Cerpen

Sepatu Impian

Oleh : Zaenal Mustofa*)

foto istimewa

Siang itu, tepatnya di pelataran Mall Indah Jakarta, matahari nampak begitu terik. Sinarnya menyala-nyala, menyerang setiap makhluk yang masih berani menampakan dirinya disana.

Termasuk Rizal, bocah kecil yang berumur 7 tahun itu juga sedang nongkrong di sana.Ia melamun sembari memegang erat payungnya yang sudah lusuh dimakan usia. Sesekali ia menatap langit, menantang sinar matahari yang siap membakar tubuhnya yang kurus kering.

Seperti biasa, sekitar jam 1, selepas pulang sekolah, Rizal duduk di sekitar tempat parkir Mall Indah Jakarta. Ia tidak sedang bermain di sana, melainkan sedang menunggu datangnya hujan. Namun, siang itu nampaknya tak ada tanda-tanda hari akan diguyur hujan. Awan yang seputih kapas terbentang di langit biru nan luas. Cerah sekali.

Menunggu dengan durasi waktu yang cukup lama membuat Rizal berhenti berharap. Ia kemudian berdiri dan berjalan pelan. Lagi-lagi, ia gagal untuk mendapatkan hujan. Padahal, dari hujan ia bisa meraup kepingan-kepingan uang yang bisa ia tabung. Dari rintik-rintik hujan pula harapannya untuk hidup masih tetap ada.

Karena langit belum juga menghitam, Rizal memutuskan untuk pulang. Ia melangkah dengan begitu lemah sembari menundukan kepalanya. Namun, samar-samar Rizal melihat bayangannya di jalan aspal yang ia tapaki tak lagi nampak jelas. Ia lantas menoleh ke langit. Benar saja, tiba-tiba langit menjadi murung. Sang surya kini tak lagi menampakan kekuasaannya. Ia bersembunyi di balik awan yang tak lagi putih.

Rizal menghentikan langkahnya. Petir lantang bersuara, memekik dengan keras. Tak lama setelah itu, hujan mengguyur tubuh Rizal hingga ia basah.

Tanpa ba-bi-bu, Rizal berlari menuju kerumunan manusia. Sasaran pertamanya adalah teras pintu utama. Begitu banyak orang yang sedang berteduh di sana. Dengan lihai, Rizal mulai menawarkan jasanya.

“Ojeg payung… Ojeg payung…” teriaknya dengan penuh semangat.

“Pak, bu, ojeg payung….”

Rizal bersyukur ternyata harapan itu masih ada.

***

Satu jam telah berlalu namun Rizal belum berhasil mendapatkan satu pelanggan pun. Tubuhnya yang kecil seringkali didahului oleh tukang ojeg payung lain yang lebih tinggi dan lebih lihai bermain kata. Rizal kelelahan. Matanya nampak sayu. Suaranya juga tak selantang ketika hujan baru turun. Ia terlalu sering mendekap tubuhnya yang menggigil. Ia tak kuat menahan dinginnya hujan yang menusuk hingga ke pori-pori kulitnya.

Sudah lebih dari satu tahun Rizal memang berprofesi sebagai tukang ojeg payung. Rizal yang kini hanya hidup bersama neneknya terpaksa harus memikul beban yang cukup berat. Di usianya yang masih sangat dini, ia harus rela menanggalkan masa-masa kecilnya agar bisa bertahan hidup di panggung dunia yang kejam ini. Setiap hari, selepas pulang sekolah, Rizal buru-buru mengganti seragam sekolahnya lantas duduk di pelataran Mall Indah Jakarta, menunggu datangnya hujan.

Menjadi tukang ojeg payung memang tak pernah menjanjikan kekayaan. Harta yang bisa di dapat tak pernah menentu karena hujan tidak datang setiap hari. Apalagi, ia juga harus bertarung dengan tukang ojeg lainnya.

“Ojeg payungnya, pak… bu…” teriak Rizal parau. Suaranya hanya terdengar seperti bisikan.

“De, ojeg payung,” kata seseorang memanggilnya. Rizal langsung menengadahkan kepalanya. Di depannya, seorang wanita berumur 40 an tersenyum padanya. Di tangannya, ia tenteng beberapa belanjaan.

“Oh iya bu. Ini payungnya,”kata Rizal sambil menyerahkan payungnya.

Rizal masih menggigil. Ia berjalan mengikuti langkah ibu-ibu tadi dari belakang. Ternyata, ia hanya pergi ke parkiran, menuju mobilnya.

“Ini de, uangnya.”

“Terimakasih.” kata Rizal.

Rizal menatap lekat lembaran kertas yang ada di tangannya. Angka 2000 tergambar jelas di sana. Ia lantas memasukan uang itu ke kantong celana pendeknya.

Hujan tinggal rintik-rintik kecil. Tak lama lagi, hujan akan berhenti. Orang-orang pun mulai berani untuk keluar ke halaman Mall tanpa payung dan sejenisnya sebagai pelindung. Itu tandanya, jasa ojeg payung sudah tidak dibutuhkan lagi.

Sebelum pulang, Rizal pergi ke pasar. Rencananya hari ini ia akan membeli sepatu baru di pasar loak yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat ia bekerja.

Setiba di sana, Rizal langsung menuju pedagang sepatu lesehan. Ia mulai mencari sepatu yang sudah lama ia ingin beli. Tak perlu waktu yang lama untuk mendapatkannya karna sepatu itu dijual dalam jumlah banyak.

“Pak, sepatu ini harganya berapa?”

“35.000″

Rizal menghitung uang yang sudah ia kumpulkan selama lebih dari satu bulan. Hanya ada Rp. 21.ooo,- di kantongnya.

“20.000 saja ya pak.”

“Tidak bisa!” kata pedagang itu tanpa melihat sedikitpun wajah Rizal.

“Tolonglah pak…” kata Rizal memohon.

Si penjual langsung melirik Rizal. Tatapannya menyelidik.

“Kamu mau mencuri ya?” katanya sambil menunjuk langsung tubuh Rizal.

“T….tidak kok.”

“Alah… Saya tau orang macam kamu. Ngakunya mau beli, tiba-tiba lari bawa barang-barang jualan saya. Sana pergi! Atau saya teriak maling?! Pergi!”

Mata Rizal banjir mendengar perkataan penjual tadi. Namun, ia berusaha sekuat tenaga agar air matanya tak jatuh. Ia lantas berlari meninggalkan kerumunan orang-orang yang memandang jijik dirinya.

***

Sudah tiga hari Rizal demam. Tubuhnya lemas terkulai di atas dipan kayu yang rapuh, serapuh dirinya. Sudah banyak obat yang ia minum, namun hasilnya nihil. Tubuhnya semakin panas. Sekolah dan pekerjaannya terpaksa ia tinggalkan. Rizal hanya bisa merebahkan dirinya.

Siang itu, hujuan turun. Rizal tiba-tiba teringat pada sepatu yang ingin ia beli. Ia begitu berhasrat untuk sesegera mungkin memakai sepatu impiannya.

Perlahan, ia beranjak dari pembaringannya.Terlalu sulit bagi tubuhnya yang lemah untuk bangun. Kepalanya tiba-tiba pening. Namun, Rizal tidak menyerah. Ia terus melanjutkan aksi nekatnya untuk beranjak dari tempat tidur.

“Rizal, kamu mau kemana?” kata neneknya yang tiba-tiba datang.

“M… seperti biasa nek. Rizal mau pergi ke Mall Indah.”

“Duh, jangan dulu nak. Kamu kan masih sakit.”

“Nggak apa-apa nek. Rizal udah sehat.”

Rizal akhirnya bediri walaupun tidak benar-benar berhasil. Ia masih sempoyongan. Kepalanya benar-benar pening. Tubuhnya hendak roboh, namun ia tahan.

“Kamu yakin na?”

“Rizal yakin kok.”

“Ya sudah kalo keinginan kamu sudah bulat. Nenek ga bisa cegah kamu. Nenek cuma bisa do’ain kamu. Ati-ati ya.”

Rizal tersenyum. Berusaha tersenyum tepatnya.Ia mengambil payung kebanggaanya lantas keluar melawan arus hujan yang begitu deras.

“Wah, pasti banyak peminat ojeg payung nih,” katanya dalam hati.

Rizal langsung bersemangat. Ia sedikit berlari, takut jika hujan nantinya berhenti. Kakinya yang telanjang sesekali menginjak kerikil-kerikil kecil yang membuat telapak kakinya terasa perih. Namun, Aldi tidak mempedulikannya. Yang ada dalam fikirannya sekarang hanyalah sepatu.

Uang yang sudah terkumpul adalah Rp. 32.000,-. Ia hanya butuh Rp. 3000,- lagi untuk benar-benar mendapatkan sepatu impiannya. Ia ingin sekali membuktikan pada semua orang jika orang kecil seperti dirinya bukan pencuri.

Rizal sudah tiba di Mall Indah Jakarta. Banyak sekali orang yang berteduh di sana. Rizal langsung menawarkan jasanya.

“Pak, bu,
ojeg payung…” katanya setengah berteriak. Tenggorokannya tak kuat untuk bersuara lantang.

“Ojeg payungnya…”

Rizal terus berusaha walaupun tubuhnya sudah sangat lemah.

“Ojeg payung!” seorang pria menepuk bahunya. Sontak Rizal berbalik. Di depannya, seorang lelaki muda tinggi berdiri menatap Rizal. Bukannya memberikan payung, Rizal malah bengong. Mulutnya menganga.

“Hei!” kata laki-laki muda itu sedikit mengeraskan volume suaranya.

“Oh ya! Maaf.” Rizal tersentak. “Ini payungnya.”

Lelaki muda itu mengambil payung yang diberikan Rizal. Seperti biasa, Rizal mengikuti dari belakang. Lelaki itu berhenti di halte bis. Ia lantas memberikan satu lembar Rp. 20.000 an kepada Rizal.

“Sebentar, ini kembaliannya,” kata Rizal sambil merogok kantong celananya.

“Tidak usah. Buat kamu saja.”

“Hah?”

“Ambil saja kembaliannya.”

“T… terimakasih.” Rizal hampir ingin pingsan mendengarnya. Baru kali ini ia mendapatkan uang sebesar itu untuk sekali pakai.

Rizal sangat senang. Ia hampir melupakan rasa sakit yang ia derita.

Meskipun hujan masih sangat lebat, Rizal memutusakan untuk menghentikan pekerjaannya. Ia ingin cepat-cepat peri ke pasar loak dan membeli sepatu baru.

Saking girangnya, ia berjalan sambil bernyanyi lagu seadanya. Akhirnya, impian sudah lama ia pendam kesampaian juga.

“Hei, berhenti!!!” dua orang laki-laki sangar tiba-tiba menghadangnya di sebuah gang kecil. Yang satu berkumis tebal, dan yang satu gemuk.

“Ada apa bang? Ojeg payung?” Tanya Rizal.

“Bagi duit!!!” Sini!!!” Kata pria gemuk.

“T…. tapi bang, ini uang buat beli sepatu. Saya tidak punya lagi.”

“Alaaah!!! Cepetan!!”

“Tolong!!!! Tolong!!!” Rizal berteriak. Namun, teriakannya ternggelam oleh suara hujan yang begitu lebat.

“Hei!!”

Lelaki gemuk menampar pipi Rizal. Preman lainnya menonjok perut Rizal. Tak ayal, tubuhnya jatuh ke tanah. Mereka kemudian mengambil uang di saku celana Rizal.

“Buk”

Lelaki berkumis menendang perut Rizal. Mereka tak mempedulikan keadaannya yang sedang sekarat. Mereka lantas meninggalkan Rizal sendiri.

Rizal masih sadar. Matanya perlahan dibuka. Kepalanya pusing, tak karuan. Perutnya serasa melilit. Tubuhnya diguyur hujan lebat. Tangannya masih memegang payung. Dengan lirih, ia berkata “Ojeg payung, pak… bu..”

***

 

*) Penulis adalah mahasiswa jurusan Bahasa Sastra Inggris

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas