Oleh Melani Mustikasari*
Ditengah kilauan beningnya embun, tanganku masih memeluk erat kain pantai tipis yang selalu menemaniku tidur. Tubuh pun masih berlindung dari dinginnya pagi yang menusuk setiap sendi. Lagi-lagi, udara pagi membuatku semakin nyaman berlindung dibalik selimut. Mataku enggan membuka kelopaknya. Oooh pagi yang menyenangkan! Ya, setiap paginya begitu menyenangkan. Begitu hangat.
Dering telepon menyadarkanku akan janji tadi malam. Aku terperanjat, membuang kain pantai dari pelukan, membuang selimut yang membalut tipis kulitku. Kepalaku sedikit pusing, mungkin karena gerakan tiba-tiba yang ku buat, sensasinya seperti berputar-putar tujuh keliling. Aku jadi ingat kebiasaan masa kecil. Selalu bermain putaran sampai akhirnya terjatuh dan tertawa.
Lalu ku paksakan kaki untuk melangkah membasuh muka ala kadarnya. Dingin. Segera aku bersiap mengenakan jilbab dan baju hangat milik teman, maaf darurat. Tak lupa ku pakai kacamata sebagai pelindung dari anggapan “baru bangun tidur”. Kemudian ku tinggalkan kasur empuk yang masih hangat untuk dinikmati dengan segera berlari untuk mengejar waktu, demi ia yang sudah menunggu.
Aroma sejuk pagi yang lama tak ku temui, kini menyapa dengan sangat ramah. Aku sempat terheran, mengapa ia begitu hebat? Padahal sudah lama kami tak jumpa. Tapi ia bisa tetap menyapaku dengan senang hati. Selamat pagi, Pagi.
Pagi, tak beda jauh dengan orang yang kini akan ku temui. Ia selalu ramah walau lama tak bersua. Oh itu dia, aku dapat melihat orang yang tadi menelpon. Dari kejauhan kulitnya terlihat jelas karena berdampingan dengan tembok bercat putih. Bukan mengejek, tapi kulitnya memang gelap. Pekerjaanlah yang memaksanya berjemur dibawah terik setiap hari.
Dari belakang, ia terlihat seperti anak kecil berusia belasan tahun. Seperti remaja yang baru saja akan menginjak bangku sekolah menengah pertama. Percayalah, aku tak mengada-ada, ia memang terlihat seperti itu. Tak jauh berbeda jika ku perhatikan dari sisi kiri kanannya, kurasa ukuran tubuhnya terlalu kecil untuk pria seusianya.
Jarak pun membuat kita semakin dekat. Wajahnya begitu sangat merona, penuh dengan kebahagiaan seolah-olah masalah tak pernah datang menghampiri. Aku selalu ikut bahagia jika melihatnya. Patut kupercayai jika suatu saat nanti, dihari tuanya, ia ceritakan berbagai cerita yang menyenangkan. Sungguh ia memancarkan kebahagiaan yang tak dapat diterka oleh siapapun.
Semakin dekat, aku semakin bisa mendapati garis wajah yang begitu kecil. Garis itu begitu tak asing, seolah di setiap malam ia selalu mendatangi mimpiku. Berlebihan memang, tapi begitulah adanya.
Matanya yang coklat tergambar jelas. Bulu matanya yang panjang dan lentik, memaksaku mengingat boneka susan dimasa kecilku, disaat semua perhatian hanya ditujukan untukku. Ah, ingin rasanya kembali ke masa itu, tapi tak adil jika aku harus berlari dari masa kini.
Giginya begitu putih dan bersih, membuatku tak akan pernah bosan untuk selalu bertukar cerita dengannya. Selain itu, senyumanya bagaikan hipnotis di tengah keramaian. Dengan tidak sadar aku bisa menceritakan banyak hal yang tak biasa ku ceritakan pada yang lain. Aku pun tak canggung jika harus menceritakan kebodohan-kebodohan yang selalu ku lakukan berulang kali, setiap saat.
Suaranya yang begitu lembut bisa ku kenali, walau mata harus kututup rapat. Begitu menyenangkan, akrab dan menenangkan, tak pernah ia berkata dengan nada tinggi yang bisa membuatku menjauhinya.
Ia begitu menakjubkan. Walau ketika berjabat tangan terasa kesar, tapi tidak dengan tingkah lakunya, ia begitu lembut, sangat lembut. Lagipula itu semua dapat menjelaskan bahwa ia adalah seorang pekerja keras. Aku tau itu. Buktinya pagi ini pukul enam sebelum ia berjibaku dengan aktivitasnya. Ia sudah ada dihadapanku mengantarkan sekotak hadiah pagi.
Isi kotak itu adalah kue yang katanya aku pesan. Seperti itulah perhatiannya, apapun yang aku katakan selalu ia perhatikan, walau keinginanku tentang kue coklat ini hanya sebatas gurauan. Namun kini, sekotak kue coklat dengan kantong plastik putih ada didepan mata.
Diusianya yang lebih dari seperempat abad, ia begitu lincah, enerjik. Selalu ada tenaga ekstra di setiap langkahnya. Angin pun tercipta lembut ketika ia pergi meninggalkanku. Ia dan sepeda motornya tak kulepaskan dari pandangan sampai mereka benar-benar hilang. Selintas aku melihatnya seperti bocah ingusan, tapi harus ku akui bahwa ia adalah sosok kakak yang selalu pantas dirindukan. “Terimakasih,” ucapku dalam hati.
*Penulis adalah Mahasiswi Jurusan KPI Semester IV Aktif di UKM LPIK dan Komunitas Illegal