Fokus

Rasa Takut Berujung Trauma

Oleh Elsa Yulandri, Yosep Saepul R, Muhammad Iqbal, Isthiqonita*

Ilustrasi. Rasa Takut Berujung Trauma/ Asep A. Hidayat.

 

Korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen kepada mahasiswinya sering kali tidak melapor pada pihak yang berwenang. Relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa serta adanya keterikatan menjadi alasan kenapa korban sulit untuk menceritakan atau melaporkan.

SUAKAONLINE.COM — Siang itu, di kantin ma’had cukup ramai. Terlihat seorang perempuan duduk di bangku kantin. Diajak oleh salah seorang dosen, dosen Y –bukan inisial sebenarnya- yang baru mengajar di kelasnya, DK –bukan inisial sebenarnya- menunggu di salah satu meja kantin itu. Beberapa hari sebelumnya mereka sering membuka obrolan di media sosial. Pada awal obrolan, dosen Y menanyakan kabar kuliah, mata kuliah dan serba-serbi berbau kuliah.

Selepas kuliah, dosen tersebut mengajaknya makan bersama di kantin. Ia pun tak enak untuk menolak tawaran itu. Tak lama duduk  di bangku, tak disangka-sangka, dosen Y langsung menyatakan perasaannya, bahwa ia menyukai DK. DK sungguh tak menyangka, ia kira dosen tersebut hanya peduli saja, sama seperti kepada mahasiswa lainnya.

Waktu demi waktu berlalu, dosen Y mengunjungi DK yang sedang berada di kostannya. Ketika dosen tersebut baru saja sampai, ia diduga langsung memeluk dan mencoba mencium DK dari belakang. DK tak bisa berkutik.

Ia sangat terpukul atas kejadian itu. Ia sempat memukul dosen Y dan langsung kabur ke luar kostannya dengan rasa malu dan kecewa. Saking kecewanya, ia tak pernah lagi berkomunikasi dengan dosen tersebut. Bahkan ia tak mau melapor ke jurusan atau siapa pun. Ia hanya berharap kabar ini tak sampai ke telinga orang lain kala itu. Suaka mewawancarai DK, saat ia berstatus alumni beberapa bulan lalu.

***

Berasal dari fakultas yang sama dengan DK, Suaka kembali menemui satu korban yang mengaku mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen. CL yang tidak ingin disebutkan identitasnya mengatakan, pernah dilecehkan oleh salah seorang oknum dosen, dosen Z –bukan inisial sebenarnya- yang mengajarnya pada semester satu. Bermula dari nilai C yang ia dapat, CL berniat memperbaiki nilai pada dosen bersangkutan. Kejadian tersebut baru saja terjadi pada Januari 2018.

Dosen Z mengumumkan, untuk perbaikan nilai harus dilakukan secara personal. Mengetahui hal demikian, CL langsung menghubungi dosen Z untuk meminta perbaikan. Akhirnya CL menyetujui perbaikan nilai dilakukan pada Selasa siang di Metro Indah Mall (MIM).

Sesampainya di lokasi, dosen tersebut tak membahas mengenai perbaikan nilai, justru menanyai korban mengenai hal-hal yang bersifat pribadi. “Pas sampai di sana malah nanya tentang kepribadian aku, seperti orang mana, orang tua kerja apa, udah punya pacar belum. Aku mikirnya bukan apa-apa ya jadi yaudah aku ceritain aja . Tapi dia malah bilang aku udah ngapain aja sama pacar aku,” ujar CL.

Mencoba mengalihkan pembicaraan, CL mulai bertanya seputar tugas perbaikan nilai yang akan dosen berikan. Tak sesuai harapan, justru dosen tersebut malah mengajaknya menonton film di mall tersebut. “Jadi ini remedial-nya  seperti apa pak?  Bikin makalah lagi atau gimana? Tapi bapaknya malah jawab ‘Kalau bikin makalah mah terlalu berat’. Eh malah ngajakin aku nonton,” paparnya lagi.

Awalnya CL ingin menolak, namun karena segan untuk menolak, maka ia ikut ajakan dosen tersebut. Pukul dua siang mereka menonton film Dilan 1990, dan dosen Z yang menentukan tempat duduk mereka. Ketika nonton, di sana dosen Z diduga mulai melecehkan CL.

“Bapaknya (dosen Z -Red) megang tangan aku, sama aku dilepas, lalu diam dianya. Tapi gak berapa lama bapaknya megang lagi, lalu aku kabur ke toilet,” jelasnya sembari mencontohkan.

Ketika kembali dari toilet, dosen Z diduga kembali memegang tangan korban. CL memilih diam saja karena takut akan dipegang bagian tubuh yang lainnya. Hingga film berakhir mereka pun pulang, ketika pulang dosen Z sempat menanyakan, jika diajak jalan lagi mau atau tidak, namun CL hanya menjawab tidak tahu.

Setelah kejadian itu oknum dosen tersebut tidak pernah lagi menghubungi, CL pun sebaliknya. Bahkan setelah kejadian itu tidak ada perbaikan nilai. Korban tak melaporkan kejadian tersebut pada pemangku kebijakan yang ada di jurusannya.

“Aku gak lapor, tapi salah satu dosen tahu, dia bilang setiap tahun pasti ada yang digituin sama dosen tersebut. Teman aku cerita mengenai aku ke dosen tersebut terus aku dipanggil, katanya nanti kalau ada apa-apa lagi bilang aja,” ungkapnya.

Imbasnya, CL merasa trauma. Dia jadi berpikir setiap dosen sama saja, bahkan dosen yang baik pun dia mengira sama saja. Ia berharap dosen yang berprilaku seperti itu untuk dikeluarkan dari jurusan karena merusak nama jurusan. Ia juga takut jika nanti adik kelasnya akan bernasib sama dengannya.

 

Memanfaatkan Relasi Kuasa

Menanggapi perilaku tak wajar dosen, Wakil Dekan I Fakultas Psikologi sekaligus aktivis gender Nani Nuranisah Djamal mengatakan, tindakan pelecehan seksual dilakukan secara bertahap, pelaku melakukannya dari pelecehan seksual yang dianggap paling ringan. “Misalnya mulai dari pandangan lalu kedip-kedip mata, dan terus berlanjut ke tingkat pelecehan seksual yang lebih tinggi,” tambah Nani (20/12).

Dari aksi pelaku tersebut akan dilihat terlebih dahulu dari respons korban, jika korban dengan tegas menolak maka pelaku tidak akan melanjutkan aksinya, akan tetapi jika korban lemah, yang tidak berani mengatakan tidak, maka pelaku akan melanjutkan aksinya.

“Biasanya si korban akan mulai sadar jika level tingkat pelecehannya sudah mulai ketahap berikutnya, dan itu bisa disebabkan karena ketidaktahuan pengetahuan dari si korban itu sendiri,” papar Nani.

Menurutnya, korban pelecehan seksual akan mengalami trauma dan perlu diterapi untuk menghilangkan traumanya tersebut. Namun, pelaku pun harus mendapatkan perhatian yang sama, kemungkinan pelaku tengah mengalami kelainan seksual yang tidak disadarinya.

Manajer Divisi Humas dan Media Rifka Annisa, Defirentia Onee salah satu organisasi non pemerintah yang konsen pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan, ia  mengatakan, ada banyak kendala bagi korban untuk bercerita atau pun melapor. “Penting bagi kita semua untuk memahami dinamika psikologis korban kekerasan seksual,” terang Onee Desember lalu.

Pelecehan seksual yang dialami bisa berdampak trauma, malu, takut, cemas bahkan pandangan negatif pada diri sendiri. Bagi korban, bercerita telah mengalami kekerasan seksual sama saja seperti membuka aibnya sendiri.

“Belum lagi dalam konstruksi budaya kita, perempuan ditempatkan dalam perdebatan wacana soal tubuh,” sesalnya. Ketika telah mengalami pelecehan atau pun perkosaan, maka korban akan dianggap kotor, tidak berharga, atau berdosa oleh orang lain bahkan oleh dirinya sendiri. Konstruksi ini diperparah oleh ketiadaan dukungan sosial bagi perempuan korban, di mana masyarakat justru menyalahkan korban atas kejadian kekerasan seksual yang dialaminya.

Tidak banyak korban yang mau angkat bicara atau pun sekedar melaporkan kejadian kekerasan seksual yang menimpanya, terlebih dalam konteks kampus. Ada banyak hambatan yang membuat korban urung untuk memproses laporan. Belum ada sistem dukungan di kampus yang menjamin keamanan, kerahasiaan dan perlindungan bagi korban yang ingin memproses laporan.

“Bahkan, tidak banyak kampus yang terbuka untuk membicarakan perihal kekerasan seksual ini dengan dalih nama baik institusi. Hal ini menjadikan proses penanganan kasus kekerasan seksual di kampus terhambat dan tidak berjalan lancar,” tegasnya.

Belum lagi hambatan psikologis pada korban karena faktor hubungan kekuasaan antara korban dan pelaku. Banyak korban yang urung melapor karena takut, malu, trauma, khawatir, dan bahkan terancam jika melaporkan kejadian kekerasan seksual yang dialaminya. Warga kampus juga belum cukup mampu menyediakan dukungan moril maupun sosial bagi korban-korban untuk pemulihan dari trauma. “Bahkan sebagian masih menyalahkan korban,” tegas Onee.

Menurutnya, dalam kasus pelecehan seksual oleh oknum dosen kepada mahasiswanya, jelas terlihat sekali bahwa itu dipengaruhi oleh relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Ada modus di mana pelaku menjalin hubungan yang nyaman dengan mahasiswanya, kemudian pelaku melakukan pendekatan agar terjalin kedekatan emosional dengan mahasiswanya, biasanya juga disertai dengan menawarkan bantuan atau promosi atau iming-iming tertentu seperti nilai, jabatan, posisi dan sebagainya.

Kedekatan emosional yang disertai bujuk rayu ini menyebabkan korban tidak kuasa menolak permintaan pelaku. Meskipun beberapa sebenarnya sudah merasa aneh terhadap permintaan tersebut. Korban akan segan menolak dan takut karena kedekatan emosional tersebut. Juga termasuk tekanan relasi kuasa misalnya karena takut nilainya jelek atau merasa berhutang pada kebaikan yang pernah diberikan.

Kekerasan seksual yang melibatkan relasi kekuasaan ini biasanya memang menyasar pada perempuan yang dianggap memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan pelaku. Posisi dan kekuatan sebagai mahasiswa dianggap tidak lebih kuat dibandingkan posisi atau kekuatan dosen sehingga hubungan kekuasaan ini sangat rentan disalahgunakan.

(halaman 1/2)

Laman: 1 2

Ke Atas