Infografik

Meredupnya Nyala dalam Lanskap Seni sebagai Ruang Ekspresi

SUAKAONLINE.COM, Infografis – Karya seni bukan sekadar sarana estetika. Ia adalah medium ekspresi, emosi, dan kritik. Di tangan seniman, realitas sosial yang penuh luka dan ketimpangan kerap menjelma dalam bentuk lukisan, musik, teater, tari, hingga sastra. Karya-karya ini menjadi bahasa alternatif untuk menyuarakan pergolakan batin yang sering kali dibungkam.

Namun, kebebasan berekspresi yang dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945 ini terus-menerus berada di bawah bayang-bayang represi. Menurut data Koalisi Seni, sejak 2010 hingga Februari 2025, setidaknya 450 orang, baik seniman maupun non-seniman menjadi korban represi terhadap kebebasan berekspresi. Fakta ini menegaskan bahwa represi terhadap seni tidak pandang bulu, ia menarget siapa saja yang berada dalam pusaran ekspresi yang dianggap “mengganggu kenyamanan”.

Represi terhadap seni bukanlah fenomena baru. Di era Orde Baru, ekspresi yang melawan kuasa sering dibalas dengan kekerasan oleh negara, seperti penculikan, penahanan tanpa proses hukum, pengasingan, hingga pembunuhan. Karya seni yang vokal menentang rezim dan mengkritisi pemerintah tak lepas dari tindakan intimidasi dan tekanan.

Penyair Sekaligus dramawan W.S. Rendra berkali-kali dijegal aparat. Karya Iwan Fals diawasi ketat karena liriknya yang menyinggung penguasa. Buku-buku Pramoedya Ananta Toer dilarang keras, dan film-film yang menyuarakan kemiskinan, ketidakadilan sosial, atau konflik politik dipotong habis-habisan oleh Lembaga Sensor Film (LSF).

Di era reformasi, represi berubah wajah, lebih samar tapi tetap mengekang. Seperti ditulis dalam laporan Bincangperempuan.com, bentuknya kini berupa pelarangan acara, pembatalan sepihak, pencabutan izin, hingga jerat hukum dengan pasal karet seperti UU ITE, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian. Represi juga muncul dalam bentuk digital seperti blacklist panggung, serangan siber, hingga penghapusan konten oleh algoritma media sosial atas nama “standar komunitas”.

Di sisi lain, negara memanfaatkan regulasi karet seperti UU ITE untuk menjerat ekspresi yang dianggap kontroversial. Lonjakan kasus pada 2024 menjadi bukti nyata bahwa represi seni tak mereda, hanya berganti rupa.

Pada Desember 2024, pameran Yos Suprapto gagal diselenggarakan karena lima karyanya dibredel dan dilarang dipamerkan, dengan alasan mirip tokoh mantan presiden. Selain itu, pagelaran monolog Wawancara dengan Mulyono oleh Teater Payung Hitam pada Februari lalu mengalami pembungkaman, dengan cara mengunci gedung tempat pementasan secara sepihak. Band punk asal Sidoarjo, Sukatani, pada Maret lalu juga mengalami intimidasi agar menarik lagu Bayar Bayar Bayar dari semua platform musik.

Meskipun bentuk dan pola intimidasi mengalami transisi, esensinya tetap sama, yaitu membatasi ruang kebebasan berekspresi. Pada akhirnya, represi seni bukan hanya membungkam seniman, tetapi membatasi masyarakat melihat sisi realitas sosial. Maka, penting bagi semua orang, baik seniman maupun non seniman, melawan represi dengan lebih lantang. Gerakan solidaritas menjadi kunci melawan pembungkaman demi kebebasan seni dan demokrasi.

Peneliti: Sofa Nur Alfiah/Magang

Redaktur: Sabrina Nurbalqis/Suaka

Sumber: Bincangperempuan.com, Kompas.id, Koalisiseni.com

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas