana kebijakan kampus tanpa dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Hal tersebut didasari ketika ia dan koleganya di Liga mengusahakan fasilitas sepakbola yang lebih representatif, namun yang ia bawa pulang adalah pernyataan bahwa mahasiswa hanyalah pengguna. “Istilahnya mau digunakan silahkan, engga juga tidak apa-apa,” Tegasnya.