Terkini

Omong Kosong itu Bernama Amandemen

Wacana Amandemen Pedoman Organisasi Kampus (POK) yang dijanjikan Dewan Mahasiswa (Dema) di awal kepengurusannya tahun lalu kembali diusung. Terbukti dengan diadakannya dialog terbuka dalam acara bertajuk “Lokakarya Amandemen POK” di Aula UIN SGD Bandung, Senin (21/3). Dialog yang berlangsung selama 2 jam lebih tersebut membahas antara lain tentang keterlambatan Dema serta seluruh jajarannya dalam menyelesaikan amandemen POK dan mekanismenya. Acara ini dihadiri oleh beberapa perwakilan UKM dan 5 perwakilan Senat.

“Undangan lokakarya mendadak, saya tau ada lokakarya sehari sebelumnya, kita awalnya gak tahu pembahasan dan agenda acaranya seperti apa, bahkan undangannya pun baru sehari sebelumnya, tapi tetap momen ini harus dimanfaatkan, jangan menghasilkan sesuatu yang menggantung seperti sebelum-sebelumnya” tutur Opik, sekretaris Senat Fakultas Psikologi.

Mahasiswa asal Buah Batu itu juga menuturkan setidaknya ada 3 opsi dari hasil lokakarya, yaitu mengamandemen POK, membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) bahwa POK tidak diberlakukan dan membentuk Panitia Dewan Pemerintahan transisi untuk membuat aturan hukum tentang lembaga kemahasiswaan di UIN. Forum kemudian menyetujui akan dilakukan Amandemen POK secepatnya.

Amandemen yang tersendat hampir setahun, menurut Dani Azhar ketua senat Fakultas Tarbiyah disebabkan beberapa hambatan. “Koordinasi antara Dema dan Senat yang kurang, padahal seharusnya Dema bisa mengayomi seluruh mahasiswa, UKM dan senat, juga banyak pergesekan diantara Dema dan mahasiswa karena berbeda faham dan tujuan.”

Dalam Lokakarya tersebut, Ketua Dema Muhammad Jatnika Sadili menawarkan rumusan baru dari POK namun masih dalam bentuk kerangka awal, “Kami sudah menyediakan tawaran, kita bisa mengadopsi dari UIN Yogya dan Jakarta. Mungkin bisa seperti student government kembali, tapi tidak sama. Ini bisa kita bahas bersama-sama nanti,” tuturnya di tengah acara.

Dialog berlangsung hangat karena saat itu hadirin diberi banyak kesempatan menyuarakan aspirasinya. Mayoritas peserta lokakarya menilai POK tidak tepat diberlakukan di UIN Bandung, anggaran keorganisasian dalam POK kurang representatif. Mereka  juga mendesak turunnya SK amandemen secepatnya.

Menyikapi pemberlakuan POK, Aang Sihabudin ketua Senat Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora menuturkan bahwa fakultas mereka tidak menggunakan POK sebagai panduan keorganisasian sejak awal tahun lalu. Ini dilakukan sebagai tindakan perlawanan terhadap POK yang menurutnya tidak demokratis dan membatasi ruang gerak mahasiswa. “Kami senat Adab, sudah membentuk struktur organisasi sendiri di luar POK sejak awal tahun lalu. Ini sebagai bentuk perlawanan kami terhadap aturan yang membatasi gerak mahasiswa ini,” tegasnya.

Yudi selaku Ketua Senat Fakultas Dakwah dan Komunikasi mengakui ketidakpuasannya “Aku kecewa dari pertemuan sebelumnya tanggal 18, kecewa sama sekali karena pertemuan tim sembilan tidak pernah kumpul secara total, Dema pun gak bisa dihubungi. Jadi gak ada komitmen kita akan merubah ini ke arah perbaikan, merubah bagaimana caranya agar mahasiswa juga bisa menikmati hak politiknya nanti dengan amandemen POK.”

Lambatnya amandemen POK dianggap sebagai sikap ketidakseriusan Dema, “kalau seperti ini, tidak ada komitmen dari Dema untuk menyukseskan amandemen POK secara cepat tau-tau di akhir pengurusannya mau mengamandemen POK padahal jauh dari sebelum saya menjadi Ketua Senat saya sudah menjadi tim amandemen POK tapi belum mememukan titik kejelasan dan baru dijanjikan SK akan turun tanggal 24 itu pun dijanjikan langsung oleh Ketua Dema.” tambahnya

Yudi juga menuturkan bahwa POK belum tepat diterapkan di kampus UIN karena POK membatasi demokrasi mahasiswa “Gak pantaslah POK diterapkan di kampus ini, karena mahasiswa tidak diberikan hak politik, saya ingin ada perubahan yang lebih baik. Apapun hasilnya nanti harusnya mencerminkan demokrasi di kampus ini,” ungkapnya.

“Saya pengen amandemen POK lebih ke arah trias politika. Jadi ada yudikatif, eksekutif dan legislatif. Kampus itu adalah visualisasi Negara, ketika mahasiswa dibungkam maka mahasiswa itu akan mati, otomatis negara itu akan mati juga. Satu hal, kalo misalkan mahasiswa diberikan hak politiknya, bagaimana dia bisa memberikan kontribusi yang baik untuk kemajuan bersama? kan negara juga akan berkembang,” tambahnya.

“Ada satu kesamaan semua senat itu tidak menyepakati POK karena tidak sesuai. Mau itu dihapus, mau itu diamandemen, keinginan mahasiswa cuma satu, bahwa kita memerlukan aturan hukum tentang lembaga kemahasiswaan yang benar-benar bisa mengaspirasikan mahasiswa dan juga representatif, tepat bidang-bidangnya dan Tupoksinya jelas. Dan jika keputusannya harus amandemen, maka kita akan merumuskannya diamandemen POK nanti,” tutur Opik.

“Permasalahan apakah harus POK atau rubah pemerintahan, itu masuk ke tatanan mekanisme, tinggal bagaimana kita, Senat, melakukan konsensus apa yang akan kita pakai,” tambahnya.

Mekanisme amandemen, tutur Dani, pertama-tama Dema, senat, dan Ormawa akan meminta Surat Keputusan (SK) rektor untuk tim amandemen POK. Ia juga menjelaskan bahwa pihak rektorat menginginkan PD 3 dan PR 3 ikut dalam pengamandemenan ini tapi Jatnika menolak dan memutuskan mereka tidak akan ikut serta, sehingga POK yang baru  nantinya murni dari mahasiswa.

Mengenai penundaan aksi demonstrasi yang bertepatan dengan momentum Bandung Lautan Api pada Kamis, tanggal 24 Maret lalu,  Jatnika selaku penggagas beralasan penundaan dilakukan karena ada beberapa mekanisme yang perlu dibicarakan kembali.

“Aksi tidak jadi, karena perlu kembali membahas tim amandemen ini untuk kemudian diajukan. Tapi kalau tidak ditanggapi kami akan mengajukan SKB. Biar tidak terkesan kepentingan Dema, tapi kepentingan mahasiswa.” ujar Jatnika dalam rapat pengganti aksi demonstrasi pada sore harinya.

Forum ini tidak begitu efektif, karena hanya dihadiri oleh satu senator, Dani Azhar Ketua Senat Tarbiyah dan Keguruan, 5 perwakilan UKM  serta 2 pengurus Dema, Jatnika dan Maman. Jatnika menguraikan kebingungannya atas ketidakhadiran 6 perwakilan senator lainnya, “saya sudah sms, tapi ga tau pada kemana, kita bicara tentang agenda amandemen dan timnya,” tuturnya saat forum berlangsung.

Opik, perwakilan senat psikologi mengutarakan alasannya tentang kekecewaannya pada penundaan aksi demonstrasi Dema, serta mempertanyakan tujuan aksi, “harus diperjelas dulu, kan awalnya isu yang dibawa terkait testimoni Dema yang menuntut LPJ PR dan PD III. Tapi kenapa sekarang malah memperluas isu ke amandemen POK. Apakah mau memanfaatkan massa, maka dari kami ada mosi ketidakpercayaan. Lalu yang lebih aneh lagi, penundaan dilakukan mendadak, emangnya kita robot, nggak bisa gitu, ada etika komunikasi.”

Opik juga mengaku tak pernah mendapat pemberitahuan tentang hasil rapat pengganti aksi. Rencananya, Dema akan mengajukan tim amandemen esok harinya. Jika tidak kunjung ada jawaban maka akan turun SKB tentang ketidakberlakuan POK di ranah organisasi formal kampus. Amandemen menurutnya akan terus berlangsung dan organisasi formal kampus akan berlandaskan pada rumusan itu sebagai pengganti POK.

“Pertama, kami akan mengajukan tim amandemen ke atas, jika tidak turun SK maka kami akan menindaklanjutinya dengan SKB, setelah rumusan baru ada,” ungkap Jatnika. Perwakilan POK pun belum ditentukan, namun akan ditentukan di hari Selasa, setelah berkoordinasi langsung dengan koordinator UKM Dendi yang juga hadir saat Rapat Bersama pengganti aksi demonstrasi itu.

Terakhir, Opik menuturkan harapan terbentuknya mekanisme perpolitikan yang demokrasi di kampus, “keterlibatan semua e
lemen harus tegas di lembaga mahasiswa, pers maupun  UKM, jangan sampai hanya sebagian orang, samakan dulu frame, mekanismenya harus seperti apa, apa mau POK, AD ART atau seperti apa, lalu kita meminta legalitas dan baru setelah itu berhak mengadakan lokakarya selanjutnya.”

Ia juga mengutarakan harapannya perihal kepedulian mahasiswa UIN Bandung terhadap kondisi perpolitikan kampus. Ia menghimbau agar mahasiswa jangan terhegemoni oleh sistem. Kesadaran politik yang rendah menyebabkan situasi politik hanya sebagian orang saja yang tahu tentang UIN.

“Akibatnya rasa memiliki terhadap almamater itu nggak ada, akhirnya dia nggak mau peduli. Intinya harus dipahami bahwa memikirkan diri sendiri belum tentu memikirkan orang lain, tapi memikirkan organisasi berarti memikirkan orang lain, sama dengan memikirkan diri kita sendiri juga. Karena kita bagian darinya,” tutur mahasiswa Psikologi semester 6 itu. [] Nira, Fajar, Sri Cahya, Sova, Nia/SUAKA

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas