SUAKAONLINE.COM – Membahas isu-isu nasional melalui diskusi, Dewan Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (Dema FSH) kembali menyelenggarakan Syariah Hukum Lawyers Club (SHLC). Pengemasan SHLC dikemas kembali serupa dengan ILC, dimana ada moderator bak Karni Ilyas yang diperankan oleh Reza Fasya. Bertempat di Aula Fakultas Syariah dan Hukum, Senin (29/10/2018) kali ini SHLC mengangkat tema “Harmonisasi Regulasi: Eks Koruptor Kembali Berkompetisi”. Menghadirkan pemateri dari Komisioner KPU Jawa Barat Divisi Sosialisasi, Idham Holik, dan Dosen FSH, Dede Kania.
“Jadi ada keputusan KPU Indonesia dimana calon anggota legislatif itu bukan seorang mantan narapidana koruptor. Ini sempat mendapat tolakan dari beberapa politikus yang katanya mengusung reformasi politik,” ucap Komisioner KPU Jabar, Idham Holik membuka materinya.
Namun keputusan KPU tersebut dinilai melampaui UU yang terdapat dalam pasal 240 ayat 1 huruf J yang mana memperbolehkan seorang mantan narapidana mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Karena UU tersebut tidak bicara secara eksplisit tentang mantan narapidananya apa. Tidak adanya kata korupsi dalam pasal tersebut membuat perdebatan panjang.
“KPU mempunyai gagasan yang luar biasa yaitu terwujudnya pemerintahan yang bersih. Karena dalam gagasan KPU bagaimana kita bisa mewujudkan pemerintahan yang bersih kalau pejabat publiknya yang dihasilkan melalui pemilu juga tidak bersih. Namun menurut pakar hukum positif itu ditolak karena melampaui UU,” tegas Idham.
Malam mulai larut, Doktor lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia tersebut menegaskan, bahwa akhirnya terkait isu tersebut sudah diketok palu oleh Mahkamah Agung bahwa Mantan Narapidana Korupsi diperbolehkan mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif.
“Pertanyaannya apakah demokrasi elektoral kita terancam? yang saya maksud apakah masa depan demokrasi elektoral kita yang mana mewujudkan pemerintahan yang bersih bisa berjalan atau tidak ketika mantan narapidana korupsi itu menjadi seorang legislator kembali?,” tambahnya.
Idham melanjutkan, apabila MA telah menerbitkan sebuah keputusan maka harus dilaksanakan, itulah kenapa KPU Indonesia menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 31 tahun 2018. Sebelum keluarnya keputusan MA tersebut, di Jawa Barat tidak ada masalah dengan mantan narapidana korupsi karena seluruh partai politik sudah kita yakinkan untuk tidak mencalonkan mantan narapidana korupsi sebagai calon legislatif.
Berbeda dengan, Idham Holik, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang konsen dengan Hukum Hak Asasi Manusia, Dede Kania memaparkan materinya dari segi Hak Asasi Manusia. Menurutnya, jika dilihat dari PKPU apa hak dari KPU melarang seorang mantan narapidana mencalonkan dirinya menjadi calon anggota legislatif. Dede Kania menegaskan ketika hak itu dilarang berarti itu pelanggaran Hak Asasi Manusia yaitu pelanggaran Hak Politik.
Pelanggaran hak politik hanya dibolehkan oleh dua hal, jelas Dede, yaitu oleh Undang-Undang, dan oleh putusan peradilan. Dosen yang akrab di sapa Bu Dekan tersebut menyatakan memang benar disini KPU sudah melampaui Undang-Undang Dasar 1945.
“Mereka sudah dipulihkan sudah melakukan masa penahanan, dan setelah itu selesai ya sudah. Kita harus memberikan pada mereka keadilan, tidak boleh memberikan label pada mereka. Karena ketika kita melabeling mereka berarti kita sendiri membuat kesalahan dengan melanggengkan kesalahan mereka,” jelas Doktor lulusan Hukum Universitas Padjajaran tersebut.
Setelah pemaparan singkat dua pemateri tersebut, sesi selanjutnya dilakukanlah perdebatan yang sudah dibagi ke dalam tim pro dan tim kontra. Perdebatan diawali oleh tim kontra dari Jurusan Muamalah, menurutnya, dalam UU Nomor 7 tahun 2017 pasal 249 ayat 3 disebutkan proses verifikasi calon ditindak lanjuti dalam PKPU maka ini menjadi landasan keluarnya PKPU pelarangan mantan narapidana koruptor menjadi calon anggota legislatif.
“Pembatasan hak kebebasan dalam berpolitik harus dibatasi oleh hukum namun jika dilihat dari kebutuhan hukum yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Menurut seorang filsuf hukum Jerman yang mengatakan konsep kebutuhan hukum tidak melulu diawali dengan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, namun posisi itu bisa dibalik dengan kemanfaatan terlebih dahulu,” tambahnya.
Dari tim kontra, yang diwakili oleh jurusan Ilmu Hukum berpendapat, konsep demokrasi sejatinya bisa dipegang oleh rezim otoritarian jadi ketika masuk ke ranah yang kapitalistik demokrasi bukan lagi bersifat kedaulatan rakyat. Tentunya ketika demokrasi dihegemonik itu tidak bisa karena ada hak-hak individual yang tidak terakomodir disana salah satuny adalah hak berpolitik.
Jadi hak politik tidak akan terakomodir kalau demokrasi di hegemonic oleh sebuah rezim.” Disini saya inginmengaskan bahwa basis yang seharusnya ditegakkan oleh Negara kita adalah konsep-konsep yang menunjang individual, menurut buku pengantar hukum indonesia karya Utreh bahwa bukan kemanfaatan yang pertama tapi keadilan,”
Ketika keadilan tidak berfungsi terhadap suatu kecenderungan dalam hal individu yang ingin mencalonkankembali mantan narapidana korupsi sebagai calon legislatif ini tentu mendiskriminasi keadilan. Karena pada dasarnya keadilan itu bersifat egalitariarism.
SHLC Ranah Beradu Argumen Secara Ilmiah
Kepala Bidang Pengembangan Intelektual, sekaligus moderator, Reza Fasya menjelaskan pengambilan topik terkait SHLC ini diambil dari diskursus yang sedang hangat secara nasional. Selain itu, isu tersebut dibawa ke ranah kampus agar menjadi suatu pemantik bagi mahasiswa mengenai kabar terkini terkait isu-isu nasional.
“Tujuan dari SHLC ini secara jangka panjangnya ialah agar ada suatu diskusi ilmiah yang itu bukan hanya bukan dilihat dari sudut pandang hukum saja namun juga dilihat dari sudut pandang ekonomi dan islam. Sedangkan jangka pendek untuk menjalin silaturahmi antar jurusan yang ada di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum,” katanya.
Menurut mahasiswa jurusan Ilmu Hukum tersebut SHLC ini berbeda dengan seminar dan diskusi panel. panelis dengan seminar arah komunikasinya itu hanya sebatas pemateri kepada audiens, kebanyakan tidak membuka ruang-ruang komunikasi dan aspirasi. “Sistem SHLC ini kita bagi menjadi beberapa bagian, ada pemateri, panelis yang nantinya akan beradu beragumen, lalu ada audiens sebagai pihak yang mendengarkan pihak yang menjadi pengamat bagaimana jalannnya kegiatannya,dan bagaimana arus komunikasi yang diberikan,” ungkapnya.
Panelis terdiri dari tim pro yang isinya mahasiswa jurusan dan kontra, hal ini agar mahasiswa sedari dini dibiasakan untuk beragumentasi berdasarkan landasan yang ada bukan hanya sebatas opini namun juga ada data dan fakta dan juga apa yang disampaikan berdasarkan metode-metode ilmiah karena jika kita lihat kajian-kajian yang ada seperti seminar sebatas diskusi biasa, makanya kami ingin menekankan adanya diskusi yang khusus dengan penyampaian argumentasi yang lebih baik.
“Saya berharap, Dari sisi pro dan kontra ini tidak hanya bersikukuh dengan pro dan kontranya namun juga seluruh yang hadir disini bisa melihat dari realita yang ada dengan pandangan luar, tidak hanya bersikukuh dengan yang ia paparkan.” tutupnya.
Reporter: Elsa Yulandri
Redaktur: Muhammad Emiriza