SUAKAONLINE.COM, Infografis – “Banyak Anak Banyak Rejeki” itulah ungkapan yang sering kita dengar dari sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini membuat populasi Indonesia tak terkendali karena tingginya angka kelahiran. Salah satu solusi untuk mengontrol kelahiran di Indonesia adalah dengan Program Keluarga Berencana (KB).
Program KB di Indonesia sudah dirintis oleh para dokter dan ahli kandungan sejak tahun 1950-an untuk mencegah kematian pada ibu dan bayi yang tinggi saat itu. Sehingga pada tahun 1957 terbentuklah sebuah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Namun, pergerakan organisasi ini terbatas dan menemui banyak hambatan. Salah satu hambatan pergerakan ini adalah adanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nomor 283 yang melarang penyebaran gagasan keluarga berencana juga pasal 534 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa dengan terang-terangan mempertunjukkan ikhtiar untuk mencegah hamil, atau dengan terang-terangan dan tidak diminta menawarkan ikhtiar atau pertolongan untuk mencegah hamil, atau dengan menyiarkan tulisan menyatakan dengan tidak diminta bahwa ikhtiar atau pertolongan itu bisa didapat, dapat dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya dua bulan atau denda sebanyak-banyaknya dua ratus rupiah,”
PKBI pada masa kepemimpinan Dokter Soeharto sebagai Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), program KB dijalankan secara diam-diam dengan menggunakan pendekatan Sosio-Medis dan menetapkan asas sukarela untuk menjarangkan kelahiran dan mengobati kemandulan. Di masa demokrasi terpimpin misi rahasia perkumpulan ini masih merayap.
Hingga masa pemerintahan Presiden Soeharto, program KB mulai membaik. Pada 17 Oktober 1968, di bawah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Idham Chalid dan atas restu Soeharto, Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) yang semi-pemerintah pun didirikan. Pemerintah Orde baru sangat mendukung dan LKBN akhirnya menjadi lembaga pemerintahan non-dapartemen dengan nama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berdasarkan Keputusan Presiden No.8 tahun 1970.
Di era Orde Baru, program ini mencapai kejayaannya dan mendapat dukungan langsung dari presiden, seluruh jajaran Dapartemen/Kementerian, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan Lurah, hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI) sangat berkomitmen dalam melaksanakan program KB. Bukan hanya di dalam negeri saja, dukungan dana dari Bank Dunia sangat besar. Program ini mencapai target nasional dan mendapat penghargaan United Nation (UN) Population Award oleh UNFPA pada 1989.
Saat ini, program KB dinilai mengalami pengenduran sejak awal reformasi. Menurut Pakar Kependudukan sekaligus Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Agus Joko Pitoyo mengatakan pengenduran program KB saat ini disebabkan program KB di Indonesia sejak tahun 1970 sempat dinilai sudah berhasil karena total fertility rate atau tingkat kelahiran rata-rata pada waktu itu turun dari 5,6 persen menjadi 2,6 persen.
Hal tersebut juga didorong oleh perspektif masyarakat yang pada zaman dahulu berpandangan anak sebagai rezeki. Sementara saat ini generasi sekarang berspespektif anak merupakan beban. Walaupun saat ini program KB cenderung dikendurkan tapi nilai di dalam masyarakat terkait dengan keluarga inti yaitu dua anak cukup sudah mengakar luar biasa. Tanpa harus dikatakan untuk ikut program KB, masyarakat sudah melek terkait dengan keluarga berencana.
Sumber : Tirto.id, Klikdokter.com, Voaindonesia.com
Peneliti : Raafi Herdiansyah Putra/Suaka