Cerpen

My Little World (Episode) High Heels

Tak pernah ada yg biasa ketika kita bersama. Selalu saja ada sesuatu yg membuat hal biasa menjadi luar biasa. Bahkan satu sms saja bisa membuat kita beradu argumen yang selalu berujung dengan main kucing- kucingan. Teman- teman bilang kita seperti anak berusia sembilan tahun. Yang satu lari, dan yang satu mengejar. Yang satu merajuk, dan yang satu membujuk. Ya, adegan itu nampaknya sudah sangat lekat dalam keseharian kita sehingga kita pun sudah cukup mahir dalam memainkan peran yang biasa kita mainkan.

Sehari saja adegan itu hilang, nampaknya hidupku sepi. Aku selalu senang melihatmu yang membuatku tersenyum dengan beragam cara. Canda dan nasehat untuk membuatku berhenti merajuk, selalu membuatku tersenyum diam- diam. Namun aku takkan berhenti merajuk sebelum kesabaranmu habis. Aku ingin tahu kesabaran seperti apa yang kamu punya. Aku ingin tahu perhatian sebesar apa yang mampu kamu berikan. Dan aku beruntung, kamu punya semua yang aku harapkan.

Kelakuan kita mungkin banyak mengundang tanya dari orang sekitar kita. Pasangan aneh. Nampaknya kata itu cukup tepat untuk menggambarkan kita. Hhmm… not too bad, bisa dibilang kita unik, hehe.

Orang mungkin punya penilaian masing- masing, tentu dengan alasannya masing- masing. Tapii… inilah aku, inilah kamu, dan inilah dunia kita. Dunia kecil kita. Hanya kita yang tahu apa saja yang ada didalamnya. Dan biarlah seterusnya begitu. ^^

Hari ini aku bersiap untuk pergi ke acara pernikahan mantan pacarmu. Haduuuhh… mantan pacar? Hhmmm,,, harus tampil oke nih. Setelah selesai membereskan rumah seperti biasa, aku menyiapkan baju yang akan aku pakai ke acara pernikahan itu. Baju batik terusan berwarna hijau menjadi pilihanku. Kusiapkan celana, manset dan juga kerudung dengan warna senada. Oya, sebelum fitting, mendingan mandi dulu ah!
Setelah mandi aku pakai baju batikku. Nampak agak kebesaran, entah memang aku yang terlalu kecil (hoho). Bagus tidak ya…. sebaiknya aku jajak pendapat dulu nih!

“Mah, aku pakai baju ini bagus gak sih? Kayanya kebesaran ya mah? Sepatunya juga gak ada yang cocok mah,” cerocosku pada mamah.

“Ah enggak, bagus kok,” jawab mamah singkat.

“Masa? Kan sepatunya warna coklat mah, bajunya kehijau- hijauan. Gimana nih mah…” tanyaku lagi, tak puas dengan jawaban mama.

“Pantes kok pantes”, jawab mama lagi tak kalah singkat dengan jawabannya yang pertama.
Hhmm… masa sih? Tapi kok aku ragu ya? Yasudah deh, sebagai anak baik aku ikut apa kata mama saja.

Maka melangkahlah aku dengan baju batik terusan berwarna krem dengan corak hijau, dengan sepatu warna coklat dan kerudung dan manset berwarna senada dengan batikku walau dengan setengah hati. Di tengah perjalanan aku mendapat ide bagus, mampir ke kosan Mae! Hihi… jajak pendapat lagi.

Sekitar dua puluh menit kemudian aku tiba di kostan Mae dengan menggunakan kendaraan umum. Kosannya cukup strategis dan dekat dengan kampus. Tak lama kemudian aku masuk ke dalam kosannya, tentu setelah mengucap salam. Nampak sepi, hhmmm… mungkin para penghuninya sedang pulang kampung.

“Mae!”

“Masuk”, jawabnya.

“lho, mau kemana kamu pake baju batik begitu? Mau kondangan ya?” tanyanya lagi, dan benar- benar tepat.

“Iya,, aku mau nemenin Ilham ke nikahan mantan pacarnya. Males sih, tapi daripada dia pergi sendiri terus malah main mata sama perempuan lain, kan aku juga yang repot, hehehe”, candaku.

“Ada- ada aja kamu. Emang perginya jam berapa? Kok masih sempet kesini?”

“Sebentar lagi Ilham jemput kesini. Tapi aku kurang pede sama bajuku, makanya mau tanya pendapat kamu dulu. Menurutmu gimana? Kalau nggak cocok, aku bawa baju lain buat ganti.”

“Ckckck… segitunya. Hhmmm… kayanya kurang cocok deh sana celana yang kamu pake, kurang pas gitu. Coba aku liat baju kamu yang lain.”
Maka terjadilah jajak pendapat di kamar kecil itu, meski tak seramai jajak pendapat ketika Timor Timur ingin melepaskan diri dari pemerintahan NKRI, hihihi. *Lebay. Akhirnya terpilihlah baju batik berwarna kuning gading dengan corak merah. Kupadupadankan dengan celana berwarna krem dan jilbab berwarna senada dengan warna batikku. Tapi, bagaimana dengan sepatunya?

“Duh, sepatuku kayaknya nggak cocok sama bajunya, gimana nih?” keluhku ketika menyadari bahwa sepatu yang kupakai adalah sepatu sneaker yang tentu saja tidak cocok dipakai ke acara resmi apalagi harus bersanding dengan baju batik. Hhhmmm…
Kami berdua merenung sejenak, hening. Sesaat kemudian keheningan itu dipecahkan oleh teriakan Mae.

“Aha! Gimana kalau pake sepatuku aja? Kayaknya warnanya pas, tapi…” Mae menggantung kalimatnya.

“Tapi apa?” tanyaku tak sabar.

“Tapi sepatu high heels….” Katanya ragu.
Mae memang tahu betul bahwa aku memang tak biasa dengan sesuatu yang terlalu berbau “wanita” (hehehe). Ya sebagai wanita aku memang tak terlalu feminin, tapi juga tidak tomboy. Yaaa, biasa saja lah, sewajarnya.

“Hhhmmm… oke, nggak apa, aku coba”, jawabku nekat. Pokoknya aku harus tampil sempurna (halah).

Tet tet… terdengar suara klakson didepan kosan Mae. Jemputan sudah datang rupanya. Bergegas kuhampiri Ilham. Kulihat matanya nampak awas mengamati penampilanku siang itu.
“Lho, nggak biasanya pake sepatu gitu?”
“Hehehe… udah kaka pura- pura nggak liat aja ya, aku malu”, jawabku tak bisa berhenti tersenyum salting (salah tingkah-red).

Setengah jam kemudian kami tiba di TKP (hehe). Ternyata oh ternyata, tempatnya jauh dari bayanganku. Jalannya menanjak dan banyak batu- batu, aku teringat sepatu high heels yang aku pakai. Meski sedikit gugup, aku berdoa dalam hati semoga semuanya lancar.

Setelah memarkir motor di pinggir jalan, karena memang disana tidak ada lahan parkir, kami pun masuk beriringan. Aku tersenyum mencoba membangkitkan kepercayaan diriku. Jalan di halaman rumah sang pengantin menanjak cukup tinggi, aku pun sangat hati- hati melewatinya. Berpegangan pada Ilham, sambil terus menebar senyum dan sesekali membuka handphone untuk sekedar menghilangkan kegugupanku.

Setibanya di pelaminan kami langsung bersalaman dengan kedua mempelai. Setelah memasukkan amplop ke dalam tempat yang sudah disediakan, kami pun dipersilakan untuk menikmati hidangan prasmanan. Sejauh ini, semua lancar. Selang beberapa menit kemudian makanan kami telah habis, perut kami juga kenyang (ya iyalah, hehe).

“Pulang yuk, kak”, ajakku pada kak Ilham.

“Yuk, kita salaman dulu ya sebelum pulang.”

Lantas kami sekali lagi bersalaman dengan kedua pengantin sembari berpamitan, juga sedikit mengobrol dan berbasa- basi. Aahhh… lega. Kulangkahkan kakiku dengan ringan, senang karena hal- hal yang kutakutkan tak terjadi. Kembali kutebar senyuman pada tamu- tamu undangan yang lain (hehe). Kami berjalan bergandengan menuruni tanjakan di halaman rumah sang empunya hajat. Namun tiba- tiba…

“Gubrakk!”

Aku terjatuh dengan sukses di tanjakan itu. Nampaknya sepatu high heels yang aku pakai tidak bisa bersahabat baik dengan tanjakan yang sedang aku turuni. Sejenak aku terduduk karena kaget. Sesaat kemudian kulihat sekeliling, semua mata nampak memandangku. Bibir- bibir mereka menahan senyum, atau mungkin tawa yang akan meledak besar- besaran begitu aku pergi. Kurasakan tanganku perih, terkena gesekan dan sekarang lecet. Bukan hanya itu, mataku pun mulai berkaca- kaca. Ingin menangis, tapi malu setengah mati. Tapi kan, aku kesini tidak sendiri. Kak Ilham? Kemana dia? Rupanya Kak Ilham pun kaget, hanya mematung di sebelahku. Akhirnya Kak Ilham bisa menemukan kembali kesadarannya dan akhirnya membantuku berdiri.

Sejenak kemudian dengan polosnya dia bertanya, “Ayank jatuh?”
Haaaa… ingin rasanya aku menjerit. Kalau tidak jatuh, buat apa aku duduk di tanjakan seperti ini dengan dilihat puluhan pasang mata, dan terlebih lagi di pesta pernikahan! Hiks…

Tak ingin malu lebih lama lagi
aku bergegas bangkit dan menyuruh Kak Ilham untuk cepat membawa sepeda motornya di tempat parkirnya. Aku hanya diam mematung di pinggir jalan menunggu Kak Ilham. Berpura- pura tak melihat berpasang- pasang mata yang sedari tadi nampak mencuri pandang ke arahku. Hhmmm… sabar, pulang dari sini kamu bisa menangis sepuasnya, ucapku pada diri sendiri.
Akhirnya Kak Ilham datang. Dengan tenang ia mengendarai sepeda motornya dan meninggalkanku. Hah??! Aku hanya menatapnya bengong, tak percaya.

Setelah sekitar dua puluh meter nampaknya Kak Ilham baru sadar kalau aku tertinggal. Ia berbalik dan memanggilku. Di jalanan berbatu itu aku harus berjalan ke arahnya sejauh dua puluh meter, dengan trauma dan rasa malu yang belum sirna dari pikiranku. Ingin sekali berteriak memintanya kembali ke tempatku berdiri, tapi itu hanya akan membuatku lebih malu lagi. Maka dengan amat sangat terpaksa aku berjalan perlahan ke arahnya. Langkah demi langkah kulalui dengan kecemasan luar biasa. Masih sempat kurasakan tatapan orang- orang di sana. Bodo ah, yang penting segera pergi dari tempat ini. Akhirnya aku berhasil duduk di bonceng Kak Ilham tanpa luka tambahan.
Di jalan aku hanya diam. Mencoba mengingat- ingat peristiwa yang baru saja terjadi. Tak terasa air mataku pun menetes. Hiks…
Kak Ilham pun tampak bingung melihatku. Mungkin antara kasihan dan juga malu.

Lama kemudian aku pun tertawa. Lebih tepatnya menertawakan diriku sendiri. Lalu Kak Ilham juga ikut tertawa. Entah tertawa bersamaku atau menertawakanku, aku tak tahu. Tapi yang pasti hal ini akan menjadi bagian dari rahasia di dunia kecil kami. Saat- saat memalukan dalam hidupku yang sangat sayang jika harus kubagi bukan dengan orang yang sangat aku sayangi. Hehe…

Dan mulai saat itu aku berjanji tak akan pernah lagi berusaha untuk menjadi orang lain hanya karena ingin tampil sempurna. Lagi pula, selama ini tak pernah ada masalah ketika aku menjadi diriku sendiri. Biar kami tetap menjadi pasangan aneh. Hehe… ^^

*Penulis adalah mahasiswa PBI UIN Bandung semester 6

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas